Partisipasi Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik

Pembangunan adalah proses yang disengaja untuk menciptakan perubahan dengan tujuan memperbaiki kondisi kehidupan, meningkatkan kesejahteraan,

Editor: Bejoroy
SRIPOKU.COM/Istimewa
Djoko Prihadi SH MH (Program Doktor Administrasi Publik Universitas Sriwijaya (UNSRI) 

Beberapa faktor, antara lain sebagai berikut, menyebabkan rendahnya keterlibatan masyarakat dalam memantau kemajuan perbaikan:

Pertama, “penyusunan standar pelayanan tidak memperhatikan kebutuhan masyarakat. Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009, mengamanatkan bahwa dalam menyusun dan menetapkan standar pelayanan, penyelenggara wajib mengikutsertakan masyarakat dan pihak terkait”. Namun, menurut temuan Survei ORI tahun 2016, hanya 420 responden atau 18,81 persen dari total ukuran sampel 2.233 dari 213 entitas yang berbeda mengatakan bahwa lembaga tersebut berkonsultasi dengan masyarakat dalam mengembangkan standar layanan. Untuk tidak melibatkan masyarakat, 1.751 responden atau 78,41 persen menyatakan tidak. Di antara semua penyedia layanan yang disurvei, lebih dari 75 persen mengakui bahwa masyarakat tidak diikutsertakan dalam proses penetapan standar layanan.

Pasal 20 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 dan Peraturan PAN&RB Nomor 15 Tahun 2014 tentang Pedoman Standar Pelayanan keduanya secara tegas menyebutkan persyaratan tersebut. Mengingat temuan survei ORI tersebut di atas, aparatur pemerintahan memiliki kecenderungan yang sangat kecil untuk menciptakan peluang bagi keterlibatan masyarakat. Temuan ini menunjukkan bahwa keterlibatan masyarakat dalam menetapkan standar pelayanan masih minim. Publik mungkin kehilangan kepercayaan pada kepercayaan sebagai akibat dari tidak adanya peluang keterlibatan.

Kedua, tidak ada sumber daya atau saluran untuk mendistribusikan keluhan publik. Selain menilai seberapa puas masyarakat dengan layanan yang ditawarkan, mereka juga dapat mengajukan keluhan kepada lembaga tersebut. Namun, masih sedikit cara untuk menyampaikan keberatan, terutama untuk pelayanan dasar yang diberikan di tingkat kecamatan dan kelurahan yang menjadi pusat pelayanan. Masyarakat tidak dapat mengajukan keluhan atau meminta pertanggungjawaban pemerintah dan aparaturnya karena kurangnya alat dan proses formal.

Menurut temuan Survei ORI tahun 2016, 351 dari 700 produk layanan yang disurvei—atau 50,14 persen—tidak memiliki metode pengaduan yang terdokumentasi. Di tingkat kelembagaan, 186 dari 323 item layanan dari 15 Instansi atau 57,59 persen belum membuka informasi tentang tata cara dan tata cara penyampaian pengaduan kepada publik. Sementara itu, hanya 57,76 persen atau 1.791 produk layanan dari 3.101 produk layanan yang telah diteliti ORI yang tersedia di tingkat Pemprov sehingga sulit untuk mencari informasi mekanisme pengaduan.

Hasil survei menunjukkan bahwa tidak ada tempat bagi masyarakat untuk mengadukan pelanggaran standar pelayanan yang dilakukan oleh pelaksana. Hal ini bertentangan dengan filosofi pengelolaan pengaduan, yang mengamanatkan bahwa semua Unit Layanan Umum (ULP) menerbitkan fasilitas pengaduan dan mekanisme pengaduan sesuai dengan undang-undang.

Ketiga, tidak ada tindak lanjut untuk mengatasi pengaduan masyarakat yang telah disampaikan. Karena itu, masyarakat umum sekarang memiliki sikap negatif terhadap peningkatan layanan. Pengaduan masyarakat yang diterima oleh pihak berwenang seringkali bahkan tidak diperhatikan atau ditanggapi. Merujuk kembali pada survei ORI, hal ini menunjukkan bahwa pengaduan yang tidak terdokumentasikan lebih banyak terjadi daripada pengaduan yang tidak mendapatkan tindakan. Masalah pengaduan yang tidak tercatat lebih banyak terjadi di bidang teknis seperti infrastruktur dan fasilitas, serta keinginan penyedia layanan untuk mengadministrasikan pengaduan secara tepat waktu. Kompetensi dan motivasi kerja personel unit pengelola pengaduan lebih dominan tidak menanggapi pengaduan.

“Pasal 40 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 menjamin hak masyarakat untuk mengadukan penyelenggaraan yanlik kepada Penyelenggara, Ombudsman, atau DPR/DPRD”. Akibat stigma masyarakat yang belum mempercayai penyelesaian kepada lembaga yang dilaporkan, sangat sedikit pengaduan dari masyarakat kepada penyelenggara. DPR atau DPRD menerima pengaduan dari sebagian masyarakat, namun laporan tersebut seringkali berakhir tanpa keputusan yang pasti. Hal ini disebabkan oleh kurangnya proses penyelesaian keluhan yang formal. Laporan dan keberatan masyarakat tidak terselesaikan karena DPR/DPRD memiliki komponen politik yang lebih besar.

Selain itu, masyarakat sering mengadukan pelayanan yang diberikan ASN kepada Inspektorat. Namun, fungsi Inspektorat sebagai aparat pengawasan internal Pemerintah masih di bawah standar. Masyarakat lebih memilih mengadu ke luar organisasi, khususnya ORI, karena terkesan skeptis terhadap penanganan sengketa oleh Inspektorat. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya pengaduan masyarakat kepada ORI dibandingkan dengan Inspektorat. Masyarakat dapat memutuskan untuk tidak melaporkan pengaduan yang dilakukan oleh ASN ke Inspektorat karena berbagai faktor, antara lain persamaan antara yang mengawasi dan yang diawasi.

Mengingat Inspektorat kabupaten/kota melapor dan bertanggung jawab kepada Gubernur, maka kerangka kelembagaan Inspektorat perlu diubah untuk memperkuat tanggung jawabnya. Padahal ORI lebih banyak menerima pengaduan masyarakat dibandingkan penyelenggara, DPR, atau DPRD. Namun, tidak sedikit masyarakat yang masih awam dengan ORI. Jadi, bagaimana ORI akan semakin dikenal luas di masa depan merupakan tantangan tersendiri bagi ORI.

Keempat, orang-orang enggan melaporkan kesalahan. Ketakutan melapor ke “salah alamat” jika ada kesalahan administrasi menjadi kendala lain rendahnya keterlibatan masyarakat. Oleh karena itu, mewujudkan sistem pengaduan yang terkoordinasi secara nasional adalah penting.

Keterlibatan masyarakat sangat penting dalam konteks otonomi daerah karena menyangkut hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengambilan kebijakan, dan tugas daerah adalah memberikan ruang bagi warganya. Partisipasi amat penting untuk menjamin agar penyelenggaraan pemerintahan daerah benar-benar mengabdi pada kepentingan warga, termasuk adanya jaminan hak-hak masyarakat sebagai pengguna yanlik, untuk menyampaikan keluhan serta mekanisme penyelesaian sengketa antara masyarakat dan penyelenggara yanlik.

Oleh karena itu, mendorong keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan proyek dapat dilakukan dengan melakukan perbaikan di beberapa sektor, antara lain sebagai berikut:

Pertama, ULP sebagai pengelola perwalian, perlu memperbaiki cara penanganan pengaduan. Kajian ORI merupakan langkah awal untuk mengidentifikasi fakta bahwa masih banyak ULP yang belum memiliki layanan pengelolaan pengaduan. Oleh karena itu, untuk ULP yang tidak memenuhi kriteria engineering, diperlukan tindak lanjut modifikasi dengan bantuan ORI. Sehingga setiap ULP menawarkan sumber daya, kontrol, dan personel untuk menangani pengaduan dan menyusun laporan tindak lanjut. Masyarakat lebih mudah ikut memantau pelaksanaan yanlik karena setiap ULP memiliki fasilitas pengaduan. Menumbuhkan keyakinan dan inspirasi bahwa keterlibatan masyarakat melalui pengaduan sangat diperlukan untuk pembangunan kesehatan yang tak kalah pentingnya. Sementara itu, penyedia layanan harus menggunakan perhatian pelanggan sebagai katalis untuk perubahan. Buat kritik lebih tulus daripada pujian agar bisa maju.

Kedua, mewujudkan Sistem Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik Nasional (SP4N) yang terintegrasi, dengan cara mendorong agar semua penyelenggara yanlik, baik di daerah maupun instansi vertikal, BUMN/BUMD, BHMN agar mengintegrasikan pengelolaan pengaduannya ke dalam sistem pengaduan nasional.

Ketiga, mendorong peningkatan jumlah pengaduan terhadap ORI setiap tahunnya. Dengan memanfaatkan kemajuan teknologi perangkat, seperti membangun aplikasi pengaduan berbasis Android dan sejenisnya, ORI harus melakukan terobosan, sehingga cita-cita untuk menerima laporan atau pengaduan dari masyarakat dengan sigap dan cepat dapat tercapai. Selain itu, diperlukan sosialisasi berkelanjutan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap ORI.

Melalui pemanfaatan media lokal, ORI Goes To Campus, ORI Goes To School, dan kreasi komunitas ORI, sosialisasi dapat terlaksana. Selain itu, acara seperti Yanlik Week, Yanlik Expo, dan pembukaan Yanlik Mall dapat menjadi magnet untuk menarik perhatian publik terhadap upaya Yanlik dan ORI. Melalui Yanlik Expo dan Yanlik Week, Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Kalimantan Selatan mendemonstrasikan bagaimana inisiatif tersebut dapat dilakukan dengan bekerja sama dengan pemerintah daerah.

Untuk menjamin agar penatausahaan yanlik dilakukan secara transparan dan akuntabel serta sesuai dengan kebutuhan dan harapan masyarakat, maka keterlibatan masyarakat dalam penatausahaan yanlik sangat diperlukan. Partisipasi publik melampaui memimpin dalam pembuatan Standar Layanan dan termasuk mengamati dan menilai bagaimana standar dipraktikkan, menentukan penghargaan kinerja, dan mengembangkan kebijakan terkait. Kita semua memiliki tanggung jawab untuk melihat bahwa ini mengikuti petunjuk hukum.***

Sumber: Sriwijaya Post
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved