Opini
Suara yang Hilang, Demokrasi yang Tergerus
Demokrasi baru akan tegak bila suara rakyat, sekecil apa pun, tidak dibiarkan menguap sia-sia.
Mengapa suara bisa hilang?
Ada beberapa penyebab utama. Pertama, desain sistem pemilu itu sendiri. Sistem distrik tunggal hanya menyisakan satu pemenang di setiap daerah, membuat sebagian besar suara otomatis terbuang.
Sistem proporsional memang lebih representatif, tetapi tetap melahirkan suara hilang karena ambang batas, formula konversi suara ke kursi, hingga ketidakseimbangan alokasi kursi antar-daerah (malapportionment).
Kedua, fragmentasi partai politik. Semakin banyak partai kecil, semakin besar pula potensi suara tersebar tipis dan akhirnya tak terkonsolidasi, lalu terbuang karena partai gagal memenuhi syarat minimal.
Ketiga, tata kelola pemilu yang tidak adaptif. Pippa Norris (2014), melalui Electoral Integrity Project, menegaskan bahwa integritas pemilu adalah fondasi demokrasi.
Pemilu bukan hanya soal siapa menang atau kalah, tetapi apakah setiap suara diperlakukan adil dan punya peluang setara untuk dihitung.
Bila jutaan suara hilang karena aturan, itu bukan sekadar kelemahan teknis, melainkan keretakan pada akar demokrasi.
Pandangan serupa disampaikan Luis E. M. Torres (2015), yang menekankan bahwa aturan pemilu—mulai dari alokasi kursi, distribusi distrik, hingga ambang batas—bisa memperkuat atau justru melemahkan legitimasi.
Bila aturan gagal menjamin keterwakilan, yang runtuh adalah kepercayaan publik pada sistem politik itu sendiri.
Fenomena suara yang hilang membawa implikasi serius. Ia menimbulkan defisit representasi: jutaan pemilih merasa suaranya tak bermakna meski sudah berpartisipasi.
Ia menciptakan bias representasi karena partai besar semakin dominan, sementara partai kecil dan pemilihnya tersisih.
Ia bisa menggerogoti legitimasi parlemen, karena publik mempertanyakan seberapa sah wakil rakyat itu benar-benar mewakili. Dan pada akhirnya, ia bisa melahirkan apatisme: pemilih yang berulang kali melihat suaranya hilang mungkin memilih untuk tidak datang lagi ke bilik suara.
Mencari Jalan Keluar
Pertanyaannya: apakah suara yang hilang bisa dihapuskan? Hampir mustahil.
Setiap sistem pemilu pasti menyisakan sebagian suara yang tidak menghasilkan kursi. Namun, kita bisa dan seharusnya meminimalkan jumlahnya. Ambang batas parlemen, misalnya, layak dikaji ulang.
Peringatan Dini: IPM Kota Palembang Sangat Tinggi Tapi Tersendat |
![]() |
---|
Cerdas Finansial, Aman dari Penipuan: Pentingnya Literasi Keuangan di Era Digital |
![]() |
---|
Teror Likuiditas Dana Rp 200 Triliun: “Offside”? |
![]() |
---|
Serapan Anggaran MBG Rendah: Diduga Ada Skandal 'Uang Titik' Dapur Rp 50 Juta di Palembang |
![]() |
---|
Refleksi Hari Statistik Nasional |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.