Opini

Makan Bergizi Gratis, Ekonomi Bertumbuh? Janji Besar yang Harus Dibuktikan!

Jika dijalankan dengan tata kelola yang baik, MBG berpotensi menjadi motor pertumbuhan ekonomi rakyat Indonesia.

Istimewa
Nadina Sri Halimah, S.E. 

Ringkasan Berita:
  • MBG adalah investasi ekonomi jangka panjang, bukan hanya kebijakan sosial, untuk perbaikan SDM dan penekanan kemiskinan.
  • Capaian besar (20 juta anak terjangkau, 290 ribu lapangan kerja) diiringi isu krusial keracunan dan pengawasan.
  • Keberhasilan butuh tata kelola, keamanan pangan ketat, dan akuntabilitas agar tak jadi beban fiskal.
 

Oleh: Nadina Sri Halimah, S.E. 
(Mahasiswi Magister FEBI UIN Sunan Kalijaga)

 

SRIPOKU.COM - Seporsi makanan mungkin terlihat sederhana. Namun, ketika seporsi itu disiapkan untuk puluhan juta anak setiap hari, itu bukan lagi sekadar urusan dapur, melainkan juga menjadi urusan ekonomi, politik, bahkan masa depan bangsa.

Dalam pidatonya pada 5 Mei 2025, Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, menyebut bahwa Program Makan Bergizi Gratis (MBG) adalah “investasi bagi anak-anak dan upaya strategis untuk mengurangi kemiskinan di Indonesia”.

Narasi ini mencerminkan adanya ambisi besar: menjadikan program gizi nasional bukan hanya sebagai kebijakan sosial, tetapi sebagai fondasi pembangunan ekonomi jangka panjang.

Sejak program MBG diluncurkan pada 6 Januari 2025 dengan anggaran awal Rp71 triliun, pemerintah menargetkan 82,9 juta penerima manfaat melalui 31.994 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di seluruh Indonesia.

Hingga Agustus 2025, program MBG diklaim telah menjangkau 20 juta anak sekolah, ibu hamil dan ibu menyusui, serta menciptakan 290 ribu lapangan pekerjaan baru.

Sekitar 1 juta petani, nelayan, dan pelaku UMKM pun ikut dalam rantai pasok penyediaan bahan pangan. Pemerintah meyakini program ini dapat memperbaiki kualitas sumber daya manusia, memperkuat ekonomi lokal, sekaligus menekan angka kemiskinan.

Keyakinan tersebut bukan tanpa dasar. Berbagai studi pembangunan menunjukkan bahwa intervensi gizi di usia dini berhubungan langsung dengan peningkatan produktivitas ekonomi jangka panjang.

Asupan gizi yang cukup memungkinkan anak tumbuh sehat dan cerdas, sehingga memiliki potensi daya saing tinggi di pasar kerja.

Jika program MBG berhasil memastikan akses pangan bergizi merata, maka efeknya bisa menjadi lingkaran kebijakan yang positif seperti kualitas SDM meningkat, pendapatan masyarakat naik, dan menurunkan angka kemiskinan di Indonesia.

Namun, janji besar ini juga harus dihadapkan dengan realitas di lapangan. Sejak Januari hingga 27 September 2025, Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat sebanyak 8.649 anak keracunan dari MBG, dan jumlahnya terus bertambah. Hal ini bisa saja bersumber dari menu makanan yang disajikan tidak sesuai dengan standar gizi yang telah ditetapkan.

Dugaan praktik bisnis oleh oknum tertentu pun tak mengherankan bila mencuat ke publik. Celah pada aspek keamanan pangan dan pengawasan distribusi menjadi alarm keras bahwa keberhasilan program sebesar ini tidak cukup hanya dengan niat baik dan anggaran besar, tetapi juga diperlukan sistem tata kelola yang ketat, transparansi rantai pasok dan keterlibatan masyarakat dalam pengawasan program.

Kepala Badan Gizi Nasional, Dadan Hidayana dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR RI di 1 Oktober 2025, mengungkapkan bahwa kasus keracunan karena MBG disebabkan karena proses sanitasi yang buruk, pemasok bahan pangan yang tidak sesuai dengan SOP, hingga proses distribusi bahan pangan/makanan yang menghabiskan waktu yang lama di perjalanan.

Sebagai langkah awal penanganan kasus tersebut, Badan Gizi Nasional membuka layanan pengaduan bagi masyarakat, memberhentikan sementara Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang terindikasi melanggar SOP, serta membentuk tim investigasi MBG.

Sumber: Sriwijaya Post
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved