Opini
Ketimpangan TPP Tenaga Kesehatan di Kabupaten Muba: Ada yang Dapat Rp 6,2 Juta Ada Pula Rp 500 Ribu
Bukan hanya antara PNS dan PPPK, kini juga muncul kesenjangan baru di antara sesama PPPK itu sendiri.
Oleh: Istiana Setiani, S.Psi., M.Psi., Psikolog.
(Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja-Pemkab Muba)
SRIPOKU.COM - Program Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) awalnya datang membawa harapan besar. Dianggap sebagai solusi atas ketidakpastian teman-teman yang sudah lama mengabdi, harapan akan status yang lebih jelas, penghasilan yang lebih baik, dan masa depan yang lebih layak.
Namun, seiring berjalannya waktu, harapan itu perlahan tergerus kenyataan pahit di lapangan.
Salah satu isu yang paling hangat adalah Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP). Tiga kata ini kini menjadi pembicaraan yang mengemuka, terutama di kalangan Pegawai Dengan Perjanjian Kerja (PPPK) tenaga kesehatan non medis dan tenaga teknis di Kabupaten Musi Banyuasin.
Pemberian TPP sejatinya memang bergantung pada kemampuan keuangan daerah. Untuk itu, kami mengapresiasi Pemkab Muba yang tetap memberikan TPP kepada para PPPK, sementara di banyak daerah lain, hak ini bahkan belum direalisasikan.
Namun demikian, bukan berarti tidak ada persoalan. Justru di balik apresiasi yang diberikan, muncul ketimpangan. Bukan hanya antara PNS dan PPPK, kini juga muncul kesenjangan baru di antara sesama PPPK itu sendiri.
Yang paling mencolok terlihat dalam edaran terbaru tahun 2025 tentang besaran pemberian TPP, di mana satu profesi (dokter umum) memperoleh nilai penghargaan yang jauh lebih tinggi dengan besaran TPP Rp 6,2 juta dibanding profesi lainnya dengan besaran TPP Rp 500 ribu per bulan, meski kami bersama-sama berada di pelayanan kesehatan.
Mengistimewakan salah satu profesi, sementara profesi lain seperti psikolog klinis, perawat, bidan, tenaga laboratorium, tenaga teknis, tenaga administrasi, terkesan hanya menerima "seadanya". Padahal tanpa keberadaan mereka, layanan kesehatan tidak akan pernah berjalan secara utuh dan menyeluruh.
Puskesmas dan rumah sakit bukan hanya soal diagnosis dan resep, tetapi juga tentang pendataan yang akurat, perawatan pasien yang holistik, pengelolaan limbah medis, penyediaan gizi yang sesuai, kebersihan lingkungan, hingga dukungan psikologis yang berkelanjutan bagi pasien maupun tenaga kesehatan lainnya.
Narasi ini dibuat bukan karena rasa benci atau sentimen terhadap TPP salah satu profesi atau membuat gaduh hingga menjadikan kerjasama di lapangan menjadi terganggu. Sebagai psikolog klinis, kami seringkali bekerjasama dengan profesi lain khususnya tenaga medis dalam perawatan pasien, baik di rawat jalan maupun di rawat inap.
Kami tahu bahwa rekan sejawat kami itu pun berjuang menuntut haknya dan mereka sangat layak mendapatkan itu dan kami tidak pernah berniat membatalkannya. Kami hanya berharap, ruang dan perhatian yang serupa dari pemerintah, untuk profesi lainnya yang sama-sama berkontribusi dalam sistem layanan kesehatan.
Menghargai salah satu profesi adalah sebuah keniscayaan. Tapi menempatkan profesi lain hanya sebagai "pelengkap" adalah kesalahan fatal. Puskesmas, rumah sakit tidak akan pernah bisa berjalan hanya dengan satu jenis profesi. Pasien bisa pulih karena rangkaian panjang perawatan dan dukungan dari berbagai lini.
TPP sejatinya adalah bentuk penghargaan atas kontribusi dan tanggung jawab. Namun, jika perbedaan nilai bisa mencapai lebih dari 10 kali lipat antar profesi, pantaskah itu disebut adil? Apalagi misalnya, dengan narasi salah satu profesi lebih banyak mendatangkan ‘keuntungan” bagi organisasi.
Betul, organisasi memerlukan pendapatan untuk tetap beroperasi dan memberikan layanan, tetapi menjadikan satu profesi sebagai yang paling berharga dalam sistem layanan tersebut adalah bentuk ketimpangan yang mengecewakan dan perlu direnungkan bersama.
Permasalahan ini bukan cuma soal angka, ini soal kebijakan yang belum benar-benar adil. Aturan terbaru Permendagri No 15 Tahun 2024 tentang TPP, sebenarnya memberikan ruang bagi pemerintah daerah untuk menetapkan besaran TPP secara proporsional, berdasarkan indikator seperti kelas jabatan, beban kerja, tanggung jawab, tempat bertugas, kelangkaan profesi, hingga hasil evaluasi kinerja.
Sekali lagi, ketimpangan TPP bukan semata persoalan anggaran dan kemampuan pemerintah tetapi juga kemauan, komitmen moral untuk menghargai peran setiap insan yang terlibat dalam pelayanan kesehatan, baik medis, teknis, maupun administratif.
Semoga TPP dapat menjadi simbol penghargaan yang adil dan proporsional. Keadilan bukan berarti semua harus menerima dalam jumlah yang sama.
Semua itu tentu dijalankan dengan tetap memperhatikan kemampuan anggaran daerah dan berlandaskan pada ketentuan yang berlaku tanpa memandang kasta profesi.
Dari ruang IGD hingga dapur instalasi gizi, dengan jiwa membara dan semangat menyala, harapan akan keadilan terus kami sampaikan. Bukan sebagai keluhan atau ketidak bersyukuran, tapi sebagai seruan untuk kesetaraan.
Semoga Allah Swt. memberkahi kami, pemimpin dan tanah kami yang jaya ini, tempat kami mengabdi, Muba. (*)
Jurang Kesenjangan ala Wakil Rakyat |
![]() |
---|
Pengangguran Terdidik di Sumsel: Kesenjangan Kompetensi dan Kebutuhan Sektor Ekonomi |
![]() |
---|
Apakah Lebih Tepat Bung Hatta Disebut Bapak Ekonomi Kerakyatan, Bukan Lagi Bapak Koperasi ? |
![]() |
---|
Apakah Lebih Tepat Bung Hatta Disebut Bapak Ekonomi Kerakyatan, Bukan Lagi Bapak Koperasi ? |
![]() |
---|
Menilik Kualitas Kesehatan Penduduk Kota Palembang |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.