Opini

Menjaga Aset Umat dari Perilaku Koruptif dengan Paradigma Baru LPPK Muhammadiyah

Sebagaimana sabda Rosululloh SAW.; “Barang siapa menipu umat ini, maka ia bukanlah bagian dari kami.” — (HR. Muslim).

Editor: tarso romli
handout
Mukhtarudin Muchsiri-Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan 

DI TENGAH hiruk-pikuk zaman yang melaju cepat, di tengah derasnya arus kapital dan kepentingan duniawi yang menggoda, Persyarikatan Muhammadiyah kini berdiri di simpang jalan sejarahnya sendiri. Sebuah persyarikatan yang lahir dari rahim keikhlasan dan cita-cita suci untuk menegakkan kalimat Allah, kini mengemban amanah yang tidak hanya berat, tetapi juga sarat godaan dunia modern — amanah menjaga harta umat.

Muhammadiyah dan Amanah yang Membesar KH. Ahmad Dahlan, sang pendiri, pernah berpesan:
“Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah.”

Petuah itu bukan sekadar kalimat, melainkan sumbu moral yang menerangi perjalanan Persyarikatan Muhammadiyah ini selama lebih dari satu abad. Pada masa Kiai Dahlan, Persyarikatan adalah rumah keikhlasan. Amal usaha berdiri bukan karena kekayaan, melainkan karena niat berjuang di jalan Allah. Para pendirinya mengorbankan waktu, tenaga, bahkan harta pribadi untuk menegakkan dakwah Islam yang mencerahkan.

Namun kini, setelah satu abad lebih berjalan, peta Muhammadiyah telah berubah secara dramatis. Dari lembaga sederhana, Muhammadiyah menjelma menjadi jaringan sosial-keagamaan terbesar di Indonesia. Dengan lebih dari 170 perguruan tinggi, ribuan sekolah, ratusan rumah sakit, panti sosial, dan pesantren, nilai asetnya mencapai lebih dari 360 triliun rupiah. Sungguh, ini capaian luar biasa. Tapi di balik kebanggaan itu, terselip tanggung jawab moral dan spiritual yang jauh lebih besar.

LPPK: Pengawas yang (Sering) Tidur Panjang
Dalam tubuh Persyarikatan, Muhammadiyah telah membentuk Lembaga Pengawasan dan Pembinaan Keuangan (LPPK). Lembaga ini sesungguhnya adalah benteng terakhir untuk memastikan bahwa setiap rupiah yang keluar dan masuk dalam amal usaha dikelola secara amanah, profesional, dan sesuai prinsip syariah.

Namun, dalam kenyataannya, LPPK sering hanya hadir secara seremonial. Pengawasan biasanya dilakukan sekali dalam satu periode jabatan, atau bahkan di akhir masa kepemimpinan, hanya untuk memenuhi laporan formalitas. Tidak sedikit pimpinan amal usaha yang bahkan tidak merasakan sentuhan pembinaan dari lembaga ini. Akibatnya, fungsi kontrol menjadi lemah, dan budaya keuangan yang sehat tidak terbentuk secara sistemik. Dalam ruang-ruang hening pengelolaan dana, potensi manipulasi, mark-up, atau penyalahgunaan amanah bisa tumbuh, diam-diam, tanpa ada yang menyadari. Kondisi ini sangat berbeda dengan masa lalu, ketika Muhammadiyah masih miskin harta tetapi kaya kejujuran. Dahulu, karena harta tidak banyak, tidak ada yang perlu diperebutkan. Kini, ketika harta berlimpah, iman dan integritas menjadi benteng terakhir yang harus diperkuat.

Tantangan Zaman: Dari Keikhlasan ke Profesionalisme
Zaman telah berubah. Dunia modern menuntut setiap organisasi, termasuk organisasi keagamaan, untuk mengadopsi tata kelola keuangan yang akuntabel, transparan, dan terukur. Tantangan Muhammadiyah bukan lagi sekadar menjaga keikhlasan, tetapi juga membangun sistem profesional yang melindungi keikhlasan itu agar tidak tercemar oleh perilaku koruptif. Di sinilah pentingnya paradigma baru pengawasan dan pembinaan keuangan Muhammadiyah. Paradigma yang tidak hanya berorientasi pada audit pasif, tetapi juga pengawasan aktif, edukatif, dan preventif. Paradigma yang memadukan spiritualitas dan profesionalitas, etika dan sistem, iman dan integritas.

Paradigma Baru Pengawasan Keuangan Muhammadiyah
Paradigma baru ini harus bertumpu pada tiga pilar utama, yaitu Akuntabilitas, Transparansi, dan Amanah, yang harus menjadi satu kesatuan dan menjadi ruh dalam sistem tata kelola, administrasi dan keuangan Persyarikatan Muhammadiyah dan amal usahanya.
 
1. Akuntabilitas yang Berkelanjutan
Pengawasan keuangan tidak boleh dilakukan hanya di akhir periode. Harus ada sistem monitoring berkala, minimal setiap semester, atau setidak-tidaknya setiap akhir tahun kalender berjalan, agar potensi penyimpangan dapat dicegah sejak dini. LPPK harus bertransformasi dari lembaga statis menjadi lembaga aktif, bahkan proaktif. Bukan hanya memeriksa, tetapi juga membimbing dan mendampingi. Audit bukan sekadar mencari kesalahan, tetapi menumbuhkan kesadaran moral dan manajerial bagi seluruh pimpinan Persyarikatan Muhammadiyah dari level paling bawah (pimpinan ranting Muhammadiyah - PRM) sanpai level paling atas (Pimpinan Pusat Muhammadiyah – PPM) dan seluruh amal usaha-nya.

2. Transparansi yang Terbuka dan Modern
Setiap jenjang Persyarikatan Muhammadiyah dan amal usaha-nya perlu didorong untuk mempublikasikan laporan keuangannya secara terbuka — tidak saja ke lingkup internal Muhammadiyah, bahkan sudah semestinya untuk dapat dibaca oleh public secara luas, agar kontrol sosial berjalan. Penggunaan teknologi digital juga perlu diperkuat: sistem akuntansi berbasis daring (online accounting system) yang terhubung dengan LPPK wilayah dan pusat, agar pengawasan bisa dilakukan secara real-time.

Inilah wujud nyata prinsip Islam yang diajarkan Rasulullah SAW:
“Kalian semua adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari-Muslim).

3. Amanah sebagai Jiwa dan Ruh
Namun di atas semua itu, ruh amanah harus tetap menjadi fondasi utamanya. Sebab, sebaik apapun sistem, jika hati manusia tidak bersih, maka sistem itu akan mudah diselewengkan.
KH. Fakih Usman pernah berkata:
“Kekuatan Muhammadiyah bukan pada banyaknya gedung dan hartanya, tetapi pada kejujuran dan kesungguhan orang-orangnya.”
Maka, pembinaan moral dan spiritual bagi pimpinan amal usaha harus berjalan beriringan dengan pembinaan administrasi dan keuangan. Setiap pelatihan pimpinan hendaknya tidak hanya bicara tentang laporan neraca dan anggaran, tetapi juga tentang amanah, kejujuran, dan tanggung jawab di hadapan Allah.

LPPK sebagai Pusat Pembinaan Etika dan Integritas
LPPK ke depan harus berubah menjadi Lembaga Pengawasan dan Pembinaan Integritas Keuangan Muhammadiyah. Tidak hanya berfungsi sebagai auditor, tetapi juga sebagai pendidik moral keuangan Muhammadiyah.

Program-programnya dapat mencakup:
1. Pelatihan manajemen keuangan syariah bagi seluruh bendahara persyarikatan dan bendahara amal usaha;
2. Workshop anti-korupsi dengan pendekatan nilai-nilai Islam;
3. Sertifikasi integritas keuangan Muhammadiyah, yang menjadi syarat jabatan bendahara atau ketua bidang keuangan di semua level;
4. Audit spiritual, yakni evaluasi etis terhadap perilaku dan kebijakan keuangan lembaga.

Dengan demikian, pengawasan tidak lagi bersifat investigative dan represif semata, melainkan bersifat transformasional — mengubah pola pikir, bukan sekadar memperbaiki sebuah laporan.

Menyelamatkan Aset Umat dari Godaan Dunia
Aset Muhammadiyah bukan milik pribadi siapapun. Ia adalah titipan umat, bahkan titipan Allah SWT. Maka, setiap sen yang dikelola tanpa integritas, sejatinya adalah pengkhianatan terhadap amanah dakwah. Kita mesti belajar dari sejarah. Banyak lembaga dakwah dan organisasi keagamaan besar yang runtuh bukan karena kekurangan kader atau ide, melainkan karena rapuhnya moral dalam mengelola harta.

Sumber: Sriwijaya Post
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved