“Konsep Pahala dan Dosa”
Dalam sistem menegement modern dikenal istilah “reward and punishment”.
“Konsep Pahala dan Dosa”
Oleh : John Supriyanto
Penulis adalah dosen Ilmu Al Qur’an dan Tafsir UIN Raden Fatah dan Sekolah Tinggi Ilmu Al Qur’an Al-Lathifiyyah Palembang
Dalam sistem menegement modern dikenal istilah “reward and punishment”.
Sebuah lembaga atau perusahaan dalam hal ini akan memberikan penghargaan kepada setiap pegawai berprestasi atau berkinerja baik di atas rata-rata.
Penghargaan tersebut bisa hanya berupa pujian, apresiasi dalam bentuk pemberian bonus khusus, tambahan penghasilan, sampai pada peningkatan karir berupa kenaikan pangkat, jabatan dan lain-lain.
Sebaliknya, untuk mereka yang berkinerja buruk atau melanggar regulasi yang telah disepakati juga harus menerima akibat buruknya, mulai dari peringatan, hukuman disiplin hingga mutasi dan penurunan jenjang karir dan lain sebagainya.
Sistem ini berlaku hampir di seluruh lembaga atau perusahaan dan menjadi bagian sangat penting dalam peningkatan kinerja dan produktifitas.
Ketika karya dan prestasinya diapresiasi, setiap orang tentu akan merasa dihargai.
Di sisi lain, hukuman untuk setiap tindak pelanggaran dan perilaku buruk diharapkan dapat menimbulkan efek jera dan memberi pembelajaran untuk tidak terjadi lagi pada masa yang akan datang.
Dalam bahasa agama, sistem imbalan dan hukuman ini diistilahkan dengan tabsyir (sesuatu yang mengembirakan) dan tanzir (ancaman yang menakutkan) yang tercover dalam konsep “pahala dan dosa”.
Konsep ini bahkan terdapat pada semua agama dan kepercayaan umat manusia sepanjang sejarahnya.
Secara historis, konsep pahala dan dosa sudah dikenalkan Tuhan beberapa saat setelah awal penciptaannya.
Ketika Adam dan Hawa baru diciptakan, keduanya ditempatkan di surga dan diperkenankan menggunakan semua fasilitas yang ada. Satu-satunya hal yang dilarang adalah mendekati sebatang pohon “khuld”.
Jika Adam dan Hawa taat azas dan patuh aturan, maka imbalannya adalah menetap abadi di dalam surga.
Namun, bila melanggar, akibatnya adalah ditariknya semua fasilitas yang sebelumnya telah diberikan. Itulah sebabnya seketika Adam dan Hawa menjadi telanjang dan akhirnya mengambil dedaunan untuk menutupi auratnya ketika melanggar aturan Tuhan, hingga pada akhrinya terusir dari surga.
Oleh sebagian ulama’ tafsir kisah ini dianggap drama dan rekayasa Tuhan untuk menempatkan Adam dan Hawa di bumi, sebagaimana tujuan utama penciptaannya (Qs. Al-Baqarah : 30).
Meski demikian, kisah ini juga menunjukkan tentang dosa pertama kali manusia dalam sejarahnya.
Konsep pahala dan dosa adalah salah-satu metode pendidikan dan pengajaran Tuhan pada manusia agar menjadi hamba yang baik dan selamat dalam kehidupannya.
Dalam Islam, konsep ini justru dijelaskan sangat detail bahkan sampai pada hitung-hitungan angka.
Sebut saja misalnya membaca Al Qur’an yang imbalan pahalanya dihitung perhuruf “barangsiapa yang membaca satu huruf Al Qur’an, maka baginya 10 pahala”.
Bahkan, dalam hadits tersebut dijelaskan bahwa kalimat “alif-lam-mim” itu tidak dihitung 1 huruf, tapi “alif” 1 huruf, “lam” 1 huruf dan “mim” 1 huruf.
Begitu pula pahala shadaqah yang dianalogikan dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh tangkai dan tiap-tiap tangkat berisi 100 butir (Qs. al-Baqarah : 262). Dosa-pun ternyata demikian.
Hukum qishash misalnya, 1 pukulan dibalas dengan 1 pukulan, 1 nyawa dibalas dengan 1 nyawa pula.
Pun begitu, ketika seseorang mencuri, mencuri kali pertama dibalas dengan potong tangan kiri, mencuri kedua diqishash dengan potong kaki kanan.
Jika mencuri ketiga kali maka dipotong tangan kanan dan selanjutnya akan dipotong kaki kiri bila melakukan perbuatan yang sama ke empat kali.
Iming-iming pahala dimaksudkan agar manusia gemar dan semangat untuk berbuat baik, sebaliknya iming-iming dosa dan hukuman bertujuan agar manusia takut melanggar aturan.
Ketika terjadi perang Uhud di masa Rasulullah Saw., -perang yang berakhir dengan kekalahan di pihak Islam- motivasi jihad yang terbangun di sebagian pasukan Islam adalah mendapatkan harta rampasan perang atau ghanimah.
Hal ini wajar, mengingat pada perang Badar setahun sebelumnya, meski dengan jumlah pasukan yang tidak seimbang (313 tentara muslim menghadapi 1000 tentara musyrik)- pasukan Islam mendapatkan banyak ghanimah dengan kemenangan telak).
Motivasi ini ternyata diapresiasi oleh Allah Swt. dalam Qs. Ali Imran : 145 “barangsiapa menginginkan pahala dunia -dalam konteks ayat ini adalah ghanimah, Kami akan berikan darinya dan barangsiapa menginginkan pahala akhirat Kami (juga) akan berikan darinya”.
Artinya, ibadah yang didorong atas keinginan mendapatkan keuntungan duniawi adalah suatu hal yang wajar, lumrah dan sah-sah saja.
Namun begitu, ibadah seorang hamba sejati idealnya tumbuh dari keinginan meraih ridha Allah Swt. yang pure didorong oleh rasa syukur.
Oleh karena itulah ayat di atas diakhiri dengan kalimat “wa sanajzi asy-syakirin” (dan Kami akan memberikan pahala (di akhirat) bagi mereka yang bersyukur).
Pada prinsipnya, semua ibadah memiliki dua dimensi manfaat, jangka pendek berupa pahala dunia dan jangka panjang berupa pahala akhirat.
Al Qur’an menyebutnya tsawab an-dunya dan tsawab al-akhirah.
Ibadah shalat misalnyamemberikan efek ketenangan bathin bagi pelakunya dan Al Qur’an bagi pembacanya; shadaqah, infaq dan zakat yang menyebabkan harta dan rizki semakin berlimpah; menyambung tali silaturrahmi yang menjadi sebab diluaskannya rizki dan berkahnya usia; tahajjud yang merupakan media diberinya kedudukan dan kemuliaan; dhuha yang berefek pada kesehatan dan kelancaran urusan; taqwa yang melahirkan solusi atas segala masalah dan dianugerahi rizki yang tak terduga; dan lain sebagainya.
Semuanya merupakan efek manfaat duniawi yang dilimpahkan Tuhan pada setiap pelaku ibadah.
Sebagaimana halnya ibadah yang memberikan imbalan positif di dunia dan akhirat, dosa juga melahirkan imbas negatif di dunia dan akhirat.
Dalam Islam, semua jenis kasus jarimah (kriminal) –sebelum berlaku hukum akhirat- harus ditebus dengan hukum qishash di samping hukum sosial plus pengaruh buruk yang akan dialami secara personal.
Segala jenis narkoba dan minuman keras memberikan efek buruk bagi kesehatan, seperti halnya juga judi -dalam segala bentuknya- akan merusak mental, ekonomi dan bahkan keamanan pelakunya.
Sikap tidak jujur, curang, culas, khianat, kikir, ghibah, fitnah dan semua sifat buruk adalah dosa dunia yang akan menimbulkan kerugian jangka pendek di samping hukum akhirat yang sudah pasti.
Meskipun ibadah yang bertujuan mendapatkan keuntungan jangka pendek tetap diapresiasi, boleh dan sah-sah saja, namun Al Qur’an mengingatkan “wa la al-akhirat khair laka min al-ula” (dan sungguh (kebaikan) akhirat itu lebih adalah utama bagimu daripada (kebaikan) dunia).
Bahwa terlalu naif dan rugi dan bila orientasi ibadah hanya sebatas keuntungan dunia.
Bukankah dunia hanya seukuran usia dan bisa diprediksi batasan maksimalnya?.
Adapun akhirat adalah sebuah keabadian yang selamanya dan tanpa akhir.
Kerapkali seseorang beribadah ingin dikenal dan diketahui orang lain dengan tujuan dihormati, dimuliakan, dipuji bahkan ‘dipilih’ serta mendapat manfaat dan keuntungan jangka pendek.
Motivasi ibadah seperti ini dikhawatirkan ibarat seorang yang menanam, memupuk dan menyiram, namun ia tidak pernah akan mengetam.
Dalam konsep tasawuf Ibnu Atha’illah disebutkan : “Beramallah di dunia dengan ketidakterkenalan, niscaya engkau akan panen pahala di akhirat. Sebab seorang yang beramal dengan keterkenalan, ia hanya akan panen pahala di dunia, tidak lagi akan panen pahala di akhirat”.
Lebih jauh Rabi’ah al-Adawiyyah mengatakan bahwa seorang yang beribadah karena mengharap imbalan adalah seorang pekerja yang buruk.
Bahkan Al-Ghazali menyebutnya sebagai “ahl al-balah” (orang yang dungu).
Mengapa demikian? Karena ia beribadah sebatas mengharap pahala dari ibadahnya dan hanya menjadikan upah sebagai orientasi akhir dari ibadahnya.
Orientasi ibadah seperti ini akan sulit mencapai kualitas ikhlas yang sesungguhnya.
Padahal, menurut para ulama’ tasawwuf ibadah yang paling ideal seorang hamba adalah harus dibangun atas rasa cinta dan syukur serta mengabaikan nilai-nilai pahala yang dijanjikan.
Dalam dunia thariqat, pahala hanyalah sebagai hadiah dari Sang Khaliq atas prestasi keshalihan seorang hamba. Bahkan tidak sedikit para shufi yang memandang ‘syirik’ orang yang beribadah hanya mengharapkan surga atau takut neraka. Bukankah hanya Allah Swt. saja Zat yang paling berhak untuk dituju.
Lalu, bagaimana seharusnya hakikat pahala dan dosa dipahami dalam konteks ibadah dan maksiat? Pahala dan dosa adalah sekedar iming-iming motivasi tingkat dasar agar manusia gemar kebaikan dan takut kejahatan. Tak ubahnya seperti orang tua yang melatih anak-anaknya berpuasa dengan iming-iming hadiah. Sebab dunia anak-anak belum mampu memahami hakikat makna puasa itu sendiri. Dengan demikian, ibadah yang dilakukan hanya mengharapkan pahala atau tidak berani berbuat maksiat karena takut berdosa adalah tingkat kualitas keagamaan yang paling rendah. Wallahu a’lam !