Partisipasi Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik

Pembangunan adalah proses yang disengaja untuk menciptakan perubahan dengan tujuan memperbaiki kondisi kehidupan, meningkatkan kesejahteraan,

Editor: Bejoroy
SRIPOKU.COM/Istimewa
Djoko Prihadi SH MH (Program Doktor Administrasi Publik Universitas Sriwijaya (UNSRI) 

Oleh: Djoko Prihadi SH MH
Program Doktor Administrasi Publik Universitas Sriwijaya (UNSRI)

SRIPOKU.COM -- BANYAK ahli memandang konsep partisipasi sebagai upaya masyarakat untuk berpartisipasi dalam suatu kegiatan, yang jika dikaitkan dengan pembangunan, menjadi upaya masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Menurut Achmadi (1978), modal utama adalah keterlibatan masyarakat dalam bentuk kerjasama timbal balik. Sedangkan kemampuan sekelompok individu untuk mengambil tindakan untuk memenuhi kebutuhan mereka atas inisiatif mereka sendiri dan dengan kesadaran akan kebutuhan mereka sendiri dikenal sebagai self-help.

Cohen dan Uphoff (Ndraha: 1990) menegaskan bahwa keterlibatan dapat menjadi masukan dan produk pembangunan. Keterlibatan dalam pengambilan keputusan, pelaksanaan, pemanfaatan, dan penilaian pembangunan adalah segala kontribudi yang diberikan warga lokal di dalam perkembengan. Kontribusi merupakan komponen penting ketika membahas ide partisipasi dan bagaimana kaitannya dengan inisiatif pemberdayaan masyarakat. Rencana pembangunan yang perlu dilakukan hanyalah perencanaan di atas kertas tanpa mempertimbangkan keterlibatan masyarakat.

Pembangunan adalah proses yang disengaja untuk menciptakan perubahan dengan tujuan memperbaiki kondisi kehidupan, meningkatkan kesejahteraan, dan meningkatkan sifat manusia. UUD 1945 alinea ke-4 menggambarkan Indonesia yang mengusahakan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat sebagai salah satu tujuan nasional. Semua perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pelaksanaan program harus melibatkan partisipasi masyarakat untuk mencapai keberhasilan pembangunan. Hal ini karena masyarakat sendirilah yang menjadi sumber informasi terbaik mengenai persoalan dan tuntutan pembangunan daerah, serta kelompok yang akan memanfaatkan dan menilai apakah pembangunan daerah di daerah berhasil atau tidak.

Otonomi daerah merupakan salah satu strategi yang digunakan untuk mempercepat proses pembangunan daerah. Pemberian otonomi daerah berimplikasi pada pemberian kekuasaan dan kebebasan kepada daerah untuk mengelola dan menggunakan sumber daya daerah seefisien mungkin (Dwimawanti, 2004). “Hal tersebut diatur dengan jelas dalam Peraturan Perundang – Undangan terkait penyelenggaraan pemerintahan yang mengalihkan kewenangan Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah, yaitu penyelengaraan otonomi daerah diimplementasikan dalam pelaksanaan urusan wajib dan urusan pilihan, terdiri dari 26 urusan wajib dan urusan 8 urusan pilihan (pasal 7 ayat (2) peraturan pemerintahan nomor 38 tahun 2007 tentang pembagian urusan Pemerintah antar pemerintah, pemerintah daerah Propinsi dan Pemerintah daerah Kabupaten/Kota)”. Urusan wajib adalah urusan yang harus ditangani oleh Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Urusan pilihan, sebaliknya, berkaitan dengan komponen pemerintahan yang nyata dan mampu meningkatkan kesejahteraan manusia, mengingat keadaan daerah yang khas, unik, dan memiliki potensi yang unggul. Sesuai amanat tersebut, otonomi daerah berdampak pada otonomi pengelolaan, khususnya di bidang perdagangan dan penyediaan jasa pasar daerah kepada anggota masyarakat (Habibi, 2015; Hamid, 2011; Mariana, 2010).

Rencana kerja, juga dikenal sebagai "work plan", ditekankan sebagai prosedur yang melibatkan:
a) input yang berupa keuangan, tenaga kerja, fasilitas, dan lain-lain;
b) Kegiatan (proses);
c) Output outcomes.

Urusan wajib adalah urusan yang harus ditangani oleh Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Urusan pilihan, sebaliknya, berkaitan dengan komponen pemerintahan yang nyata dan mampu meningkatkan kesejahteraan manusia, mengingat keadaan daerah yang khas, unik, dan memiliki potensi yang unggul. Otonomi daerah, sesuai dengan amanat tersebut, mempengaruhi otonomi pengelolaan, terutama dalam bidang perdagangan dan dalam rangka penyediaan pelayanan pasar daerah kepada anggota masyarakat. (Habibi, 2015; Hamid, 2011; Mariana, 2010).

Jangan lupa juga subscribe, like dan share channel Instagram Sriwijayapost di bawah ini:

Logo instagram.com/sriwijayapost/

“Sistem perencanaan pembangunan nasional bertujuan untuk a) mendukung koordinasi antar pelaku pembangunan b) menjamin terciptanya intergrasi, singrkonisasi, dan sinergi baik antar daerah, antar ruang, antar waktu, antar fungsi, pemerintah maupun antar pusat dan daerah c) menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan dan pelaksanaan d) Mengoptimalkan partisipasi masyarakat, dan e) Menjamin tercapainya pengunanaan sumber daya secara efesien, efektif dan berkeadilan dan berkelanjutan (pasal 2 ayat (5) Undang-Undang nomor 5 Tahun 2004)”.

Semua evaluasi, perencenaan, serta pelaksanaan program harus melibatkan partisipasi masyarakat untuk mencapai keberhasilan pembangunan. Hal ini karena masyarakat sendirilah yang menjadi sumber informasi terbaik mengenai persoalan dan tuntutan pembangunan daerah, serta kelompok yang akan memanfaatkan dan menilai apakah pembangunan daerah di daerah berhasil atau tidak.

Conyers (1994: 154-155), yang menyebutkan tiga (3) alasan utama mengapa keterlibatan masyarakat dalam perencanaan sangat penting, sependapat bahwa partisipasi masyarakat merupakan hal yang penting dalam perencanaan pembangunan. 1. Kondisi, kebutuhan, dan sikap masyarakat setempat dapat dipelajari. 2. Jika masyarakat dilibatkan dalam penyusunan dan perencanaan program pembangunan, mereka akan lebih percaya diri karena mereka akan memahami seluk beluk program kegiatan dan akan merasa memilikinya. 3. Mendorong keterlibatan masyarakat karena partisipasi dalam pembangunan dianggap sebagai hak prerogatif yang demokratis.

Selain itu, beberapa negara telah melakukan upaya untuk meningkatkan keterlibatan publik dalam pemerintahan dan pembangunan. Misalnya, Open Government Partnership (OGP), sebuah kemitraan multinasional yang dibentuk oleh pemerintah Afrika Selatan, Filipina, Meksiko, Brasil, Amerika Serikat, Inggris, Norwegia, dan Indonesia. Rencana aksi keterbukaan pemerintah dikembangkan sebagai bagian dari OGP untuk membangun pemerintahan yang terbuka, akuntabel, dan partisipatif. Rencana aksi versi keenam sekarang sedang dilaksanakan, dan dikenal sebagai Open Government Indonesia (OGI) di Indonesia.

“Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah dibuat dalam rangka mewujudkan hal tersebut diatas dimana menyatakan bahwa diperlukan partisipasi masyarakat untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Lebih lanjut dalam pasal 354 mengamanatkan bahwa dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, pemerintah daerah mendorong partisipasi masyarakat dengan cara:”

Jangan lupa subscribe, like dan share channel TikTok Sriwijayapost di bawah ini:

Logo TikTok Sripoku.com

1. “Keterbukaan informasi yang dapat dilakukan melalui sistem informasi, media cetak/elektronik, papan pengumuman, ataupun permintaan secara secara langsung kepada pemerintah daerah terkait”.
2. “Mendorong peran aktif kelompok dan organisasi masyaraka”.
3. “Pelembagaan dan mekanisme pengambilan keputusan yang memungkinkan kelompok dan organisasi kemasyarakatan dapat terlibat secara efektif”.
4. “Pengambilan keputusan dengan melibatkan masyarakat”.
5. “Kegiatan lainnya sesuai dengan kebutuhan dan inovasi daerah”.

“Untuk mengatur lebih lanjut mengenai partisipasi masyarakat tersebut, juga telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2017 Tentang Partisipasi Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Dalam PP tersebut telah diatur bahwa partisipasi masyarakat dapat dilakukan melalui konsultasi publik, penyampaian aspirasi, rapat dengar pendapat umum, kunjungan kerja, sosialisasi hingga seminar, lokakarya, dan/atau diskusi.

Kemudian beberapa cakupan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang perlu dipelajari dan dipahami oleh masyarakat itu sendiri ialah meliputi partisipasi masyarakat dalam penyusunan Peraturan Daerah dan kebijakan daerah, perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pemonitoran, dan pengevaluasian pembangunan daerah, pengelolaan aset dan/atau sumber daya alam daerah, dan penyelenggaraan pelayanan publik”.

Partisipasi Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik
Penyediaan layanan adalah salah satu tanggung jawab lembaga pemerintah yang paling penting. Alasan utama pembentukan lembaga pemerintah dimaksudkan sebagai instrumen utama untuk memberikan layanan, sehingga agar suatu organisasi yang melakukan tugas-tugas yang berhubungan dengan pelayanan dapat dimintai pertanggungjawaban atas kinerjanya kepada masyarakat, pemberi mandat, tanggung jawab dan fungsi utamanya berpengaruh dan dapat dittentukan peraturan khusus.

Jangan lupa Like fanspage Facebook Sriwijaya Post di bawah ini:

Mengenai tugas yang harus diselesaikan, penyelenggaraan pelayanan pemerintah harus dipusatkan pada pemenuhan kebutuhan masyarakat baik secara kualitas maupun kuantitas dalam upaya memuaskan penggunanya. Mengingat kebahagiaan masyarakat adalah ukuran seberapa baik kinerja layanan pemerintah, fokus untuk memastikan kepuasan masyarakat ini sangat penting (Habibi, 2015; Hasjimzum, 2014).

Pemerintah telah menetapkan suatu kebijakan mengenai pelayanan publik yang disebut dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, sesuai dengan kemajuan zaman dan tuntutan pelayanan prima. Saat menawarkan layanan kepada masyarakat umum, peraturan ini berfungsi sebagai panduan utama. Selama ini masyarakat dituntut untuk berperan serta dalam memantau dan mengawasi pemerintah dalam memberikan layanan.

Pernyataan tersebut sejalan dengan “Pasal 39 yang menjelaskan bagaimana pelibatan masyarakat dalam pelayanan publik diawali dengan penyusunan standar pelayanan dan diakhiri dengan evaluasi dan pemberian penghargaan”. Untuk memenuhi standar pelayanan yang telah ditetapkan, masyarakat pada hakekatnya dituntut untuk berperan secara konstruktif ketika melaksanakan layanan kepada masyarakat.

Undang-undang pelayanan publik yang secara tegas mengatur batasan-batasan kewajiban dan tugas semua penyelenggara pelayanan publik diundangkan dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat. Meskipun dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, pelayanan publik tidak sesuai dengan tuntutan masyarakat modern. Masyarakat harus dilibatkan dalam menciptakan standar pelayanan publik agar dapat memberikan pelayanan prima.

Pelayanan Publik dalam Reformasi Birokrasi
Salah satu langkah awal dalam mewujudkan sistem penyelenggaraan pemerintahan yang baik, efektif, dan efisien adalah reformasi birokrasi yang mampu melayani masyarakat secara cepat, tepat, dan profesional. Berbagai kesulitan ditemui di sepanjang jalan, seperti praktik KKN, penyalahgunaan wewenang, dan pengawasan yang tidak memadai. “Sejalan dengan hal tersebut, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 Tentang Grand Design Reformasi Birokrasi yang mengatur tentang pelaksanaan program reformasi birokrasi”.

Update COVID-19 01 Desember 2022.
Update COVID-19 01 Desember 2022. (https://covid19.go.id/)

Peraturan ini akan mencapai tiga tujuan besar: Tata pemerintahan bebas KKN, pelayanan publik yang lebih baik, akuntabilitas dan kompetensi organisasi yang lebih tinggi, dan pemerintahan yang bersih. Untuk mempercepat pencapaian tujuan dimaksud, instansi pemerintah harus membuat pilot project pelaksanaan reformasi birokrasi yang dapat dijadikan contoh penerapannya pada unit kerja lain. Zona Integritas harus ditetapkan untuk menyukseskan program reformasi birokrasi di unit kerja.

Standar dan inovasi pelayanan publik yang diberikan oleh masing-masing instansi pemerintah terus ditingkatkan secara berkala sesuai dengan tuntutan dan harapan masyarakat. Pengaduan masyarakat juga dimanfaatkan sebagai mekanisme untuk meningkatkan pelayanan publik dan mewujudkan good governance dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap penyedia layanan pemerintah.

Tiga pilar dasar tata kelola yang baik adalah pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha yang terlibat secara setara (Sinambela, 2019). Pemikiran ini memberikan kerangka fundamental bagi keharusan bahwa siapa pun yang menjalankan peran dan tugas apa pun yang dilakukan dalam penyelenggaraan pemerintahan lebih fokus agar masyarakat mendapatkan layanan yang baik. Sehingga bisa dikatakan bahwa dengan tidak adanya bukti bahwa masyarakat mendapatkan layanan yang baik maka tata kelola tidak dapat dikatakan lebih baik atau lebih buruk. Banyak peraturan yang telah dibuat untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik, namun seperti yang diterapkan saat ini, pelayanan pemerintah terus mendapat banyak keluhan dan ketidakpuasan masyarakat karena tidak sesuai dengan harapan. (Hasjimzum, 2014).

Dikarenakan adanya tuntutan, diterapkannya “Good Governance” tidak diakui sebagai suatu kebutuhan, melainkan sebagai suatu keharusan bagi suatu organisasi untuk tetap eksis (existence). Keberadaan dan kelangsungan hidup setiap organisasi tentunya akan terancam jika prinsip-prinsip good governance tidak diterapkan. Karena itu, bisnis sekarang lebih bersikeras untuk menerapkan tata kelola perusahaan yang baik (Dwiyanto, 2018; Nurmandi, 2010)).

Di sisi lain, dalam organisasi publik (organisasi pemerintah dan unitnya, atau OPD), peningkatan standar pelayanan publik merupakan tujuan utama penyelesaian reformasi birokrasi pemerintahan Indonesia. Hal ini dapat dipahami mengingat ketidakpastian seputar kualitas layanan publik yang diberikan. Banyak sekali keluhan dari masyarakat terhadap pelayanan pemerintah. Akibatnya, penyampaian layanan publik merupakan area krusial di mana kepercayaan publik terhadap pemerintah terancam.

Sasaran yang akan dicapai oleh program ini untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik adalah sebagai berikut:
a. Meningkatkan penyampaian layanan publik di organisasi pemerintah agar lebih cepat, lebih murah, lebih aman, dan lebih mudah diakses;
b. Meningkatkan proporsi unit pelayanan di dalam organisasi pemerintah yang mencapai standar pelayanan internasional; serta
c. Meningkatkan indikator kepuasan masyarakat terhadap penyelenggaraan pelayanan publik oleh setiap instansi pemerintah.

Masyarakat dapat memberikan rekomendasi, komentar, laporan, dan pengaduan kepada penyelenggara atau pihak terkait dari berbagai lingkup partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik tersebut. Masyarakat memiliki peran penting dalam meningkatkan standar pelayanan publik. Forum Konsultasi Publik (FKP), pengelolaan Pengaduan (SP4N-LAPOR!), dan Survei Kepuasan Masyarakat (SKM) yang ditawarkan oleh masing-masing instansi, diharapkan masyarakat dapat berpartisipasi aktif dalam memberikan masukan terhadap penyelenggaraan pelayanan publik yang ada. Akibatnya, pemerintah daerah juga harus menyediakan data yang diperlukan dan melacak umpan balik masyarakat.

The International Association for Public Participation menyatakan bahwa ada lima spektrum utama partisipasi publik yang perlu diperhatikan. Menginformasikan, berkonsultasi, melibatkan, berkolaborasi, dan memberdayakan adalah kelimanya. Kelima spektrum tersebut dapat dijadikan panduan untuk mendorong keterlibatan masyarakat dalam pelayanan publik. Selain itu, sebagai cermin refleksi sejauh mana keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

Menginformasikan individu tentang hak-hak mereka ketika menggunakan layanan publik adalah salah satu tugas informal yang dapat dilakukan oleh pejabat publik. Tetap mengikutsertakan dan berkonsultasi dengan masyarakat dalam proses pelayanan publik pada tingkat konsultasi dan pelibatan. Melalui SKM dan SP4N-LAPOR!, Diharapkan umpan balik masyarakat menjadi landasan untuk meningkatkan layanan yang ditawarkan, sehingga proses pelayanan publik dapat diubah menjadi perbaikan berkelanjutan.
Selain itu, dengan bekerja sama dengan masyarakat diharapkan solusi dan inovasi dapat diimplementasikan dalam pelayanan publik. Spektrum yang diberdayakan atau diberdayakan datang terakhir. Hal ini menunjukkan bahwa proses pelayanan publik yang mencakup mulai dari desain layanan hingga pemantauan dan evaluasi layanan telah memiliki partisipasi aktif masyarakat.

Aktualisasi Peran Masyarakat Dalam Pelayanan Publik
Masyarakat seringkali kurang memahami fungsi dan kebutuhan pelayanan publik dalam perkembangan modern. Hal ini menjadi penghambat tumbuhnya demokrasi di Indonesia yang sangat menjunjung tinggi perlindungan hak-hak warga negara. Masyarakat harus diberi tahu tentang haknya atas pelayanan publik dasar, salah satunya adalah hak untuk mendapatkan pelayanan yang bermutu. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya untuk memungkinkan masyarakat mewujudkan potensinya dalam pelayanan publik.

Dalam demokrasi, keberadaan rakyat sama pentingnya dengan keberadaan pemerintah. Administrasi yang demokratis akan memberikan masyarakat sebuah forum untuk menyuarakan keprihatinan tentang standar layanan yang diberikan dan meminta pertanggungjawaban pejabat atas penyampaian layanan publik.

Aktualisasi adalah kemampuan untuk memahami undang-undang yang mengatur tentang hak-hak warga negara dalam pelayanan publik dan mewujudkan hak-hak tersebut dengan berpartisipasi dalam penyelenggaraan dan pengelolaan pelayanan publik. Akibatnya, aktualisasi adalah salah satu dari beberapa strategi yang memungkinkan individu terdorong untuk memenuhi tuntutan administratif mereka.

Apa dasar keterlibatan masyarakat dalam pelayanan publik? “Menurut Pasal 39 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik, negara menjamin keterlibatan masyarakat dalam kaitannya dengan hak-haknya atas pelayanan publik, tidak hanya sebagai objek penerima pelayanan tetapi juga berperan dalam penyusunan kebakan dan pengawasan pelayanan publik”.

Kemampuan berpartisipasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik sangat mendasar dalam mewujudkan pelayanan publik yang baik dan mendorong peningkatannya untuk kepentingan masyarakat ke depan. Masyarakat pasif dan enggan melaporkan ketidakkonsistenan yang mereka amati dalam pemberian layanan tersebut, namun karena ketidaktahuan mereka saat ini tentang peran mereka dalam penyediaan layanan publik.

Dalam mewujudkan pelayanan publik yang profesional, masyarakat sebagai penerima pelayanan publik harus mampu mewujudkan dirinya melalui partisipasi dalam pengambilan kebijakan dan pengawasan pelayanan publik. Kriteria pelayanan publik yang profesional antara lain sebagai berikut: (1) komunikatif, artinya santun, ramah, dan memberikan informasi yang akurat (2) Responsif, yaitu memberikan perhatian segera terhadap kebutuhan masyarakat dan pertimbangan yang tuntas terhadap kepentingan masyarakat (3) cepat, membuat masyarakat merasa nyaman dan pada saat yang tepat (4) menolak imbalan atau suap, dan (5) menawarkan klarifikasi.

Partisipasi Masyarakat dalam Pengawasan Pelayanan Publik
Penyediaan pelayanan publik secara khusus berada di bawah kendali pemerintah sebelum era reformasi, tetapi tidak ada lembaga eksternal yang melayani tujuan tersebut (yanlik). Masyarakat tidak memiliki forum untuk menyuarakan keluhan terhadap pelayanan pemerintah yang di bawah standar. Menciptakan pemerintahan yang baik, bersih, dan efisien melalui pengawasan berbasis partisipasi publik diakomodasi sebagai penerapan prinsip demokrasi pasca reformasi.

“Politik hukum yanlik yang dibangun oleh pemerintah salah satunya dengan melakukan pembenahan struktur kelembagaan di bidang yanlik, melalui pembentukan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) melalui Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI, yang bertugas melakukan kontrol penyelenggaraan yanlik serta memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat dari penyalahgunaan wewenang dalam penyelenggaraan yanlik”.

Dalam bidang ini, perbaikan kelembagaan tidak dapat dilakukan secara terpisah dari isu-isu lain. Perbaikan menyeluruh dilakukan pada area lain di luar struktur kelembagaan, seperti mengubah kerangka hukum bidang klinis. “Melalui Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, yang bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dalam hubungan masyarakat dan penyelenggara dalam yanlik. Kemudian disusul dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Ketiga undang-undang ini, secara substansi telah mengakomodir peran serta masyarakat dalam pengawasan yanlik”.

Salah satu isu penting untuk mencapai transparansi, akuntabilitas, dan keadilan adalah keterlibatan masyarakat. Salah satu syarat keberhasilan pemerintahan yang baik adalah keterlibatan masyarakat. Berbagai kebijakan pembangunan daerah akan lebih siap untuk mewakili kepentingan masyarakat yang lebih luas dengan peningkatan keterlibatan masyarakat. Selain itu, keterlibatan masyarakat diperlukan agar mereka dapat mengawasi jalannya pemerintahan daerah.

Dalam kerangka penyelenggaraan pemerintahan daerah, otonomi daerah benar-benar berupaya untuk meningkatkan keterlibatan warga negara dan tanggung jawab pemerintahan. Praktek otonomi daerah saat ini, di mana ruang untuk keterlibatan masyarakat belum terfasilitasi dengan baik, namun cukup paradoks dengan tujuan tersebut. Di sisi lain, tidak ada kesempatan bagi publik untuk mempengaruhi seberapa baik kinerja pemerintah. Beberapa kajian ORI tentang besaran keterlibatan warga dalam pemilu menjadi gambaran akan hal tersebut.

Beberapa faktor, antara lain sebagai berikut, menyebabkan rendahnya keterlibatan masyarakat dalam memantau kemajuan perbaikan:

Pertama, “penyusunan standar pelayanan tidak memperhatikan kebutuhan masyarakat. Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009, mengamanatkan bahwa dalam menyusun dan menetapkan standar pelayanan, penyelenggara wajib mengikutsertakan masyarakat dan pihak terkait”. Namun, menurut temuan Survei ORI tahun 2016, hanya 420 responden atau 18,81 persen dari total ukuran sampel 2.233 dari 213 entitas yang berbeda mengatakan bahwa lembaga tersebut berkonsultasi dengan masyarakat dalam mengembangkan standar layanan. Untuk tidak melibatkan masyarakat, 1.751 responden atau 78,41 persen menyatakan tidak. Di antara semua penyedia layanan yang disurvei, lebih dari 75 persen mengakui bahwa masyarakat tidak diikutsertakan dalam proses penetapan standar layanan.

Pasal 20 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 dan Peraturan PAN&RB Nomor 15 Tahun 2014 tentang Pedoman Standar Pelayanan keduanya secara tegas menyebutkan persyaratan tersebut. Mengingat temuan survei ORI tersebut di atas, aparatur pemerintahan memiliki kecenderungan yang sangat kecil untuk menciptakan peluang bagi keterlibatan masyarakat. Temuan ini menunjukkan bahwa keterlibatan masyarakat dalam menetapkan standar pelayanan masih minim. Publik mungkin kehilangan kepercayaan pada kepercayaan sebagai akibat dari tidak adanya peluang keterlibatan.

Kedua, tidak ada sumber daya atau saluran untuk mendistribusikan keluhan publik. Selain menilai seberapa puas masyarakat dengan layanan yang ditawarkan, mereka juga dapat mengajukan keluhan kepada lembaga tersebut. Namun, masih sedikit cara untuk menyampaikan keberatan, terutama untuk pelayanan dasar yang diberikan di tingkat kecamatan dan kelurahan yang menjadi pusat pelayanan. Masyarakat tidak dapat mengajukan keluhan atau meminta pertanggungjawaban pemerintah dan aparaturnya karena kurangnya alat dan proses formal.

Menurut temuan Survei ORI tahun 2016, 351 dari 700 produk layanan yang disurvei—atau 50,14 persen—tidak memiliki metode pengaduan yang terdokumentasi. Di tingkat kelembagaan, 186 dari 323 item layanan dari 15 Instansi atau 57,59 persen belum membuka informasi tentang tata cara dan tata cara penyampaian pengaduan kepada publik. Sementara itu, hanya 57,76 persen atau 1.791 produk layanan dari 3.101 produk layanan yang telah diteliti ORI yang tersedia di tingkat Pemprov sehingga sulit untuk mencari informasi mekanisme pengaduan.

Hasil survei menunjukkan bahwa tidak ada tempat bagi masyarakat untuk mengadukan pelanggaran standar pelayanan yang dilakukan oleh pelaksana. Hal ini bertentangan dengan filosofi pengelolaan pengaduan, yang mengamanatkan bahwa semua Unit Layanan Umum (ULP) menerbitkan fasilitas pengaduan dan mekanisme pengaduan sesuai dengan undang-undang.

Ketiga, tidak ada tindak lanjut untuk mengatasi pengaduan masyarakat yang telah disampaikan. Karena itu, masyarakat umum sekarang memiliki sikap negatif terhadap peningkatan layanan. Pengaduan masyarakat yang diterima oleh pihak berwenang seringkali bahkan tidak diperhatikan atau ditanggapi. Merujuk kembali pada survei ORI, hal ini menunjukkan bahwa pengaduan yang tidak terdokumentasikan lebih banyak terjadi daripada pengaduan yang tidak mendapatkan tindakan. Masalah pengaduan yang tidak tercatat lebih banyak terjadi di bidang teknis seperti infrastruktur dan fasilitas, serta keinginan penyedia layanan untuk mengadministrasikan pengaduan secara tepat waktu. Kompetensi dan motivasi kerja personel unit pengelola pengaduan lebih dominan tidak menanggapi pengaduan.

“Pasal 40 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 menjamin hak masyarakat untuk mengadukan penyelenggaraan yanlik kepada Penyelenggara, Ombudsman, atau DPR/DPRD”. Akibat stigma masyarakat yang belum mempercayai penyelesaian kepada lembaga yang dilaporkan, sangat sedikit pengaduan dari masyarakat kepada penyelenggara. DPR atau DPRD menerima pengaduan dari sebagian masyarakat, namun laporan tersebut seringkali berakhir tanpa keputusan yang pasti. Hal ini disebabkan oleh kurangnya proses penyelesaian keluhan yang formal. Laporan dan keberatan masyarakat tidak terselesaikan karena DPR/DPRD memiliki komponen politik yang lebih besar.

Selain itu, masyarakat sering mengadukan pelayanan yang diberikan ASN kepada Inspektorat. Namun, fungsi Inspektorat sebagai aparat pengawasan internal Pemerintah masih di bawah standar. Masyarakat lebih memilih mengadu ke luar organisasi, khususnya ORI, karena terkesan skeptis terhadap penanganan sengketa oleh Inspektorat. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya pengaduan masyarakat kepada ORI dibandingkan dengan Inspektorat. Masyarakat dapat memutuskan untuk tidak melaporkan pengaduan yang dilakukan oleh ASN ke Inspektorat karena berbagai faktor, antara lain persamaan antara yang mengawasi dan yang diawasi.

Mengingat Inspektorat kabupaten/kota melapor dan bertanggung jawab kepada Gubernur, maka kerangka kelembagaan Inspektorat perlu diubah untuk memperkuat tanggung jawabnya. Padahal ORI lebih banyak menerima pengaduan masyarakat dibandingkan penyelenggara, DPR, atau DPRD. Namun, tidak sedikit masyarakat yang masih awam dengan ORI. Jadi, bagaimana ORI akan semakin dikenal luas di masa depan merupakan tantangan tersendiri bagi ORI.

Keempat, orang-orang enggan melaporkan kesalahan. Ketakutan melapor ke “salah alamat” jika ada kesalahan administrasi menjadi kendala lain rendahnya keterlibatan masyarakat. Oleh karena itu, mewujudkan sistem pengaduan yang terkoordinasi secara nasional adalah penting.

Keterlibatan masyarakat sangat penting dalam konteks otonomi daerah karena menyangkut hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengambilan kebijakan, dan tugas daerah adalah memberikan ruang bagi warganya. Partisipasi amat penting untuk menjamin agar penyelenggaraan pemerintahan daerah benar-benar mengabdi pada kepentingan warga, termasuk adanya jaminan hak-hak masyarakat sebagai pengguna yanlik, untuk menyampaikan keluhan serta mekanisme penyelesaian sengketa antara masyarakat dan penyelenggara yanlik.

Oleh karena itu, mendorong keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan proyek dapat dilakukan dengan melakukan perbaikan di beberapa sektor, antara lain sebagai berikut:

Pertama, ULP sebagai pengelola perwalian, perlu memperbaiki cara penanganan pengaduan. Kajian ORI merupakan langkah awal untuk mengidentifikasi fakta bahwa masih banyak ULP yang belum memiliki layanan pengelolaan pengaduan. Oleh karena itu, untuk ULP yang tidak memenuhi kriteria engineering, diperlukan tindak lanjut modifikasi dengan bantuan ORI. Sehingga setiap ULP menawarkan sumber daya, kontrol, dan personel untuk menangani pengaduan dan menyusun laporan tindak lanjut. Masyarakat lebih mudah ikut memantau pelaksanaan yanlik karena setiap ULP memiliki fasilitas pengaduan. Menumbuhkan keyakinan dan inspirasi bahwa keterlibatan masyarakat melalui pengaduan sangat diperlukan untuk pembangunan kesehatan yang tak kalah pentingnya. Sementara itu, penyedia layanan harus menggunakan perhatian pelanggan sebagai katalis untuk perubahan. Buat kritik lebih tulus daripada pujian agar bisa maju.

Kedua, mewujudkan Sistem Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik Nasional (SP4N) yang terintegrasi, dengan cara mendorong agar semua penyelenggara yanlik, baik di daerah maupun instansi vertikal, BUMN/BUMD, BHMN agar mengintegrasikan pengelolaan pengaduannya ke dalam sistem pengaduan nasional.

Ketiga, mendorong peningkatan jumlah pengaduan terhadap ORI setiap tahunnya. Dengan memanfaatkan kemajuan teknologi perangkat, seperti membangun aplikasi pengaduan berbasis Android dan sejenisnya, ORI harus melakukan terobosan, sehingga cita-cita untuk menerima laporan atau pengaduan dari masyarakat dengan sigap dan cepat dapat tercapai. Selain itu, diperlukan sosialisasi berkelanjutan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap ORI.

Melalui pemanfaatan media lokal, ORI Goes To Campus, ORI Goes To School, dan kreasi komunitas ORI, sosialisasi dapat terlaksana. Selain itu, acara seperti Yanlik Week, Yanlik Expo, dan pembukaan Yanlik Mall dapat menjadi magnet untuk menarik perhatian publik terhadap upaya Yanlik dan ORI. Melalui Yanlik Expo dan Yanlik Week, Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Kalimantan Selatan mendemonstrasikan bagaimana inisiatif tersebut dapat dilakukan dengan bekerja sama dengan pemerintah daerah.

Untuk menjamin agar penatausahaan yanlik dilakukan secara transparan dan akuntabel serta sesuai dengan kebutuhan dan harapan masyarakat, maka keterlibatan masyarakat dalam penatausahaan yanlik sangat diperlukan. Partisipasi publik melampaui memimpin dalam pembuatan Standar Layanan dan termasuk mengamati dan menilai bagaimana standar dipraktikkan, menentukan penghargaan kinerja, dan mengembangkan kebijakan terkait. Kita semua memiliki tanggung jawab untuk melihat bahwa ini mengikuti petunjuk hukum.***

Sumber: Sriwijaya Post
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved