Opini

Membedah Label Negatif Generasi Z, Manja dan Mudah Tertekan

Berdasarkan hasil SP 2020 jumlah Generasi Z di Indonesia cukup dominan diperkirakan sebesar 27,94 persen dari jumlah penduduk Indonesia.

Editor: tarso romli
handout
Widya Paramita Sari - BPS Provinsi Sumatera Selatan 

GENERASI Z adalah generasi yang lahir antara tahun 1997-2012. Saat ini perkiraan usia Generasi Z antara 13 – 28 tahun. Diduga Generasi Z sudah banyak yang berpendidikan tinggi baik tamatan Strata 2 (S-2) maupun Strata 3 (S-3).

Berdasarkan hasil SP 2020 jumlah Generasi Z di Indonesia cukup dominan diperkirakan sebesar 27,94 persen dari jumlah penduduk Indonesia atau sekitar 74,93 juta jiwa di tahun 2020.

Dalam kehidupan sehari-hari atau seminggu terakhir ini, coba jujur kita akui seberapa sering anda mendengar keluhan tentang Generasi Z di berbagai tempat. Di ruang rapat? Di warung kopi? Bahkan di grup WhatsApp? Kita mungkin sering mendengar narasi yang relatif sama secara berulang yang diucapkan mengenai Generasi Z.

Mereka dibilang generasi stroberi, manja, dan mudah tertekan. Di dunia kerja, mereka dicap punya mental tempe, dianggap rapuh, banyak menuntut, dan maunya serba instan. Mereka juga dituding sebagai kutu loncat yang tidak loyal dan kecanduan gawai yang membuat mereka dianggap antisosial.

Label-label ini selalu diulang hingga nyaris menjadi kebenaran yang tak terbantahkan. Kita sering mengangguk-angguk setuju, merasa prihatin dengan masa depan yang akan dipegang generasi yang katanya rapuh.

Bagaimana jika saya katakan bahwa semua label itu bukan hanya keliru, tetapi merupakan sebuah bentuk kemalasan intelektual kita sebagai penilai? Bagaimana jika di balik setiap stereotip yang dilekatkan pada Generasi Z, ternyata ada sebuah kekuatan, sebuah adaptasi cerdas terhadap dunia yang diwariskan generasi-generasi sebelumnya kepada mereka? Mungkin sudah saatnya kita berhenti mengeluhkan dan mulai mendengarkan mereka.

Membedah Label
Harus diakui banyak label negatif yang telah disematkan bagi Generasi Z dikehidupannya sehari-hari. Agar kesalahan memahami Generasi Z tidak semakin dalam, mari kita bedah satu per satu label-label yang disematkan kepada Generasi Z, yaitu:

Pertama, mitos generasi manja yang selalu bicara soal kesehatan mental dan work-life balance. Benarkah mereka cengeng dan manja? Atau, mungkinkah mereka adalah generasi pertama yang cukup bijak untuk tidak mengulang kesalahan generasi sebelumnya?

Mereka telah melihat bagaimana generasi orang tua dan kakaknya Generasi Milenial tumbang karena burnout, terjebak dalam budaya kerja toksik yang mengagungkan jam kerja panjang sebagai lencana kehormatan.

Tuntutan mereka akan fleksibilitas, keseimbangan hidup, dan perhatian pada kesejahteraan mental bukanlah tanda kelemahan. Itu adalah sebuah strategi bertahan hidup yang pragmatis.

Mereka secara fundamental mendefinisikan ulang arti produktivitas, bukan lagi tentang berapa lama bokong menempel di kursi kantor, melainkan tentang dampak dan hasil yang nyata. 

Mereka paham bahwa tubuh dan pikiran yang sehat adalah aset utama untuk bisa berkarya secara berkelanjutan. Bukankah ini sebuah kecerdasan, bukan kerapuhan.

Kedua, tuduhan pemalas dan serba instan. Ketidaksabaran mereka terhadap proses birokrasi yang lamban sering disalahartikan sebagai kemalasan. Padahal, ini adalah cerminan dari efisiensi.

Sebagai makhluk digital sejati, mereka tumbuh di dunia di mana informasi dan solusi hanya sejauh satu klik. Mereka terbiasa mencari cara paling efektif untuk menyelesaikan masalah.

Ketika dihadapkan pada sistem kerja yang kuno dan tidak efisien, tentu saja mereka frustrasi. Ketidaksabaran mereka bukanlah dosa, melainkan katalisator untuk inovasi. Mereka mendorong kita semua untuk mengadopsi teknologi dan proses kerja yang lebih cerdas dan lebih cepat.

Sumber: Sriwijaya Post
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved