Mimbar Jumat

Carut-Marut Umat Nabi, Jejak Pengakuan dalam Amanah Penyelenggaraan Haji

Menunda pelaksanaan haji bisa berakibat fatal sebab ajal dan takdir manusia adalah misteri yang sulit diprediksi apalagi dinegosiasi.

Editor: tarso romli
handout
Prof. Dr. Hj. Uswatun Hasanah, M.Ag-Guru Besar Ilmu Hadis UIN Raden Fatah Palembang 

SETIAP muslim akan bangga menyebut dirinya sebagai ummat Nabi Muhammad SAW. Kalimat yang mengandung identitas kehormatan, doa sekaligus pengharapan untuk mendapat pengakuan balik dari manusia terbaik sepanjang zaman.

Ketika seorang muslim mengucapkan pengakuan, sejatinya ia sedang berdiri di depan cermin. Bayangan yang tampak semestinya sesuai dengan wujud asli. Apa jadinya bila bayangan tidak serupa apalagi berbeda 360 derajat.

Lisan menyebut umat Nabi, tetapi langkah terikat pada nafsu duniawi. Mengaku bahwa Rasulullah sebagai teladan, tetapi arah hidup justru menjauh dari sang panutan. Padahal Rasul telah menegaskan bagi siapa yang menipu kami, maka ia bukan dari golongan kami (HR. Muslim,101).

Pesan yang memberi peringatan bahwa pengakuan sebagai umat tidak cukup hanya sebatas lisan. Pengakuan menuntut keselarasan dalam sikap. Jika tidak, maka pengakuan hanya sebatas tipuan, yang justru menjauhkannya dari barisan.

Fenomena yang terjadi bukan hanya dalam kehidupan pribadi, melainkan juga dalam urusan besar yang melibatkan banyak pihak, salah satunya pada penyelenggaraan haji.

Ibadah yang seharusnya merupakan bagian dari pilar Islam, simbol perjumpaan sejarah dan kesinambungan risalah para nabi, serta momentum penyatuan umat yang datang dari seluruh penjuru bumi.

Carut-marut penyelenggaraan ibadah haji tidak hanya terjadi pada satu aspek. Mulai dari antrean panjang yang melampaui batas usia harapan hidup, biaya pelaksanaan yang terus meningkat, pelayanan administrasi yang panjang dan berliku, hingga layanan teknis di lapangan yang masih menyisakan banyak keluhan.

Padahal Rasulullah SAW telah berpesan untuk menyegerakan pelaksanaan haji, karena tidak ada seorang pun yang mengetahui apa yang akan menimpanya kelak (HR. Ahmad,1836). Menunda pelaksanaan haji bisa berakibat fatal sebab ajal dan takdir manusia adalah misteri yang sulit diprediksi apalagi dinegosiasi.

Di berbagai daerah, tidak sedikit calon jamaah haji wafat sebelum berangkat. Padahal telah puluhan tahun bersikap sabar untuk menabung dan tidak kenal menyerah dalam penantian. Tidak seorang pun yang ingin buku tabungan hajinya hanya akan menjadi kenangan pahit bagi keluarga yang ditinggalkan.

Menarik untuk direnungkan, meskipun Rasulullah SAW tinggal begitu dekat dengan Ka’bah, beliau hanya berhaji sekali seumur hidup yaitu pada Haji Wada’ (HR. Abu Dawud, no. 1987).

Hal ini bukan terjadi secara kebetulan, ragam hikmah tentu saja dapat diambil. Beberapa hikmah bagi para calon jemaah haji adalah pertama Rasul ingin mengajarkan bahwa esensi haji bukan pada kuantitas keberangkatan, tetapi kualitas penghayatan. Sekali haji dengan penuh kesungguhan lebih bermakna daripada berkali-kali dengan niat yang kabur. Kedua, Rasulullah mengajarkan untuk memiliki empati sosial. Berhaji cukup sekali, selanjutnya memberi kesempatan bagi orang lain untuk dapat juga menunaikan rukun Islam kelima.

Dikisahkan dalam sebuah riwayat Rasul mengutus Abu Bakar untuk memimpin haji, di tahun 9 H, sementara Rasul tetap berada di Madinah untuk melaksanakan urusan strategis ummat saat itu (H.R. al-Bukhariy, 369). Kemudian pada tahun berikutnya yaitu 10 H Rasul melaksanakan ibadah haji (H.R. al-Bukhariy, 1622).

Ketiga, Rasulullah menekankan agar haji bisa melahirkan perubahan moral. Dalam khutbah Haji Wada’, Rasul menegaskan untuk tidak menzalimi orang lain, tidak melakukan penindasan apalagi memakan harta secara batil (HR. Muslim, 2589).

Keteladanan pelaksanaan haji Rasulullah yang diikuti oleh para sahabat terfokus pada pemantauan para jemaah, memastikan keamanan, dan tetap sederhana (HR. al-Bukhari, no. 1748). Tidak begitu penting tenda mewah, fasilitas lengkap dan pengawalan ketat. Cukup tidur di tanah, bernaung di bawah langit terbuka yang penting tidak ada keluhan. Karena tujuan yang ingin dicapai bukan kenyamanan dunia, melainkan keridhaan Allah SWT (HR. al-Bukhariy, 1706).

Ibadah haji adalah perjalanan pulang, bukan sekadar perjalanan jauh. Momen kembalinya seorang hamba pada kesucian asalnya, sebuah pertemuan agung antara kerendahan hati dan kebesaran Ilahi. Karena itu, ia bukan semata urusan logistik, tiket, tenda, dan katering. Ia adalah amanah besar, yang di baliknya bergetar doa jutaan hati. Maka, mengelola haji tidak boleh disamakan dengan mengatur sebuah proyek rutin, apalagi pasar raksasa yang penuh hitungan untung-rugi.

Sumber: Sriwijaya Post
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved