Opini

Makan Bergizi Gratis dan Ujian Publik

Pada akhirnya, MBG sedang menghadapi ujian publik: apakah pemerintah berani belajar dari kesalahan atau justru menyerah pada tekanan.

SRIPOKU.COM/ABDUL HAFIZ
Pengamat Politik dan Kebijakan Publik dari Unsri, Dr Muhammad Husni Thamrin MSi. 

Oleh: Dr. M.H.Thamrin
(Pengamat Politik dan Kebijakan Publik dari Universitas Sriwijaya)

 

SRIPOKU.COM, PALEMBANG - Sejak diluncurkan, Program Makan Bergizi Gratis (MBG) membawa harapan besar: memastikan anak-anak sekolah di Indonesia mendapat asupan gizi yang layak tanpa membebani orang tua.

Di banyak daerah, program ini disambut dengan suka cita, bahkan menjadi simbol komitmen negara terhadap masa depan generasi muda.

Orang tua merasa sedikit lebih tenang, karena tahu anak-anaknya tak bersekolah dalam keadaan perut kosong.

Namun, harapan mulia itu kini berhadapan dengan kenyataan pahit. Kasus keracunan di berbagai tempat termasuk di Sumatera Selatan, ditambah temuan makanan berbelatung, menimbulkan pertanyaan serius tentang pengelolaan dapur dan distribusi.

Dari Sumatera Selatan, Gubernur pun angkat bicara, mempertanyakan siapa yang sebenarnya mengelola dapur: apakah satu pihak resmi, atau ada vendor lain yang bekerja di balik layar.

Wajar jika kemudian muncul desakan agar program dihentikan.. Peristiwa ini dengan cepat menjadi sorotan nasional. MBG kini menghadapi ujian publik: apakah akan berhenti karena masalah, atau justru berbenah dan belajar agar bisa benar-benar memenuhi tujuannya.

Dari Masalah ke Pembelajaran

Setiap kebijakan publik yang baru diimplementasikan dalam skala besar hampir pasti menghadapi persoalan.

Kadang berupa koordinasi yang lemah, standar higienitas yang belum seragam, atau distribusi yang tidak terkendali.

Dalam literatur kebijakan publik, situasi ini disebut sebagai fase policy learning—proses di mana masalah dipahami sebagai bahan koreksi, bukan tanda kegagalan total (Bennett & Howlett, 1992).

Fenomena ini kadang disebut sebagai fase “anak bawang” kebijakan. Namun, justru di sinilah peluang policy learning—proses belajar dari masalah untuk memperbaiki desain dan pelaksanaan program (Bennett & Howlett, 1992).

Kasus MBG saat ini, termasuk yang terjadi di Sumsel menggambarkan fase itu. Kita sedang berhadapan dengan program yang niatnya mulia, namun praktiknya masih rapuh.

Sebelum buru-buru menghentikan, justru di sinilah pentingnya melakukan evaluasi menyeluruh, memperkuat pengawasan, dan memperbaiki tata kelola.

Sumber: Sriwijaya Post
Halaman 1 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved