Opini
Suara yang Hilang, Demokrasi yang Tergerus
Demokrasi baru akan tegak bila suara rakyat, sekecil apa pun, tidak dibiarkan menguap sia-sia.
Oleh: Dr. M.H.Thamrin
(Pengamat Politik dan Kebijakan Publik dari Universitas Sriwijaya)
SRIPOKU.COM - Beberapa waktu lalu seorang tetangga bercerita setelah pemilu. Dengan nada kecewa ia berkata, “Saya sudah memilih, tapi rasanya percuma saja. Calon yang saya pilih tidak pernah lolos.”
Kalimat sederhana itu menyentil saya. Bagaimana mungkin seorang warga yang sudah berpartisipasi justru merasa suaranya tak bermakna? Kenyataannya, perasaan itu bukan keliru.
Dalam setiap pemilu, selalu ada suara yang sah namun tak pernah sampai ke kursi parlemen. Ia hilang di sepanjang proses konversi suara menjadi kursi.
Fenomena inilah yang dalam tulisan ini saya sebut sebagai suara yang hilang. Suara yang hilang berbeda dari golput atau suara tidak sah. Ia justru lahir dari partisipasi aktif. Dalam literatur politik, fenomena ini kerap disebut dengan dua istilah: wasted votes dan unrepresented votes.
Istilah wasted votes digunakan dalam konteks sistem distrik tunggal seperti Amerika Serikat atau Inggris.
Douglas Rae (1967), dalam buku klasik The Political Consequences of Electoral Laws, menyebut suara terbuang sebagai suara yang diberikan kepada kandidat yang kalah atau suara tambahan yang tidak lagi memengaruhi hasil.
Belakangan, konsep ini dipakai pula untuk mengukur praktik gerrymandering melalui apa yang dikenal sebagai efficiency gap (Stephanopoulos & McGhee, 2015).
Semakin besar jumlah suara terbuang, semakin terlihat manipulasi pembagian distrik untuk kepentingan tertentu.
Sementara itu, unrepresented votes lebih lazim dalam sistem proporsional, seperti di Indonesia. Suara disebut tidak terwakili ketika, meski sah, tidak menghasilkan kursi karena aturan kelembagaan.
Ambang batas parlemen menjadi contoh paling jelas. Pada Pemilu 2019, data KPU mencatat sekitar 13,8 juta suara—hampir 12 persen suara sah—tidak pernah sampai ke Senayan karena partai-partai pengusungnya gagal melewati parliamentary threshold 4 persen.
Jumlah sebesar ini setara dengan populasi sebuah provinsi, tetapi tidak satu pun kursi lahir darinya (Siregar, 2020).
Dua istilah ini menunjukkan sisi yang berbeda. Wasted votes menekankan inefisiensi kompetisi, sedangkan unrepresented votes menyoroti eksklusi kelembagaan.
Bedanya halus, tetapi penting. Yang satu akibat sifat kompetisi elektoral, yang lain akibat desain aturan pemilu.
Peringatan Dini: IPM Kota Palembang Sangat Tinggi Tapi Tersendat |
![]() |
---|
Cerdas Finansial, Aman dari Penipuan: Pentingnya Literasi Keuangan di Era Digital |
![]() |
---|
Teror Likuiditas Dana Rp 200 Triliun: “Offside”? |
![]() |
---|
Serapan Anggaran MBG Rendah: Diduga Ada Skandal 'Uang Titik' Dapur Rp 50 Juta di Palembang |
![]() |
---|
Refleksi Hari Statistik Nasional |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.