Penembakan Terhadap Polisi

Gugurnya Kanit Reskrim Polsek Mesuji Makmur (OKI) Bripka Afrizal menambah panjang jumlah anggota kepolisian yang tewas

Editor: Salman Rasyidin
zoom-inlihat foto Penembakan Terhadap Polisi
ist
Mahendra Kusuma, SH.MH.

Apa yang terjadi dalam kenyataan tidak mungkin mengikuti “logika hukum”, tetapi mengikuti “logika penjahat”. Penjahat pasti tidak mau ditangkap. Kalau akan ditangkap mereka melakukan perlawanan dengan kekuatan yang terkadang membahayakan nyawa polisi yang akan me¬na-ngkapnya.

Menghadapi penjahat yang tidak mau ditangkap, polisi terpaksa melakukan tindak kekerasan dengan melumpuhkannya dengan senjata api.

Ketika polisi menggunakan senjata api untuk menangkap penjahat, polisi juga terikat dengan a-turan penggunaan senjata api yang diatur oleh institusinya.

Peraturan yang mengatur penggunaan senjata api oleh polisi adalah Peraturan Kapolri No. 1/2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian.

Salah satu standar prosedur operasional (SOP) yang harus di¬per¬hatikan oleh anggota polisi dalam menangkap penggunaan senjata api untuk menangkap penjahat tercantum dalam Pasal 48 huruf b, yang menyatakan sebelum menggunakan senjata api, polisi harus memberikan peringatan yang jelas dengan cara:

(1) menyebutkan dirinya sebagai petugas atau anggota polisi yang sedang bertugas;

(2) memberi peringatan dengan ucapan secara jelas dan tegas kepada sasaran untuk berhenti, angkat tangan, atau meletakkan senjatanya; dan

(3) memberi waktu yang cukup agar peringatan dipatuhi.

Sebelum melepaskan tembakan, polisi juga harus memberikan tembakan peringatan ke udara atau ke tanah dengan kehati-hatian tinggi dengan tujuan untuk menurunkan moril pelaku serta memberi peringatan sebelum tembakan diarahkan kepada pelaku (Pasal 15).

Penulis sepakat dengan tajuk (Salam Sriwijaya) harian Sriwijaya Post, 4/6/2019 yang menyatakan bahwa, SOP tersebut tidak selamanya menjamin keselamatan saat penindakan.

Hal ini ter¬bukti dengan tewasnya Bripka Afrizal.

Beliau sudah berupaya melakukan atau menerapkan SOP dalam melakukan penangkapan terhadap para perampok sesuai aturan yang berlaku.

Kanit Reskrim Polsek Mesuji Makmur ini memberi tembakan peringatan.

Akan tetapi tembakan pistol Bripka Afrizal justru dibalas dengan berondongan senjata.

Dalam situasi yang membahayakan masyarakat maupun dirinya, polisi mestinya dapat melakukan tembakan terukur untuk melumpuhkan penjahat, misalnya bagian kaki (walaupun terkadang ada juga penjahat yang tewas setelah baku tembak dengan polisi).

Namun, penggunaan senjata api oleh polisi dalam melumpuhkan penjahat acapkali memunculkan perdebatan soal le¬galitasnya.

Dalam praktek, sering polisi kesulitan memadukan antara aturan dan pelaksanaan tugas di lapangan.

Kondisi demikian menjadikan munculnya tindak kekerasan oleh polisi atau justru polisi yang menjadi korban kekerasan (kejahatan).

Terdapat perbedaan persepsi antara masyarakat dan polisi mengenai dapat tidaknya digunakan kekerasan.

Masyarakat melihat penggunaan kekerasan oleh polisi sebagai sesuatu yang istimewa, dan tidak boleh bersifat rutin.

Masyarakat menghendaki polisi mampu memerangi kejahatan tanpa menggunakan kekerasan atau kalau digunakan harus seminimal mungkin dan merupakan kekecualian.

Sedangkan polisi menganggap kekerasan bukan kekecualian tetapi bagian dari tugas.

Polisi tidak akan sanggup melaksanakan tugas jika tidak menggunakan kekerasan.

Bagi polisi yang mengerti benar apa arti kekerasan dalam tugas, akan menilai saran dan imbauan mengenai bagaimana hendaknya kekerasan digunakan sebagai khotbah belaka, suatu omong kosong dan keinginan naif (Satjipto Raharjo, 1988).

Menjadi polisi memang berat, terutama ditengah situasi sosial yang terus berubah cepat dan dahsyat.

Sama beratnya untuk menjadi polisi yang santun penyabar di tengah masyarakat yang beringas.

Patut direnungkan ungkapan Adlow dari Universitas Boston “polisi hanya cermin yang memantulkan wajah masyarakatnya warna warni.

Dapatkah polisi santun di tengah ma-syarakatnya yang kurang ajar?” tanya Adlow getir.

Adlow pun, sebagaimana dikutip Anton Tabah (1995), memberi ancer-ancer agar polisi memiliki stabilitas emosional yang baik. Menurutnya, diperlukan minimal tiga kriteria, yaitu harus memiliki kepribadian konsisten, rendah hati, dan kecakapan akademis memadai.

Perpaduan antara kematangan otak, keandalam otot, dan kejernihan hati nurani.

Dan ini memang sulit.

Gugurnya anggota polisi dalam tugas sudah sering terjadi, baik di Indonesia maupun di luar negeri.

Bedanya, kalau yang terjadi di luar negeri, simpati masyarakat dan pemerintah pun berdatangan, sebagai perwujudan perlindungan politis maupun sosiologis terhadap pekerjaan polisi yang berisiko tinggi.

Dalam hal seperti ini, agaknya kita masih perlu banyak belajar dengan negara dan bangsa lain agar kita bisa lebih menghargai profesi kepolisian.

Kasus tewasnya Bripka Afrizal diharapkan secara tidak langsung bisa untuk memasyarakatkan tugas dan pekerjaan kepolisian itu sendiri.

Selain itu, diharapkan juga bisa menjalankan dari sisi political will, terutama dari sisi yuridis, bagaimana memberi perlindungan yang memadai terhadap pekerjaan polisi.

Sumber: Sriwijaya Post
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved