Penembakan Terhadap Polisi

Gugurnya Kanit Reskrim Polsek Mesuji Makmur (OKI) Bripka Afrizal menambah panjang jumlah anggota kepolisian yang tewas

Editor: Salman Rasyidin
zoom-inlihat foto Penembakan Terhadap Polisi
ist
Mahendra Kusuma, SH.MH.

Penembakan Terhadap Polisi

Oleh: Mahendra Kusuma, SH.MH.

Dosen PNSD Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi Wilayah II Dpk FH Universitas Tamansiswa Palembang

Gugurnya Kanit Reskrim Polsek Mesuji Makmur (OKI) Bripka Afrizal setelah ditembak oleh perampok menambah panjang jumlah anggota kepolisian yang tewas dalam melaksanakan tugasnya.

Sebagaimana diberitakan Harian Sriwijaya Post, 3/6/2019, Bripka Afrizal tertembak setelah bersama warga berupaya menggagalkan aksi enam perampok yang menyatroni rumah seorang tauke karet di Dusun 5 Desa Beringin Jaya, Kecamatan Mesuji Makmur (OKI).

Dalam aksi tembak menembak dengan perampok, malang Bripka Afrizal tertembak di bagian dada yang me-matikan.

Tindakan yang dilakukan oleh Bripka Afrizal dalam menghadapi perampok yang ber-senjata api merupakan panggilan hati nuraninya selaku anggota kepolisian walau dengan taruhan nyawa.

Sebagai aparat penegak hukum, polisi selalu dihadapkan kepada kondisi dan risiko kerja yang berbahaya.

Bagi polisi, faktor bahaya merupakan risiko pekerjaan yang harus dihadapi. Profesi polisi penuh muatan bahaya.

Dalam menangani kejahatan, tugas polisi tidak ringan, ia harus mempertahankan nyawa dalam melindungi masyarakat.

Setiap usaha untuk menegakkan hukum memang tak akan menyenangkan bagi penjahat karena didalamnya selalu tidak pernah lepas dari tindakan pembatasan atau pengekangan kepada pihak lain yang mencoba melanggar norma dan tertib hukum yang berlaku.

Penjahat adalah pihak yang selalu menjadi lawan polisi ketika mereka menjalankan tugasnya.

Hal ini bisa dimaklumi karena dimanapun tempatnya yang namanya penjahat selalu akan mencoba melanggar hukum dan melawan kekuasaan sah polisi.

Memang, dalam menjalankan tugasnya sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, polisi tidak dapat dipisahkan dari kejahatan dan kekerasan.

Sutherland, seorang kriminolog dari A¬merika Serikat, dalam bukunya Criminal Homicide, a Study of Culture & Conflict (1960) mengatakan, polisi dalam pekerjaan sehari-harinya sering bergaul dengan dunia kejahatan.

Polisi sudah akrab dengan dunia hitam.

Tesis yang dikemukakan Sutherland itu menunjukkan kepada kita betapa pekerjaan polisi selalu berkubang dengan dunia kotor, dunia kejahatan yang seringkali gelap pekat (the dirty job) (Khoidin, 1997).

Awaloeddin Jamin dan Anton Tabah (1995) menyatakan bahwa kepolisian adalah penegak hu-kum luas, banyak berlepotan lumpur dan darah.

Bukan hanya darah korban kejahatan yang akan ditolong dan dilindungi, bukan hanya darah penjahat brutal yang akan “diayomi”, tetapi juga darahnya polisi sendiri akibat kebrutalan penjahat maupun ganasnya alam akibat kemajuan peradaban yang terus meningkat.

Sebagai unsur penegak hukum, polisi diibaratkan mencari ikan di laut yang bukan hanya harus siap di mangsa hiu tetapi juga harus siap diamuk badai, sedangkan unsur penegak hukum lainnya tidak usah khawatir di mangsa hiu, bahkan dipatil lele pun tidak, karena mereka tinggal “menyantap” ikan yang sudah dihidangkan rapi di meja makan.

Satjipto Rahardjo menyatakan polisi adalah penegak hukum “jalanan”, pakaian polisi yang sudah kusut oleh debu jalanan, seringkali terpolusi oleh lepotan darah, sedangkan Hakim dan Jaksa adalah penegak hukum “gedongan” dengan pakaian necis dan bersih tinggal meramu dan mengolah data yang diperoleh polisi di lapangan.

Hal inilah yang sering digambarkan oleh pakar kepolisian Amerika Serikat, Bittner, dengan the dirty job or attainted occupation.

Polisi seringkali dihadapkan pada kasus yang membelukar bagaikan rimba raya, belum jelas siapa korban, siapa pelaku, siapa saksi, dan dimana barang bukti.

Bagaikan sebuah adonan polisilah yang harus mampu memilah-milah agar adonan tersebut berhasil diungkapkan secara detail sehingga diketahui bagaimana kasus tersebut terjadi.

Jadi, dalam menjalankan tugasnya selaku penjaga kamtibmas, polisi senantiasa bergulat dengan sosok perilaku yang namanya kekerasan. Antara polisi dan kekerasan tidaklah dapat dipisahkan.

Kekerasan adalah bagian fungsional dari kerja polisi.

Secara posisional, polisi berada diantara martil dan landasan besi.

Begitu dekatnya hubungan antara polisi dan kekerasan sehingga ada ungkapan, polisi berada pada dua pijakan, yaitu sebelah kakinya berada di penjara dan sebelahnya lagi berada di kuburan.

Bahkan lebih ekstreem lagi, Kapolda Sumatera Selatan Irjen Pol Zulkarnain, mengistilahkan menjadi polisi itu ibarat kaki kanan di rumah sakit dan kaki kiri di kuburan (Sriwijaya Post, 4/6/2019).

Jerome Scolnick, pakar ilmu kepolisian Amerika Serikat, dalam Justice Without Trial (1960) berujar, di negara demokrasi, polisi dituntut dapat menjamin berjalannya “ketertiban” dan harus mematuhi aturan hukum (rule of law).

Kondisi tersebut sering menimbulkan konflik antara kepentingan hukum dan ketertiban.

Hukum dan ketertiban berada pada dua kutub yang berbeda. Dalam hukum terdapat restriksi (pembatasan) terhadap cara kerja polisi dalam memelihara ketertiban (Khoidin, 1997).

Kita hidup dalam negara yang berdasar atas hukum. Hukum positif kita juga mengikuti “selp-help” dalam menangani kejahatan, menjadi suatu penanganan kejahatan yang dikendalikan oleh (prosedur) hukum.

Banyak ketentuan peraturan perundang-undangan yang dibuat untuk mengendalikan pelanggaran kekerasan oleh polisi pada waktu berhadapan dengan penjahat.

Sebagai contoh kelahiran KUHAP, yang justru menurut banyak kalangan lebih banyak memberi perlindungan kepada pelaku kejahatan dengan berbagai hak-haknya daripada aparat penegak hukum.

Dalam kaitan dengan hukum ada sesuatu yang menarik tetapi terlupakan.

Hukum kita jelas tidak mentolerir kejahatan dan dengan demikian tentunya juga pelakunya.

Untuk itu ratusan pasal-pasal undang-undang dikeluarkan yang memberi ancaman sanksi terhadap pelaku kejahatan.

Di sisi lain, hukum juga memberi kekuasaan dan kewenangan terhadap polisi untuk mewujudkan kamtibmas.

Hukum memang tidak dapat lain kecuali bersandar pada polisi untuk melakukan mobilisasi hukum.

Kalau tidak, maka hukum tinggal menjadi kata-kata bagus di atas kertas belaka (Satjipto Raharjo, 1995).

Meneruskan logika sistem diatas, maka, baik pelaku kejahatan maupun polisi wajib tunduk pada sekalian peraturan perundang-undangan yang mengontrol kejahatan tersebut.

Itu berarti bahwa seharusnya polisi dengan gampang mendatangkan pelaku kejahatan, menangkapnya dan kemudian memprosesnya lebih lanjut, tetapi dalam kenyataannya tidak sesuai dengan logika hukum.

Tidak ada pelaku kejahatan yang pada waktu berhadapan dengan polisi secara sukarela me-nyerahkan tangannya untuk diborgol.

Apalagi pelaku yang karena tahu bahwa perbuatannya dilarang, lalu segera dengan sukarela mendatangi kantor polisi untuk menyerahkan diri.

Apa yang terjadi dalam kenyataan tidak mungkin mengikuti “logika hukum”, tetapi mengikuti “logika penjahat”. Penjahat pasti tidak mau ditangkap. Kalau akan ditangkap mereka melakukan perlawanan dengan kekuatan yang terkadang membahayakan nyawa polisi yang akan me¬na-ngkapnya.

Menghadapi penjahat yang tidak mau ditangkap, polisi terpaksa melakukan tindak kekerasan dengan melumpuhkannya dengan senjata api.

Ketika polisi menggunakan senjata api untuk menangkap penjahat, polisi juga terikat dengan a-turan penggunaan senjata api yang diatur oleh institusinya.

Peraturan yang mengatur penggunaan senjata api oleh polisi adalah Peraturan Kapolri No. 1/2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian.

Salah satu standar prosedur operasional (SOP) yang harus di¬per¬hatikan oleh anggota polisi dalam menangkap penggunaan senjata api untuk menangkap penjahat tercantum dalam Pasal 48 huruf b, yang menyatakan sebelum menggunakan senjata api, polisi harus memberikan peringatan yang jelas dengan cara:

(1) menyebutkan dirinya sebagai petugas atau anggota polisi yang sedang bertugas;

(2) memberi peringatan dengan ucapan secara jelas dan tegas kepada sasaran untuk berhenti, angkat tangan, atau meletakkan senjatanya; dan

(3) memberi waktu yang cukup agar peringatan dipatuhi.

Sebelum melepaskan tembakan, polisi juga harus memberikan tembakan peringatan ke udara atau ke tanah dengan kehati-hatian tinggi dengan tujuan untuk menurunkan moril pelaku serta memberi peringatan sebelum tembakan diarahkan kepada pelaku (Pasal 15).

Penulis sepakat dengan tajuk (Salam Sriwijaya) harian Sriwijaya Post, 4/6/2019 yang menyatakan bahwa, SOP tersebut tidak selamanya menjamin keselamatan saat penindakan.

Hal ini ter¬bukti dengan tewasnya Bripka Afrizal.

Beliau sudah berupaya melakukan atau menerapkan SOP dalam melakukan penangkapan terhadap para perampok sesuai aturan yang berlaku.

Kanit Reskrim Polsek Mesuji Makmur ini memberi tembakan peringatan.

Akan tetapi tembakan pistol Bripka Afrizal justru dibalas dengan berondongan senjata.

Dalam situasi yang membahayakan masyarakat maupun dirinya, polisi mestinya dapat melakukan tembakan terukur untuk melumpuhkan penjahat, misalnya bagian kaki (walaupun terkadang ada juga penjahat yang tewas setelah baku tembak dengan polisi).

Namun, penggunaan senjata api oleh polisi dalam melumpuhkan penjahat acapkali memunculkan perdebatan soal le¬galitasnya.

Dalam praktek, sering polisi kesulitan memadukan antara aturan dan pelaksanaan tugas di lapangan.

Kondisi demikian menjadikan munculnya tindak kekerasan oleh polisi atau justru polisi yang menjadi korban kekerasan (kejahatan).

Terdapat perbedaan persepsi antara masyarakat dan polisi mengenai dapat tidaknya digunakan kekerasan.

Masyarakat melihat penggunaan kekerasan oleh polisi sebagai sesuatu yang istimewa, dan tidak boleh bersifat rutin.

Masyarakat menghendaki polisi mampu memerangi kejahatan tanpa menggunakan kekerasan atau kalau digunakan harus seminimal mungkin dan merupakan kekecualian.

Sedangkan polisi menganggap kekerasan bukan kekecualian tetapi bagian dari tugas.

Polisi tidak akan sanggup melaksanakan tugas jika tidak menggunakan kekerasan.

Bagi polisi yang mengerti benar apa arti kekerasan dalam tugas, akan menilai saran dan imbauan mengenai bagaimana hendaknya kekerasan digunakan sebagai khotbah belaka, suatu omong kosong dan keinginan naif (Satjipto Raharjo, 1988).

Menjadi polisi memang berat, terutama ditengah situasi sosial yang terus berubah cepat dan dahsyat.

Sama beratnya untuk menjadi polisi yang santun penyabar di tengah masyarakat yang beringas.

Patut direnungkan ungkapan Adlow dari Universitas Boston “polisi hanya cermin yang memantulkan wajah masyarakatnya warna warni.

Dapatkah polisi santun di tengah ma-syarakatnya yang kurang ajar?” tanya Adlow getir.

Adlow pun, sebagaimana dikutip Anton Tabah (1995), memberi ancer-ancer agar polisi memiliki stabilitas emosional yang baik. Menurutnya, diperlukan minimal tiga kriteria, yaitu harus memiliki kepribadian konsisten, rendah hati, dan kecakapan akademis memadai.

Perpaduan antara kematangan otak, keandalam otot, dan kejernihan hati nurani.

Dan ini memang sulit.

Gugurnya anggota polisi dalam tugas sudah sering terjadi, baik di Indonesia maupun di luar negeri.

Bedanya, kalau yang terjadi di luar negeri, simpati masyarakat dan pemerintah pun berdatangan, sebagai perwujudan perlindungan politis maupun sosiologis terhadap pekerjaan polisi yang berisiko tinggi.

Dalam hal seperti ini, agaknya kita masih perlu banyak belajar dengan negara dan bangsa lain agar kita bisa lebih menghargai profesi kepolisian.

Kasus tewasnya Bripka Afrizal diharapkan secara tidak langsung bisa untuk memasyarakatkan tugas dan pekerjaan kepolisian itu sendiri.

Selain itu, diharapkan juga bisa menjalankan dari sisi political will, terutama dari sisi yuridis, bagaimana memberi perlindungan yang memadai terhadap pekerjaan polisi.

Sumber: Sriwijaya Post
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved