Mimbar Jumat
Menjadi Baik di Lingkungan yang Tidak Baik-baik Saja
Kebaikan sejati tidak tumbuh keramaian, melainkan bersemi di lorong sepi yang hanya dilalui oleh jiwa-jiwa yang masih berani percaya pada nurani.
DUNIA modern menjanjikan kemudahan dan keterhubungan tanpa batas, tetapi justru menghadirkan jarak hati dan kekeringan nilai kemanusiaan. Seorang Sosiolog Zygmunt Bauman menyebutkan bahwa masyarakat saat ini hidup dalam hubungan yang cair.
Cepat terhubung namun mudah terlepas. Manusia terlihat dekat secara digital, tetapi sesungguhnya jauh secara emosional.
Kebaikan menjadi sesuatu yang langka, bahkan sering disalahartikan sebagai satu kelemahan. Di ruang publik, dapat dilihat bagaimana empati dikalahkan oleh algoritma sensasi, dan moralitas kalah cepat dari keinginan untuk viral.
Sebagai contoh ialah peristiwa di tahun 2023, ketika publik Indonesia diguncang oleh kasus penggalangan dana palsu melalui akun TikTok dan Instagram yang tanpa izin menggunakan foto anak yang sedang sakit.
Simpati tulus dari masyarakat pun dikhianati oleh tangan-tangan munafik yang mengambil keuntungan di atas duka. Tahun 2024 juga tidak kalah hebohnya, publik kembali marah oleh kasus relawan sosial yang ternyata menyelewengkan donasi untuk kebutuhan pribadi.
Kasus semacam ini memperlihatkan paradoks zaman, dari yang memberi menjadi mengambil, dari berbagi menjadi bersaing dan dari menyapa kemudian berubah menjadi mencurigai.
Fenomena lain yang menggambarkan hilangnya empati adalah reaksi masyarakat terhadap musibah. Ketika terjadi kecelakaan di jalan raya, kebakaran, atau bencana alam, tidak sedikit orang yang justru sibuk mengambil gambar dan mengunggahnya ke media sosial, bukan bersegera untuk menolong korban.
Dalam beberapa video viral misalnya saat banjir besar di Demak (2024) atau kecelakaan di tol Cipali (2023) terlihat sejumlah warga lebih memilih merekam dan membuat konten ketimbang bergegas membantu melakukan evakuasi.
Budaya digital yang berorientasi pada posting dulu bantu nanti, memperlihatkan betapa emosi sosial telah digantikan oleh hasrat eksposur.
Pada sisi lain, di tengah kelangkaan ketulusan, syariat Islam tetap memanggil untuk senantiasa menebar kebaikan.
Al-Qur’an dan hadis bukanlah pedoman yang bersifat situasional, melainkan kompas moral yang menuntun manusia untuk tetap berbuat baik meski dunia tidak membalas dengan kebaikan yang sebanding.
Rasulullah bersabda, sesungguhnya Allah telah mewajibkan berbuat baik atas segala sesuatu (HR. Muslim, 1955). Berbuat baik bukan berarti lemah, tetapi justru bukti kekuatan spiritual.
Sabda Rasul, orang kuat bukanlah yang pandai bergulat, tetapi orang kuat adalah yang mampu menahan diri ketika marah (HR. al-Bukhari, 6114).
Kedua hadis ini menegaskan bahwa kebaikan adalah keteguhan batin, bukan sekadar reaksi spontan. Orang baik sejati bukan yang hanya bersikap manis ketika disanjung, tetapi juga yang tetap lembut ketika dikhianati.
Dalam perspektif Islam, kebaikan bukan sekadar etika sosial, tetapi indikator iman yang hidup. Rasulullah bersabda, tidak sempurna iman seseorang hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri (H.R. al-Bukariy, 13).


 
						
					 
						
					 
						
					 
						
					 
						
					 
						
					 
												      	 
												      	 
												      	 
												      	 
												      	![[FULL] Ulah Israel Buat Gencatan Senjata Gaza Rapuh, Pakar Desak AS: Trump Harus Menekan Netanyahu](https://img.youtube.com/vi/BwX4ebwTZ84/mqdefault.jpg) 
				
			 
											 
											 
											 
											 
											
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.