Opini
“Sleeping Beauty” Dana Daerah
Artinya, dana daerah yang mengendap bukan hanya masalah administrasi, tetapi penghambat pertumbuhan ekonomi nasional.
PADA tahun 2025 ini, publik kembali dikejutkan oleh pernyataan tegas Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang menyoroti fenomena klasik dalam tata kelola fiskal Indonesia: penumpukan dana pemerintah daerah di perbankan.
Dalam konferensi pers di Jakarta, ia menyebut bahwa terlalu banyak dana publik daerah yang “mengendap tenang” di rekening-rekening bank, sementara kebutuhan pembangunan di lapangan masih mendesak.
Fenomena ini bukan sekadar kejanggalan teknis keuangan, tetapi cermin dari masalah struktural yang telah lama menghantui sistem desentralisasi fiskal kita. Salah satu “kotak Pandora” dalam keuangan publik akhirnya terbuka: uang rakyat yang seharusnya menjadi penggerak pembangunan justru berhenti di rekening-rekening deposito, tertidur lelap seperti kisah klasik “Sleeping Beauty”.
Data Kementerian Keuangan per Agustus 2024 menunjukkan bahwa posisi simpanan pemerintah daerah di perbankan mencapai sekitar Rp278 triliun, naik dari tahun sebelumnya. Lebih dari Rp115 triliun di antaranya ditempatkan dalam bentuk deposito berjangka.
Angka ini menimbulkan pertanyaan etis sekaligus ekonomis: bagaimana mungkin di tengah kebutuhan mendesak mulai dari jalan rusak, rumah sakit kekurangan fasilitas, hingga krisis air bersih tetapi dana publik justru dibiarkan tidur di bank? Menteri Purbaya menyebut kondisi ini sebagai “potensi ekonomi besar yang terlelap.
” Istilah yang tepat: dana publik yang seharusnya mengalir justru diam, padahal setiap rupiah belanja publik memiliki efek pengganda (“multiplier effect”) dua hingga tiga kali lipat terhadap ekonomi lokal.
Sebaliknya, bunga deposito pemerintah daerah rata-rata hanya 4 persen per tahun di mana keuntungan kecil yang tidak sebanding dengan nilai sosial dan produktivitas yang hilang. Masalah ini bukan baru.
Hampir setiap tahun, menjelang tutup buku APBD, Kementerian Keuangan merilis laporan saldo kas daerah yang menggelembung. Bahkan terdapat selisih data hingga Rp18 triliun antara catatan Kemenkeu, Bank Indonesia, dan perbankan daerah.
Secara teknis, perbedaan waktu pelaporan dan klasifikasi rekening bisa menjelaskan hal itu. Namun bagi publik, perbedaan sebesar itu memperlihatkan lemahnya koordinasi dan transparansi fiskal nasional.
Mengapa uang publik tidak digunakan sebagaimana mestinya? Salah satu jawabannya adalah budaya takut salah. Banyak pejabat daerah lebih memilih menahan dana daripada membelanjakannya karena khawatir tersangkut kasus hukum akibat kesalahan administratif.
Dalam sistem pengawasan yang lebih fokus pada kepatuhan dokumen dibanding hasil sosial, birokrasi publik terjebak pada logika “lebih baik aman daripada inovatif.”
Hasilnya adalah “paradox of prudence”, yakni kehatian-hatian yang berlebihan justru menimbulkan ketidakefisienan struktural. Setelah berbagai kasus korupsi pengadaan terekspos media, muncul “psikologi ketakutan hukum” di kalangan pejabat daerah.
Dokumen harus sempurna sebelum dana dicairkan, bahkan untuk proyek kecil sekali pun. Akibatnya, pembangunan melambat. Uang menunggu kegiatan, bukan kegiatan menunggu uang. Padahal, uang publik tidak didesain untuk diam; ia diciptakan untuk bekerja.
Sumber lain dari kelambanan fiskal adalah hubungan rumit antara pemerintah daerah dan bank pembangunan daerah (BPD). Banyak BPD bergantung pada deposito pemerintah daerah sebagai sumber likuiditas.
Karena itu, ada insentif terselubung agar dana tidak segera ditarik. Pemerintah daerah pun diiming-imingi bunga deposito yang menambah pendapatan asli daerah (PAD). Dalam situasi suku bunga tinggi, tambahan bunga ini tampak menggoda.

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.