Opini

Tatkala Banjir dan Kekeringan Tiba Bersamaan

Sumsel jadi potret kontras: wilayah rawa di timur seperti Banyuasin rawan banjir, sedangkan wilayah barat seperti OKU rentan kekeringan.

TRIBUN SUMSEL/WELLY
Dr. Husni Thamrin 

Pemerintah kota rutin mengeruk saluran, tapi tanpa partisipasi warga, air tetap mencari jalannya sendiri.

Perubahan iklim membuat curah hujan sulit diprediksi, tetapi buruknya tata ruang dan perilaku sosial membuat dampaknya berlipat ganda.

Komunikasi sebagai bagian dari Tata Kelola

Adaptasi iklim bukan hanya soal kebijakan, tapi juga komunikasi. Saat pemerintah mengumumkan “status siaga bencana”, banyak warga tak tahu apa arti praktisnya. Ke mana harus melapor, bagaimana melindungi aset, atau siapa yang bisa dihubungi? Padahal, komunikasi publik yang jelas bisa menyelamatkan banyak nyawa.

Di beberapa daerah, inovasi kecil mulai muncul. Sejumlah desa di Ogan Ilir, misalnya, mengembangkan sistem peringatan dini berbasis pesan singkat dan radio komunitas.

Informasi debit sungai dan prakiraan cuaca disebar langsung oleh perangkat desa. Langkah sederhana ini menunjukkan bahwa komunikasi yang tepat bisa menjadi bagian penting dari tata kelola kebencanaan yang efektif.

Sebagai orang yang belajar kebijakan publik, saya percaya bahwa governance dan communication harus berjalan seiring.

Pemerintah perlu membangun sistem informasi risiko yang terbuka, sehingga warga tahu apa yang sedang terjadi di sekitar mereka.

Peta rawan banjir, lokasi aman, dan jalur evakuasi seharusnya mudah diakses, bukan tersimpan di laporan teknis.

Mencari Model Tata Kelola Baru

Banjir dan kekeringan yang datang bergantian seolah sedang menguji bukan hanya daya tahan kita terhadap alam, tetapi juga cara kita mengatur kehidupan bersama.

Dalam pandangan Anthony Giddens (1984), hubungan antara negara dan warga selalu bersifat timbal balik: struktur kebijakan membentuk perilaku masyarakat, namun masyarakat pun membentuk kembali struktur itu lewat tindakan sehari-hari.

Maka, keberhasilan kebijakan iklim tidak hanya bergantung pada rancangan di atas kertas, tetapi pada bagaimana nilai dan perilaku publik ikut menghidupinya.

Dari sinilah pentingnya membangun tata kelola yang mendengar sebelum mengatur.

Banyak hal sederhana bisa menjadi pintu masuknya: musyawarah desa yang membahas peta risiko banjir, gotong royong menjaga kanal dan embung, atau kolaborasi antara universitas dan pemerintah daerah dalam memantau data curah hujan.

Inilah semangat collaborative governance (Ansell & Gash, 2008) dalam bentuk paling nyata—kolaborasi yang lahir dari kebutuhan, bukan dari undangan resmi.

Lebih jauh, kebijakan publik yang baik tidak semata-mata mengejar efisiensi, melainkan berupaya membangun kepercayaan.

Sumber: Sriwijaya Post
Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved