Opini
Tatkala Banjir dan Kekeringan Tiba Bersamaan
Sumsel jadi potret kontras: wilayah rawa di timur seperti Banyuasin rawan banjir, sedangkan wilayah barat seperti OKU rentan kekeringan.
Dr. M.H.Thamrin
(Pengamat Politik dan Kebijakan Publik dari Universitas Sriwijaya)
Ringkasan Berita:
- Bencana hidrometeorologi (banjir & kekeringan) ekstrem di Sumsel akibat perubahan iklim meningkat, akibat kegagalan tata kelola.
- Koordinasi antar-dinas lemah, data terputus, dan kurangnya partisipasi/komunikasi warga melipatgandakan dampak bencana.
- Perlu Kolaborasi (Collaborative Governance) antara pemerintah-warga, transparansi informasi, dan pembelajaran kebijakan berkelanjutan.
SRIPOKU.COM - Beberapa bulan terakhir, cuaca di Sumatera Selatan (Sumsel) menunjukkan wajah yang kian ekstrem.
Di satu wilayah, hujan turun berhari-hari tanpa henti, menenggelamkan jalan dan menahan aktivitas warga. Di wilayah lain, tanah mulai retak dan sumur-sumur mengering. Air berlebih di satu sisi, kekeringan di sisi lain—sebuah ironi yang kini menjadi keseharian di banyak daerah.
Bagi warga, ini bukan lagi anomali cuaca, melainkan persoalan hidup sehari-hari. Petani bingung menentukan pola tanam, nelayan kehilangan kepastian air pasang, dan warga kota gelisah setiap kali hujan deras turun lebih dari dua jam.
Kondisi ini memperlihatkan bahwa tata kelola iklim kita masih tertinggal dari perubahan alam yang semakin ekstrem (BMKG, 2025).
Dari Alam ke Tata Kelola
Data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika menunjukkan curah hujan ekstrem di Indonesia meningkat lebih dari 20 persen dalam dua dekade terakhir, sementara periode kering makin panjang (BMKG, 2025).
BNPB mencatat, lebih dari 98 persen bencana di Indonesia tahun lalu bersumber dari faktor hidrometeorologi—banjir, kekeringan, dan kebakaran lahan (BNPB, 2024).
Namun, kesiapan institusi kita belum seimbang dengan ancaman tersebut. Koordinasi antara dinas pertanian, lingkungan, dan perumahan masih sering tumpang tindih.
Infrastruktur fisik seperti tanggul dan pompa air memang penting, tapi tak akan cukup tanpa tata kelola yang lentur dan terintegrasi (World Bank, 2023).
Dalam banyak kasus, kegagalan bukan karena kurang proyek, melainkan karena data tak terhubung, koordinasi lemah, dan akuntabilitas belum berjalan.
Sumsel menjadi potret kontras: wilayah rawa di timur seperti Banyuasin rawan banjir, sedangkan wilayah barat seperti OKU dan Muba rentan kekeringan dan kebakaran lahan.
Dua ekstrem ini menuntut pendekatan berbeda tapi saling terkait dalam pengelolaan air dan ruang. Program rehabilitasi lahan gambut dan irigasi sebenarnya sudah berjalan, namun pelaksanaannya masih dominan proyek fisik. Padahal, keberhasilan adaptasi iklim bergantung pada cara masyarakat dilibatkan.
Ketika kelompok tani diberi ruang untuk mengelola embung dan kanal lokal, hasilnya jauh lebih efektif dibanding proyek top-down (FAO, 2023).
Di Palembang sendiri, banjir perkotaan lebih sering disebabkan oleh drainase tersumbat dan sampah rumah tangga.

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.