Opini
Pindar Dalam Pusaran Regulasi Perguruan Tinggi
Pemanfaatan platform pinjaman daring (Pindar) di perguruan tinggi sepertinya tidak disambut dengan baik.
Selanjutnya dalam ayat (3) menyebutkan Perguruan Tinggi atau penyelenggara Perguruan
Tinggi menerima pembayaran yang ikut ditanggung oleh Mahasiswa untuk membiayai studinya sesuai dengan kemampuan Mahasiswa, orang tua Mahasiswa, atau pihak yang membiayainya.
Hal yang perlu digarisbawahi ialah Pasal 76 ayat (2) huruf c dapat kita tafsirkan bahwa proses pinjaman itu boleh dilakukan asalkan tidak diiringi adanya bunga seperti layanan pinjol yang digunakan secara umum oleh masyarakat.
Pasal tersebut juga dapat memberikan pandangan baru bagi perguruan tinggi yang sudah bermitra dengan layanan pinjaman daring (pindar), bahwa pola pinjol tersebut dapat berpotensi melanggar UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Istilah lainnya pola pinjaman dana untuk membantu mahasiswa melunasi utangnya dapat dinyatakan ilegal alias tidak berdasarkan peraturan perundang – undangan. Dalam ranah hukum perjanjian, setiap perjanjian yang diatur dalam Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) maupun di luar KUH Perdata, termasuk salah satunya pinjam meminjam secara online.
Harus tunduk dalam pasal 1320 KUH Perdata mengenai syarat sahnya perjanjian yang terdiri dari kesepakatan para pihak yang membuat perjanjian, adanya kecakapan dalam membuat perjanjian, adanya objek yang ditentukan dan adanya kausa yang halal (Badrulzaman 1994) .
Khusus, syarat yang terakhir yaitu kausa yang halal yang artinya tidak boleh bertentangan
dengan peraturan perundang – undangan. Maka, sistem pinjaman daring yang disertai bunga
dengan dalih melunasi uang kuliah , berpotensi dinyatakan batal demi hukum karena
bertentang dengan UU Dikti.
Solusi Alternatif
Permasalahan krisis finansial yang dihadapi mahasiswa dalam membiayai uang kuliahnya
sebenarnya tidak harus bertumpu kepada layanan pinjol. Secara regulasi, solusi tersebut
ditemukan dalam Permendikbud No. 25 tahun 2020 tentang Standar Satuan Biaya
Operasional Pendidikan Tinggi Pada Perguruan Tinggi Negeri Di Lingkungan Kementerian
Pendidikan Dan Kebudayaan.
Dalam pasal 9 ayat (4) permendikbud tersebut menyebutkan, Dalam hal Mahasiswa, orang
tua Mahasiswa, atau pihak lain yang membiayai Mahasiswa mengalami penurunan
kemampuan ekonomi, antara lain dikarenakan bencana alam dan/atau non-alam, Mahasiswa
dapat mengajukan: a. pembebasan sementara UKT; b. pengurangan UKT; c. perubahan
kelompok UKT; atau d. pembayaran UKT secara mengangsur.
Selanjutnya dalam Pasal 12 Permendikbud menyebutkan, Dalam hal penghitungan besaran
UKT terdapat: a. ketidaksesuaian data dengan fakta terkait ekonomi Mahasiswa, orang tua
Mahasiswa, atau pihak lain yang membiayai Mahasiswa; atau b. perubahan kemampuan
ekonomi Mahasiswa, orang tua Mahasiswa, atau pihak lain yang membiayai Mahasiswa,
pemimpin PTN dapat menurunkan atau menaikkan besaran UKT melalui penetapan ulang
pemberlakuan UKT terhadap Mahasiswa.
Dari regulasi tersebut, mengevaluasi hingga kebijakan dispensasi seperti penundaan maupun
pengurangan biaya UKT lebih bijak untuk dilakukan dibandingkan menyediakan layanan
pinjaman daring.
Pinjaman daring atau utang piutang harus dijadikan sebagai opsi terakhir dalam memenuhi
kebutuhan hidup. Artinya, jika pinjol dapat dihindarkan, maka sebaiknya tidak perlu
dilakukan. Mengingat kondisi psikis atau emosional mahasiswa sebagai kaum muda dalam
mengelola keuangan masih sangat fluktuatif.
Tidak menutup kemungkinan, ada beberapa dari mereka yang “sengaja” meminjam dana
tersebut tanpa ada niat untuk mengembalikan utang beserta bunganya. Padahal kalangan
mahasiswa sebagai penerus generasi bangsa inilah harus diberikan edukasi bahwa “utang
adalah janji, dan janji harus ditepati.”
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.