Opini: Merayakan Kemenangan Idul Fitri dengan Kesederhanaan Efisiensi Anggaran
Apabila berkaca pada Ekonomi Islam, al-Qur’an sebenarnya sudah mengajarkan kepada umat manusia (khususnya umat Islam) untuk selalu menerapkan hidup
Prinsip yang kedua adalah kesederhanaan, prinsip ini mengatur perilaku manusia dalam menkonsumsi sesuatu untuk tidak berlebih-lebihan, menyeimbangkan antara pengeluaran dan pemasukan sehingga dapat tercapai tujuan dari konsumsi itu sendiri. Prinsip ini sangat berbeda dengan ideologi ekonomi kapitaslisme yang lebih mengedepankan pada tujuan produksi sebanyak mungkin dan tidak memperhatikan aspek lain. Sehingga akan memproduksi suatu produk untuk dikonsumsi tanpa tujuan yang jelas dan berlebih-lebihan. Dalam Islam justru sebaliknya, menganjurkan untuk menerapkan psinsip moderat, adil dan proposional sehingga terarah tujuan dan maksud dari kegiatan produksi. Sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-Isra ayat 27 bahwa mubadzir atau menghambur-hamurkan sesuatu tanpa arah dan tujuan yang jelas adalah saudaranya syetan.
Artinya; sesungguhnya para pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya
Prinsip yang ketiga adalah lebih memprioritas pada kebutuhan dibandingkan keinginan, dalam konteks ekonomi secara konvensional tidak ada perbedaan antara keinginan dan kebutuhan sehingga yang diinginkan dan yang dibutuhkan manusia akan sama saja sehingga prinsip yang digunakan adalah utilitarianisme dan rasionalitas. Sedangkan dari perspektif ekonomi Islam antara keinginan dan kebutuhan adalah dua hal yang berbeda di mana keinginan adalah sesuatu yang diinginkan namun tidak secara langsung merupakan yang diperlukan untuk mempertahankan hidup dan kesejahteraan, sehingga prioritas dari keinginan lebih rendah daripda kebutuhan, sedangkan kebutuhan merupakan sesuatu yang diperlukan untuk keberlanjutan hidup dan kesejahteraan sehingga prioritasnya menjadi lebih utama daripada keinginan. Dalam perspektif ekonomi Islam untuk menimbang susuatu yang menjadi kebutuhan dengan 3 tingkatan yaitu, daruriyyat (kebutuhan primer), hajiyyat (kebutuhan sekunder) dan tahsiniyyat (tresier/ aksesosirs), maka dalam mengkumsumsi sesuatu harus mengutamakan pada hal yang sifatnya daruriyyat, namun apabila pada tingkat pertama bisa terpenuhi dengan maksimal bisa dilakukan kegiatan konsumsi pada tingkat kedua dan ketiga.
Dari ketiga prinsip konsumsi di atas, mashlahah menjadi tolak ukurnya di mana mashlahah adalah segala bentuk keadaan baik material maupun non material yang mampu meningkatkan kedudukan manusia sebagai makhluk yang paling mulia, di mana kandungan dari mashlhah itu sendiri adalah manfaat dan berkah. Maka tujuan dari konsumsi itu sendiri dalam perspektif ekonom Islam tidak hanya sebatas mencari kepuasan (utility) dari yang dikonsumsi namun lebih dari itu, tujuan dari konsumsi untuk meningkat stamina dalam ketaatan kepada Allah Swt sehingga menjadikan konsumsi juga bernilai ibadah sehingga selain menjalankan aktivitas konsumsi sesungguhnya kita sudah menjalankan fungsi kita sebagai seorang hamba Allah untuk beribadah, sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an Surat Adz Dzariyat ayat 56:
“dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku”
Lebih lanjut Imam Ghazali menjelaskan dalam kitabnya Ihya Ulumuddin bahwa mashlahah akan tercapai apabila didukung dengan 5 elemen dasar yakni; kehidupan atau jiwa (al-nafs), properti atau harta (al-mal), keyakinan (al-din), intelektual (al-aql) dan keluarga (al-nasl). Maka apabila barang dan jasa yang dikonsumsi oleh seorang muslim dapat mencapai dan memelihara kelima elemen tersebut maka ia telah mencapai mashlahah yang akan menjadi wasilah (perantara) untuk mecapai al-falah sebagai tujuan akhir dari kegiatan konsumsi.
Merayakan kemenangan idulfitri, setelah menunaikan ibadah puasa selama satu bulan Ramadhan di tengah efisiensi anggaran sebaiknya seorang muslim dapat menerapkan prinsip-prinsip konsumsi dalam ekonomi Islam. Idulfitri seyogyanya adalah sebuah kemenangan setelah sebulan melawan hawa nafsu dari lapar, haus dan hawa nafsu lainnya, maka selayaknya pemenang sejati ia tidak akan menjadikannya sebagai ajang yang harus dirayakan dengan euforia berlebihan. Idulfitri hanyalah sebagai momentum untuk wadah saling silaturahim dan saling memaafkan antar keluarga, tetangga hingga kolega, maka tradisi menyajikan berbagai macam makanan dan minuman di hari raya yang berlebihan sebaiknya dikurangi terlebih di tengah efisiensi anggaran yang sangat ketat sehingga tidak terjadi israf dan mubazir. Memprioritaskan kebutuhan dibandingkan keinginan, kebiasaan membeli baju baru ataupun mengganti aksesoris rumah dan perabotan baru menjelang hari raya pun bukanlah menjadi hal yang sifatnya daruriyyat jika yang lama masih sangat layak untuk digunakan, sehingga di tengah keterbatasan anggaran lebih baik dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan yang sifatnya mendesak pasca lebaran.
Semoga dengan momentum idulfitri 1446 H ini dapat menjadikan kita sebagai umat yang meningkat level ketaatannya kepada Allah Swt dan kembali ke fitrah atau bersih kembali seperti ketika pertama kita dilahirkan dari rahim seorang ibu, bukan dijadikan sebagai cara untuk saling pamer, mengejar popularitas dan validasi hingga berlebih-lebihan dalam kegiatan konsumsi barang dan jasa. Jadikan bulan syawwal sebagai wasilah untuk mencharge dan muhasabah jiwa rohaniah pada tugas dan posisi masing-masing sehingga kembali ke profesi masing-masing pasca lebaran dalam keadaan bersih jasmani dan rohani, sehingga kita dapat meraih gelar muttaqin dan mencapai al-falah bahagia di dunia maupun di akhirat. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.