Opini

Pindar Dalam Pusaran Regulasi Perguruan Tinggi

Pemanfaatan platform pinjaman daring (Pindar) di perguruan tinggi sepertinya tidak disambut dengan baik.

|
Editor: Yandi Triansyah
handout
Muhammad Syahri Ramadhan, S.H.,M.H Ketua Pusat Kajian Hukum Sriwijaya (SLC) dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya 

Oleh : Muhammad Syahri Ramadhan, S.H.,M.H Ketua Pusat Kajian Hukum Sriwijaya (SLC) dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya

Pindar Dalam Pusaran Regulasi Perguruan Tinggi

Pemanfaatan platform pinjaman daring (Pindar) di perguruan tinggi sepertinya tidak disambut
dengan baik.

Dengan dalih untuk memberikan solusi alternatif bagi mahasiswa dalam memenuhi kewajiban membayar uang kuliah nya. Hal tersebut membuat beberapa perguruan tinggi di Indonesia yang bekerjasama dengan perusahaan pinjol tersebut.

Tidak sedikit mahasiswa melayangkan protes terhadap kebijakan tersebut. Hal tersebut dianggap mendistorsi prinsip “menyelesaikan masalah tanpa masalah” menjadi “menyelesaikan masalah dengan menimbulkan masalah baru.”

Bahkan, adanya praktk pinjol di dunia civitas akademika telah dianggap melanggar peraturan
perundang – undangan yang berkaitan dengan perguruan tinggi.

Hakekat Kegunaan Pinjaman Daring Dalam bisnis, utang adalah fenomena hal biasa.

Tidak semua keluarga mempunyai harta kekayaan yang kuat. Sekalipun mempunyai tabungan atau investasi, hal tersebut belum mampu memenuhi atas kebutuhan sandang, pangan bahkan papan.

Khusus, mengenai papan atau rumah, mengingat biaya untuk membangun atau membelinya tidaklah murah.

Mau tidak mau, mengandalkan sistem utang adalah salah satu opsi yang harus dilakukan.
Contohnya, kebijakan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) adalah suatu fasilitas kredit yang
diberikan oleh perbankan kepada para nasabah perorangan yang akan membeli atau
memperbaiki rumah.

Pola KPR ini, rumah yang dibeli akan dijadikan agunan atau jaminan kepada pihak bank ini, menjadi bukti sahih bahwa tidak semua orang mempunyai dana melimpah untuk memiliki hunian tempat tinggal yang nominalnya begitu tinggi.

Utang adalah solusi dalam memenuhi bagi kalangan masyarakat yang pas – pasan maupun
konglomerat. Dalam konsep zoon politicon, manusia adalah makhluk sosial.

Adagium yang disampaikan Aristoteles, menegaskan tidak ada satu pun manusia yang tidak membutuhkan bantuan manusia lainnya.

Fenomena utang piutang menjadi bukti nyata atas ketergantungan kita terhadap bantuan
orang lain.

Di era digitalisasi, kegiatan bisnis termasuk utang piutang dapat dilaksanakan dengan praktis. Kita pernah mendengar istilah e-commerce yaitu transaksi perdagangan secara online.

Cukup menggunakan jari jemari dalam perangkat gawai, barang yang dibeli langsung diantarkan ke konsumen.

Tidak perlu lagi pertemuan tatap muka antara penjual dan pembeli, yang dapat menguras tenaga, waktu dan biaya.

Dalam pinjol pun seperti itu, proses transaksi yang dilakukan sangat sederhana dan tidak
membutuhkan waktu lama dalam proses pencairan.

Tidak perlu bolak balik ke percetakan untuk mencetak Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK) dan surat lainnya.

Tidak perlu membuang – buang waktu berkendara sambil menikmati cuaca panas maupun hujan
untuk menuju kantor perusahaan pinjaman. Syarat yang dipenuhi hanya berbasis online. Sangat begitu praktis.

Digital memang membawa berkah dalam meringankan segala aktivitas manusia. Cara
konvensional yang dulunya biasa dilakukan sudah mulai tereduksi berkat adanya digitalisasi.

Namun, mengingat digital merupakan karya dari manusia, potensi penyimpangan norma
hukum masih sangat dimungkinkan terjadi.  Salah satunya ialah pinjol ilegal. Yang dimana
pola sistem pinjam meminjam ini memiliki nilai bunga yang sangat tinggi dan dapat
‘mencekik’ para nasabah.

Bahkan, jika para nasabah ini tidak membayar cicilan tepat waktu, maka intimidasi dari para debt collector melalui telpon harus siap – siap diterima.

Tidak mengherankan, jika ada beberapa nasabah harus mengakhiri hidupnya dikarenakan
depresi atas teror yang tiada henti dari aksi lintah darat digital tersebut.

Fenomena pinjol ini seyogianya harus menjadi refleksi bagi setiap perguruan tinggi yang
menjalin kerjasama dengan layanan pinjam meminjam secara online.

Meskipun, mekanisme pindar dapat memberikan solusi untuk menanggulangi beban UKT setiap mahasiswa.

Namun, bunga atas biaya angsuran yang jumlah terbilang tinggi tersebut dapat menjadi masalah baru bagi mahasiswa itu sendiri.

Persoalan biaya UKT ini tentu saja berkaitan dengan hak mahasiswa dalam menyelesaikan studi kampus. Perguruan tinggi harus menjadi problem solver di saat kendala finansial menjadi hambatan mahasiswa untuk meraih impiannya menjadi seorang sarjana.

