Opini: Merayakan Kemenangan Idul Fitri dengan Kesederhanaan Efisiensi Anggaran

Apabila berkaca pada Ekonomi Islam, al-Qur’an sebenarnya sudah mengajarkan kepada umat manusia (khususnya umat Islam) untuk selalu menerapkan hidup

Editor: adi kurniawan
Freepik
ILUSTRASI IDUL FITRI -- Merayakan Kemenangan Idul Fitri dengan Kesederhanaan Efisiensi Anggaran 

Ditulis Oleh : Abdullah Sahroni

Dosen Ekonomi Makro Islam

Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam

Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang


MENURUT beberapa riset, di antaranya survei oleh YouGov pada tahun 2020 menunjukkan bahwa 64 persen masyarakat Indonesia pada umumnya mudah bahkan sering mengikuti hal-hal yang sedang viral di jagat maya atau dengan istilah anak-anak milenial adalah FOMO (fear of missing out) yang diartikan sebagai rasa takut akan ketinggalan atau kehilangan sesuatu. Istilah efisiensi termasuk diksi yang pupoler dan viral saat ini di sosial media, hal ini sebagai imbas dari Instruksi Presiden (Inpres) Prabowo Subianto Nomor 1 Tahun 2025 tentang efisiensi belanja dalam pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja Negara (APBN) dan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) tahun 2025 sebagai langkah yang diambil untuk meningkatkan efisiensi belanja. Dalam inpres tersebut mencantumkan 3 poin  pokok yaitu; penetapan target efisiensi sebesar Rp 306,69 triliun, mengoptimalkan belanja dengan mengurangi yang tidak penting dan meningkatkan belanja strategis, peningkatan pengawasan dan pengendalian untuk memitigasi kebocoran dan penyalahgunaan anggaran. Dampaknya isilah ini sering digunakan berbagai kalangan dalam banyak aktivitas, bahkan sering dijadikan sebagai alasan atau lucon untuk menolak sesuatu dengan alasan “efisiensi anggaran”.

Apabila merujuk dari inpres tentang efisiensi anggaran ini, dana yang telah dikumpul akan dialokasikan ke beberapa program prioritas pemerintah, diantaranya; program makan bergizi gratis, swasembada pangan hingga hilirisasi sumber daya mineral. Dampak dari sebuah kebijakan yang diambil oleh pemerintah pasti akan ada respon positif dan juga negatif. Di antara dampak positif dari kebijakan efisiensi anggaran diantaranya; meningkatakan pendapatan negara, mengurangi hutang negara, peningkatan kualitas pelayanan dan lapangan kerja hingga pengurangan tingkat inflasi, namun pengaruh negatif dari regulasi tersebut juga berdampak sangat besar di antaranya pemutusan hubungan kerja (PHK) beberapa perusahaan besar, pegurangan gaji dan tunjangan pegawai baik aparatur sipil negara (ASN), BUMN maupun swasta, pengurangan biaya operasional seperti penggunaan listrik, air dan perjalanan dinas sehingga beberapa Kementerian dan atau Lembaga memberlakukan work from home (WFH) hingga pengurangan hari kerja.

Belanja dan anggaran sering diindikasikan untuk kegiatan konsumsi yang dimaknai sebagai kegiatan penggunaan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan baik secara individu ataupun rumah tangga, kegiatan konsumsi ini selalu melibatkan pengeluaran uang dan sumber daya lainnya untuk memperoleh barang dan jasa yang diinginkan. Jika kembali pada definisi konsumsi di atas, maka kegiatan konsumsi ini tidak hanya terbatas pada sektor makanan dan minuman saja, namun mencakup hal lain seperti pakaian, aksesoris, barang elektronik dan peralatan rumah tangga, jasa transportasi dan akomodasi bahkan biaya yang dikeluarkan untuk biaya pendidikan dan pelatihan.

Dampak yang lebih besar dirasakan masyarakat khususnya umat muslim yang saat ini sedang menjalan ibadah puasa Ramadhan 1446 H dan akan merayakan kemenangan idul fitri 1 syawwal 1446 H. Momentum Ramadhan yang sering identik dengan rutinitas tahunan tradisi masyarakat Indonesia seperti mudik, menyiapkan berbagai hidangan khas daerah bahkan membagikan tunjangan hari raya (thr) mengalami penurunan yang cukup siginifikan dibanding tahun lalu 2024 sebagai dampak dari efisiensi anggaran. Hasil riset Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) yang disampaikan oleh kepala pusat Makroekonomi dan Keuangan M. Rizal Taufikurahman bahwa tingkat konsumsi rumah tangga akan mengalami penurunan drastis di semua Provinsi di Indonesia. Ekonom UPN Achmad Nur Hidayat pun menuturkan angka pemudik di pulau Jawa yang biasanya menjadi pusat tujuan pemudik akan mengalami penurunan hingga 24,33 % tahun 2025 ini. Hari raya yang sering dimanfaatkan untuk berwisata ke tempat-tempat hiburan pun akan mengalami pengurangan, perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menyatakan hasil risetnya menunjukkan sebanyak 88 % pelaku hotel akan melalukan PHK terhadapan pegawainya, hal ini dilakukan sebagai akibat dari penurunan pendapatan mencapai 30 % .  

Apabila berkaca pada Ekonomi Islam, al-Qur’an sebenarnya sudah mengajarkan kepada umat manusia (khususnya umat Islam) untuk selalu menerapkan hidup berhemat dan tidak berlebih-lebihan yang termaktub di surat al’Araf ayat 31:

“wahai anak Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebihan”

Dalam hadist Nabi SAW dijelaskan “Janganlah kalian memberatkan diri, sehingga Allah pun membebanimu, karena suatu kaum yang telah memberatkan diri mereka, Allah juga membebani mereka”.

Dari ayat dan hadits di atas dapat ditarik simpulan bahwa dalam konteks agamapun sebenarnya memberikan perhatian yang sangat besar dalam hal untuk efisiensi anggaran atau penghematan.

Lebih komprehensif, ekonomi Islam telah memberikan beberapa rambu-rambu dalam hal konsumsi supaya mendapat keberkahan dari yang dikonsumsi, diantaranya; pertama, mengkonsumsi sesuatu yang halal dan baik, hal ini sesuai dengan yang termakrub dalam surat al-Baqarah ayat; 168

Artinya; wahai manusia makanlah sebagian (makanan) di muka bumi yang halal lagi baik

Menurut tafsir wajiz, makna dari ayat tersebut adalah makanlah makanan yang halal yaitu tidak haram baik dari zatnya maupun cara memperolehnya karena Islam menjelaskan sangat jelas bahwa kehalalan sesuatu didasari pada sumber, proses dan alokasinya. Selain halal, makanan yang dikonsumsi juga haruslah yang baik yaitu makanan yang sehat, aman bagi tubuh dan tidak berlebihan yang akan mengakibatkan pada sumber penyakit.

Prinsip yang kedua adalah kesederhanaan, prinsip ini mengatur perilaku manusia dalam menkonsumsi sesuatu untuk tidak berlebih-lebihan, menyeimbangkan antara pengeluaran dan pemasukan sehingga dapat tercapai tujuan dari konsumsi itu sendiri. Prinsip ini sangat berbeda dengan ideologi ekonomi kapitaslisme yang lebih mengedepankan pada tujuan produksi sebanyak mungkin dan tidak memperhatikan aspek lain. Sehingga akan memproduksi suatu produk untuk dikonsumsi tanpa tujuan yang jelas dan berlebih-lebihan. Dalam Islam justru sebaliknya, menganjurkan untuk menerapkan psinsip moderat, adil dan proposional sehingga terarah tujuan dan maksud dari kegiatan produksi. Sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-Isra ayat 27 bahwa mubadzir atau menghambur-hamurkan sesuatu tanpa arah dan tujuan yang jelas adalah saudaranya syetan.

Artinya; sesungguhnya para pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya

Prinsip yang ketiga adalah lebih memprioritas pada kebutuhan dibandingkan keinginan, dalam konteks ekonomi secara konvensional tidak ada perbedaan antara keinginan dan kebutuhan sehingga yang diinginkan dan yang dibutuhkan manusia akan sama saja sehingga prinsip yang digunakan adalah utilitarianisme dan rasionalitas. Sedangkan dari perspektif ekonomi Islam antara keinginan dan kebutuhan adalah dua hal yang berbeda di mana keinginan adalah sesuatu yang diinginkan namun tidak secara langsung merupakan yang diperlukan untuk mempertahankan hidup dan kesejahteraan, sehingga prioritas dari keinginan lebih rendah daripda kebutuhan, sedangkan kebutuhan merupakan sesuatu yang diperlukan untuk keberlanjutan hidup dan kesejahteraan sehingga prioritasnya menjadi lebih utama daripada keinginan. Dalam perspektif ekonomi Islam untuk menimbang susuatu yang menjadi kebutuhan dengan 3 tingkatan yaitu, daruriyyat (kebutuhan primer), hajiyyat (kebutuhan sekunder) dan tahsiniyyat (tresier/ aksesosirs), maka dalam mengkumsumsi sesuatu harus mengutamakan pada hal yang sifatnya daruriyyat, namun apabila pada tingkat pertama bisa terpenuhi dengan maksimal bisa dilakukan kegiatan konsumsi pada tingkat kedua dan ketiga.

Dari ketiga prinsip konsumsi di atas, mashlahah menjadi tolak ukurnya di mana mashlahah adalah segala bentuk keadaan baik material maupun non material yang mampu meningkatkan kedudukan manusia sebagai makhluk yang paling mulia, di mana kandungan dari mashlhah itu sendiri adalah manfaat dan berkah. Maka tujuan dari konsumsi itu sendiri dalam perspektif ekonom Islam tidak hanya sebatas mencari kepuasan (utility) dari yang dikonsumsi namun lebih dari itu, tujuan dari konsumsi untuk meningkat stamina dalam ketaatan kepada Allah Swt sehingga menjadikan konsumsi juga bernilai ibadah sehingga selain menjalankan aktivitas konsumsi sesungguhnya kita sudah menjalankan fungsi kita sebagai seorang hamba Allah untuk beribadah, sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an Surat Adz Dzariyat ayat 56:

 “dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku”

Lebih lanjut Imam Ghazali menjelaskan dalam kitabnya Ihya Ulumuddin bahwa mashlahah akan tercapai apabila didukung dengan 5 elemen dasar yakni; kehidupan atau jiwa (al-nafs), properti atau harta (al-mal), keyakinan (al-din), intelektual (al-aql) dan keluarga (al-nasl). Maka apabila barang dan jasa yang dikonsumsi oleh seorang muslim dapat mencapai dan memelihara kelima elemen tersebut maka ia telah mencapai mashlahah yang akan  menjadi wasilah (perantara) untuk mecapai al-falah sebagai tujuan akhir dari kegiatan konsumsi.

Merayakan kemenangan idulfitri, setelah menunaikan ibadah puasa selama satu bulan Ramadhan di tengah efisiensi anggaran sebaiknya seorang muslim dapat menerapkan prinsip-prinsip konsumsi dalam ekonomi Islam. Idulfitri seyogyanya adalah sebuah kemenangan setelah sebulan melawan hawa nafsu dari lapar, haus dan hawa nafsu lainnya, maka selayaknya pemenang sejati ia tidak akan menjadikannya sebagai ajang yang harus dirayakan dengan euforia berlebihan. Idulfitri hanyalah sebagai momentum untuk wadah saling silaturahim dan saling memaafkan antar keluarga, tetangga hingga kolega, maka tradisi menyajikan berbagai macam makanan dan minuman di hari raya yang berlebihan sebaiknya dikurangi terlebih di tengah efisiensi anggaran yang sangat ketat sehingga tidak terjadi israf dan mubazir. Memprioritaskan kebutuhan dibandingkan keinginan, kebiasaan membeli baju baru ataupun mengganti aksesoris rumah dan perabotan baru menjelang hari raya pun bukanlah menjadi hal yang sifatnya daruriyyat jika yang lama masih sangat layak untuk digunakan, sehingga di tengah keterbatasan anggaran lebih baik dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan yang sifatnya mendesak pasca lebaran.

Semoga dengan momentum idulfitri 1446 H ini dapat menjadikan kita sebagai umat yang meningkat level ketaatannya kepada Allah Swt dan kembali ke fitrah atau bersih kembali seperti ketika pertama kita dilahirkan dari rahim seorang ibu, bukan dijadikan sebagai cara untuk saling pamer, mengejar popularitas dan validasi hingga berlebih-lebihan dalam kegiatan konsumsi barang dan jasa. Jadikan bulan syawwal sebagai wasilah untuk mencharge dan muhasabah jiwa rohaniah pada tugas dan posisi masing-masing sehingga kembali ke profesi masing-masing pasca lebaran dalam keadaan bersih jasmani dan rohani, sehingga kita dapat meraih gelar muttaqin dan mencapai al-falah bahagia di dunia maupun di akhirat. (*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved