Mimbar Jumat

Menjadi Baik di Lingkungan yang Tidak Baik-baik Saja

Kebaikan sejati tidak tumbuh keramaian, melainkan bersemi di lorong sepi yang hanya dilalui oleh jiwa-jiwa yang masih berani percaya pada nurani.

Editor: tarso romli
handout
Prof. Dr. Hj. Uswatun Hasanah, M.Ag-Guru Besar Ilmu Hadis UIN Raden Fatah Palembang 

Rasulullah menjaga kebersihan hati dengan zikir, istighfar, dan doa. Tidak menyimpan dendam, bahkan terhadap orang yang memusuhinya. Dalam peristiwa Fathul Makkah, ketika orang Qurais yang dahulu menyakiti tertunduk bersimpuh di hadapannya, Rasulullah justru berkata dengan suara lembut, pergilah, kalian bebas.

Kebaikan diri bukan diukur dari seberapa sering kita memberi, tetapi dari seberapa kuat mampu menahan diri untuk tidak menyakiti. Kebaikan bukan topeng sosial, melainkan cermin  sebuah keimanan.

Menjadi baik di era kini bukan berarti menolak kemajuan, tetapi menyematkan moralitas di tengah modernitas. Dunia boleh berubah, tetapi nilai harus tetap berakar. Sebagaimana Rasulullah menebar kasih sayang dalam setiap langkah, demikian pula kita dipanggil untuk menjadi lentera kecil di zaman yang gelap.

Menjadi baik di saat keadaan tidak sedang baik-baik saja bukanlah perkara mudah. Apalagi meneladani kesempurnaan akhlak Rasul, manusia paling sabar, paling lembut, dan paling pemaaf.

Namun di sanalah panggilan iman berbisik lembut. Bukan untuk menjadi sempurna layaknya Rasul, melainkan untuk terus berusaha berjalan di atas jejaknya, setapak demi setapak. Berjalan dalam kebaikan terasa seperti meniti jalan sunyi, di mana setiap langkah menggema di antara bisu dan sepi.

Ancaman terkadang datang bukan dari tempat yang jauh, melainkan dari lelah yang bersemayam di dalam diri. Dari bisikan halus untuk berhenti, menyerah saja, putus asa pada nurani biarkan menjadi seperti kebanyakan orang saja.

Namun justru di sanalah letak maknanya. Kebaikan sejati tidak tumbuh di tengah keramaian yang riuh, melainkan bersemi di lorong sepi yang hanya dilalui oleh jiwa-jiwa yang masih berani percaya pada nurani. Karena menegakkan kebaikan tidak mudah.

Maka mari berjalan bersama, saling menuntun dan meneguhkan satu sama lain, agar cahaya kebaikan tidak mudah padam. Kebaikan dapat tumbuh dari hati-hati yang saling menguatkan, dari tangan-tangan yang saling menggandeng di jalan kebenaran.

Sebab setiap usaha menahan amarah, setiap senyum tulus di tengah getirnya kehidupan, dan setiap maaf yang kita berikan meski hati terluka, semuanya adalah bagian dari sunnah Rasul yang hidup di antara kita. Dan selama kita menjaga kebaikan itu bersama, sejatinya kita sedang menjaga cahaya cinta Rasulullah agar tetap menyala di bumi yang kian kehilangan arah.

Kebaikan adalah identitas seorang mukmin. Firman Allah “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya) baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya serta memaafkan kesalahan orang lain. Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik (QS. Ali ‘Imran,133–134).

Kebaikan mungkin akan terlihat kalah, tetapi ia takkan pernah punah. Selama masih ada hati yang beriman, akan selalu ada yang memilih untuk tetap berbuat baik. Meskipun dunia tak membalas dengan kebaikan yang setara tetapi ia selalu dikenang oleh langit. Firman Allah, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik (QS. Al-Baqarah: 195). (*)

Sumber: Sriwijaya Post
Halaman 3/3
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved