“Konsep Pahala dan Dosa”
Dalam sistem menegement modern dikenal istilah “reward and punishment”.
Motivasi ibadah seperti ini dikhawatirkan ibarat seorang yang menanam, memupuk dan menyiram, namun ia tidak pernah akan mengetam.
Dalam konsep tasawuf Ibnu Atha’illah disebutkan : “Beramallah di dunia dengan ketidakterkenalan, niscaya engkau akan panen pahala di akhirat. Sebab seorang yang beramal dengan keterkenalan, ia hanya akan panen pahala di dunia, tidak lagi akan panen pahala di akhirat”.
Lebih jauh Rabi’ah al-Adawiyyah mengatakan bahwa seorang yang beribadah karena mengharap imbalan adalah seorang pekerja yang buruk.
Bahkan Al-Ghazali menyebutnya sebagai “ahl al-balah” (orang yang dungu).
Mengapa demikian? Karena ia beribadah sebatas mengharap pahala dari ibadahnya dan hanya menjadikan upah sebagai orientasi akhir dari ibadahnya.
Orientasi ibadah seperti ini akan sulit mencapai kualitas ikhlas yang sesungguhnya.
Padahal, menurut para ulama’ tasawwuf ibadah yang paling ideal seorang hamba adalah harus dibangun atas rasa cinta dan syukur serta mengabaikan nilai-nilai pahala yang dijanjikan.
Dalam dunia thariqat, pahala hanyalah sebagai hadiah dari Sang Khaliq atas prestasi keshalihan seorang hamba. Bahkan tidak sedikit para shufi yang memandang ‘syirik’ orang yang beribadah hanya mengharapkan surga atau takut neraka. Bukankah hanya Allah Swt. saja Zat yang paling berhak untuk dituju.
Lalu, bagaimana seharusnya hakikat pahala dan dosa dipahami dalam konteks ibadah dan maksiat? Pahala dan dosa adalah sekedar iming-iming motivasi tingkat dasar agar manusia gemar kebaikan dan takut kejahatan. Tak ubahnya seperti orang tua yang melatih anak-anaknya berpuasa dengan iming-iming hadiah. Sebab dunia anak-anak belum mampu memahami hakikat makna puasa itu sendiri. Dengan demikian, ibadah yang dilakukan hanya mengharapkan pahala atau tidak berani berbuat maksiat karena takut berdosa adalah tingkat kualitas keagamaan yang paling rendah. Wallahu a’lam !