Berita Palembang

RUU KUHAP Disahkan, Pakar Hukum Muhammadiyah Palembang Soroti Pelemahan Kewenangan Hakim

Pakar hukum dari Universitas Muhammadiyah Palembang Dr Hasanal Mulkan menganalisis kekhawatiran dan solusi seputar pengesahan RUU KUHAP

Penulis: Arief Basuki | Editor: Welly Hadinata
Sripoku.com/Arief
Pakar hukum dari Universitas Muhammadiyah Palembang Dr Hasanal Mulkan, S.H., M.H, menganalisis kekhawatiran dan solusi seputar pengesahan RUU KUHAP 

Ringkasan Berita:
  • RUU KUHAP disahkan setelah pembahasan lebih dari satu dekade, menandai babak baru sistem peradilan pidana Indonesia.
  • Pakar hukum menyoroti ancaman melemahnya pengawasan hakim dan potensi penyalahgunaan upaya paksa oleh aparat.
  • Solusi yang diusulkan meliputi penguatan hakim pra-ajudikasi, uji materi di MK, serta SOP dan pengawasan publik yang lebih ketat.

SRIPOKU.COM, PALEMBANG — Disepakatinya Rancangan Undang- Undang Kitab Undang- undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) antara DPR RI dan Pemerintah, menjadi babak penting dalam sejarah sistem peradilan pidana Indonesia.

Pengesahan ini menjadi babak penting dalam sejarah sistem peradilan pidana Indonesia, mengingat pembahasan RUU KUHAP telah berlangsung panjang sejak 2012 dan melewati berbagai periode pemerintahan serta dinamika politik dan hukum nasional. 

Pengesahan ini sekaligus menandai berakhirnya perjalanan panjang revisi KUHAP selama lebih dari satu dekade serta membuka babak baru bagi sistem peradilan pidana yang lebih responsif, akuntabel, dan berorientasi pada keadilan substantif bagi seluruh rakyat Indonesia

Menyikapi hal tersebut pakar hukum dari Universitas Muhammadiyah Palembang Dr Hasanal Mulkan, S.H., M.H, menganalisis kekhawatiran dan solusi seputar pengesahan RUU KUHAP.

"Ini adalah topik yang sangat penting, karena inti dari Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah menyeimbangkan kekuatan negara (aparat penegak hukum), dengan hak asasi warga negara di hadapan hukum," kata Hasanal, Rabu (19/11/2025).

Menurutnya, kekhawatiran utama yang mengancam integritas dan keadilan peradilan Indonesia, berakar pada pergeseran model peradilan yang cenderung Executive-Dominant (didominasi Eksekutif/Polisi/Jaksa), yang melemahkan pengawasan Yudikatif (Hakim).

Ia menilai ada dua ancaman utama terhadap integritas Peradilan dan mengancam keadilan.

Pertama, melemahnya pengawasan Pra-Ajudikasi yang merupakan kewenangan upaya paksa seperti penyadapan, pembuntutan, dan teknik penyelidikan khusus lainnya (misalnya, undercover buy), kini dapat dilakukan dengan pengawasan hakim, yang minimal atau hanya memerlukan surat perintah internal.

"Ini menghilangkan Judicial Scrutiny (pengawasan hakim) pada tahap awal perkara. Tanpa persetujuan hakim sebelum upaya paksa dilakukan, ada risiko bukti didapatkan secara melawan hukum dan melanggar hak privasi warga negara," jelasnya.

Kedua yaitu, risiko Entrapment dan penyalahgunaan kekuasaan, yang mengatur teknik penyelidikan khusus (Pasal 16) yang lebih longgar berpotensi membuka ruang penjebakan (entrapment). 

"Misalnya, aparat menyamar dan secara aktif memprovokasi seseorang untuk melakukan tindak pidana. Jika aparat menjadi "pencipta kejahatan" alih-alih penegak hukum, hal ini merusak prinsip due process of law, dan membuat proses peradilan menjadi tidak adil sejak di tahap penyelidikan," tuturnya.

Untuk itu solusi kritis untuk menjaga integritas, dan mengatasi kekhawatiran ini harus difokuskan, pada penguatan mekanisme check and balances dan transparansi implementasi.

Diantaranya, penguatan peran hakim Pra-ajudikasi, dengan memastikan bahwa peran hakim Praperadilan (atau Hakim Pra-Ajudikasi) diperkuat, bukan diperlemah.

Regulasi pelaksana (Peraturan Pemerintah/Perma) harus secara eksplisit mewajibkan izin tertulis dari Ketua Pengadilan Negeri untuk semua upaya paksa yang invasif, seperti penyadapan, penyitaan, dan penggeledahan, dan bukan hanya sekadar pemberitahuan pasca-tindakan.

Kemudian untuk RUU KUHAP  itu bisa dilakukan Uji Materi (JR) ke MK (Mahkamah  Konstitusi) dengan Pihak-pihak yang berkeberatan, terutama masyarakat sipil, harus menggunakan jalur Uji Materiil ke MK terhadap pasal-pasal kontroversial tersebut.

Sumber: Sriwijaya Post
Halaman 1/3
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved