Opini
Suara yang Hilang, Demokrasi yang Tergerus
Demokrasi baru akan tegak bila suara rakyat, sekecil apa pun, tidak dibiarkan menguap sia-sia.
Apakah threshold 4 persen masih relevan untuk konteks multipartai Indonesia, atau justru membuat jutaan suara sah terbuang?
Alternatif lain adalah memperbaiki formula konversi suara agar lebih proporsional, serta memperkuat pendidikan politik pemilih agar pilihan mereka lebih strategis.
Beberapa riset terbaru bahkan mengusulkan redistribusi suara hilang atau mekanisme transferable votes untuk mengurangi dampak eksklusi (Aragonés et al., 2025).
Arend Lijphart (1999) pernah menegaskan bahwa sistem pemilu adalah jantung demokrasi. Dari sinilah denyut kehidupan politik ditentukan.
Jika sistem ini terlalu banyak membuang suara, maka yang hilang bukan sekadar kursi, tetapi legitimasi demokrasi itu sendiri.
Pandangan Lijphart kini mendapat gema dari pemikir kontemporer seperti Norris maupun Torres: demokrasi hanya sehat bila suara rakyat benar-benar dihitung.
Bagi saya, pembicaraan tentang suara yang hilang bukan soal hitung-hitungan teknis semata. Ia menyangkut rasa keadilan politik warga.
Demokrasi baru akan tegak bila suara rakyat, sekecil apa pun, tidak dibiarkan menguap sia-sia.
Karena itu, setiap kali kita membicarakan pemilu, pertanyaan yang layak diajukan bukan hanya siapa yang akan menang, melainkan seberapa banyak suara yang akan hilang—dan apa yang bisa kita lakukan agar jumlahnya semakin kecil. (*)
Peringatan Dini: IPM Kota Palembang Sangat Tinggi Tapi Tersendat |
![]() |
---|
Cerdas Finansial, Aman dari Penipuan: Pentingnya Literasi Keuangan di Era Digital |
![]() |
---|
Teror Likuiditas Dana Rp 200 Triliun: “Offside”? |
![]() |
---|
Serapan Anggaran MBG Rendah: Diduga Ada Skandal 'Uang Titik' Dapur Rp 50 Juta di Palembang |
![]() |
---|
Refleksi Hari Statistik Nasional |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.