Opini
Pindar Dalam Pusaran Regulasi Perguruan Tinggi
Pemanfaatan platform pinjaman daring (Pindar) di perguruan tinggi sepertinya tidak disambut dengan baik.
Cukup menggunakan jari jemari dalam perangkat gawai, barang yang dibeli langsung diantarkan ke konsumen.
Tidak perlu lagi pertemuan tatap muka antara penjual dan pembeli, yang dapat menguras tenaga, waktu dan biaya.
Dalam pinjol pun seperti itu, proses transaksi yang dilakukan sangat sederhana dan tidak
membutuhkan waktu lama dalam proses pencairan.
Tidak perlu bolak balik ke percetakan untuk mencetak Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK) dan surat lainnya.
Tidak perlu membuang – buang waktu berkendara sambil menikmati cuaca panas maupun hujan
untuk menuju kantor perusahaan pinjaman. Syarat yang dipenuhi hanya berbasis online. Sangat begitu praktis.
Digital memang membawa berkah dalam meringankan segala aktivitas manusia. Cara
konvensional yang dulunya biasa dilakukan sudah mulai tereduksi berkat adanya digitalisasi.
Namun, mengingat digital merupakan karya dari manusia, potensi penyimpangan norma
hukum masih sangat dimungkinkan terjadi. Salah satunya ialah pinjol ilegal. Yang dimana
pola sistem pinjam meminjam ini memiliki nilai bunga yang sangat tinggi dan dapat
‘mencekik’ para nasabah.
Bahkan, jika para nasabah ini tidak membayar cicilan tepat waktu, maka intimidasi dari para debt collector melalui telpon harus siap – siap diterima.
Tidak mengherankan, jika ada beberapa nasabah harus mengakhiri hidupnya dikarenakan
depresi atas teror yang tiada henti dari aksi lintah darat digital tersebut.
Fenomena pinjol ini seyogianya harus menjadi refleksi bagi setiap perguruan tinggi yang
menjalin kerjasama dengan layanan pinjam meminjam secara online.
Meskipun, mekanisme pindar dapat memberikan solusi untuk menanggulangi beban UKT setiap mahasiswa.
Namun, bunga atas biaya angsuran yang jumlah terbilang tinggi tersebut dapat menjadi masalah baru bagi mahasiswa itu sendiri.
Persoalan biaya UKT ini tentu saja berkaitan dengan hak mahasiswa dalam menyelesaikan studi kampus. Perguruan tinggi harus menjadi problem solver di saat kendala finansial menjadi hambatan mahasiswa untuk meraih impiannya menjadi seorang sarjana.
Hal ini merupakan amanat dari UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, khususnya dalam
Pasal 76 ayat (1) menyebutkan Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau Perguruan Tinggi
berkewajiban memenuhi hak Mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi untuk dapat
menyelesaikan studinya sesuai dengan peraturan akademik.
Adapun regulasi sudah memberikan mekanisme untuk membantu para mahasiswa yang kurang mampu tersebut dalam Pasal 76 ayat (1) UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang menyebutkan Pemenuhan hak Mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan cara memberikan: a. beasiswa kepada Mahasiswa berprestasi; b. bantuan atau membebaskan biaya Pendidikan; dan/atau c. pinjaman dana tanpa bunga yang wajib dilunasi setelah lulus dan/atau memperoleh pekerjaan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.