Hal ini merupakan amanat dari UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, khususnya dalam
Pasal 76 ayat (1) menyebutkan Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau Perguruan Tinggi
berkewajiban memenuhi hak Mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi untuk dapat
menyelesaikan studinya sesuai dengan peraturan akademik.

Adapun regulasi sudah memberikan mekanisme untuk membantu para mahasiswa yang kurang mampu tersebut dalam Pasal 76 ayat (1) UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang menyebutkan Pemenuhan hak Mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan cara memberikan: a. beasiswa kepada Mahasiswa berprestasi; b. bantuan atau membebaskan biaya Pendidikan; dan/atau c. pinjaman dana tanpa bunga yang wajib dilunasi setelah lulus dan/atau memperoleh pekerjaan.

Selanjutnya dalam ayat (3) menyebutkan Perguruan Tinggi atau penyelenggara Perguruan
Tinggi menerima pembayaran yang ikut ditanggung oleh Mahasiswa untuk membiayai studinya sesuai dengan kemampuan Mahasiswa, orang tua Mahasiswa, atau pihak yang membiayainya.

Hal yang perlu digarisbawahi ialah Pasal 76 ayat (2) huruf c dapat kita tafsirkan bahwa proses pinjaman itu boleh dilakukan asalkan tidak diiringi adanya bunga seperti layanan pinjol yang digunakan secara umum oleh masyarakat.

Pasal tersebut juga dapat memberikan pandangan baru bagi perguruan tinggi yang sudah bermitra dengan layanan pinjaman daring (pindar), bahwa pola pinjol tersebut dapat berpotensi melanggar UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.

Istilah lainnya pola pinjaman dana untuk membantu mahasiswa melunasi utangnya dapat dinyatakan ilegal alias tidak berdasarkan peraturan perundang – undangan. Dalam ranah hukum perjanjian, setiap perjanjian yang diatur dalam Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) maupun di luar KUH Perdata, termasuk salah satunya pinjam meminjam secara online.

Harus tunduk dalam pasal 1320 KUH Perdata mengenai syarat sahnya perjanjian yang terdiri dari kesepakatan para pihak yang membuat perjanjian, adanya kecakapan dalam membuat perjanjian, adanya objek yang ditentukan dan adanya kausa yang halal (Badrulzaman 1994) .

Khusus, syarat yang terakhir yaitu kausa yang halal yang artinya tidak boleh bertentangan
dengan peraturan perundang – undangan. Maka, sistem pinjaman daring yang disertai bunga
dengan dalih melunasi uang kuliah , berpotensi dinyatakan batal demi hukum karena
bertentang dengan UU Dikti.

Solusi Alternatif

Permasalahan krisis finansial yang dihadapi mahasiswa dalam membiayai uang kuliahnya
sebenarnya tidak harus bertumpu kepada layanan pinjol. Secara regulasi, solusi tersebut
ditemukan dalam Permendikbud No. 25 tahun 2020 tentang Standar Satuan Biaya
Operasional Pendidikan Tinggi Pada Perguruan Tinggi Negeri Di Lingkungan Kementerian
Pendidikan Dan Kebudayaan.

Dalam pasal 9 ayat (4) permendikbud tersebut menyebutkan, Dalam hal Mahasiswa, orang
tua Mahasiswa, atau pihak lain yang membiayai Mahasiswa mengalami penurunan
kemampuan ekonomi, antara lain dikarenakan bencana alam dan/atau non-alam, Mahasiswa
dapat mengajukan: a. pembebasan sementara UKT; b. pengurangan UKT; c. perubahan
kelompok UKT; atau d. pembayaran UKT secara mengangsur.

Selanjutnya dalam Pasal 12 Permendikbud menyebutkan, Dalam hal penghitungan besaran
UKT terdapat: a. ketidaksesuaian data dengan fakta terkait ekonomi Mahasiswa, orang tua
Mahasiswa, atau pihak lain yang membiayai Mahasiswa; atau b. perubahan kemampuan
ekonomi Mahasiswa, orang tua Mahasiswa, atau pihak lain yang membiayai Mahasiswa,
pemimpin PTN dapat menurunkan atau menaikkan besaran UKT melalui penetapan ulang
pemberlakuan UKT terhadap Mahasiswa.

Dari regulasi tersebut, mengevaluasi hingga kebijakan dispensasi seperti penundaan maupun
pengurangan biaya UKT lebih bijak untuk dilakukan dibandingkan menyediakan layanan
pinjaman daring.

Pinjaman daring atau utang piutang harus dijadikan sebagai opsi terakhir dalam memenuhi
kebutuhan hidup. Artinya, jika pinjol dapat dihindarkan, maka sebaiknya tidak perlu
dilakukan. Mengingat kondisi psikis atau emosional mahasiswa sebagai kaum muda dalam
mengelola keuangan masih sangat fluktuatif.

Tidak menutup kemungkinan, ada beberapa dari mereka yang “sengaja” meminjam dana
tersebut tanpa ada niat untuk mengembalikan utang beserta bunganya. Padahal kalangan
mahasiswa sebagai penerus generasi bangsa inilah harus diberikan edukasi bahwa “utang
adalah janji, dan janji harus ditepati.”

Sumber: Sriwijaya Post
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved