Mimbar Jumat

Idul Fitri 1446 H: Moralitas Sosial dan Karakter Bangsa

Dengan memperingati Idul Fitri 1446H/2025 diharapkan dapat memperkuat moralitas sosial umat dan proses pembentukan karakter bangsa.

Editor: tarso romli
handout
Abdullah Idi-Dosen Pascasarjana UIN RF Palembang 

UMAT Islam di manapun berada--seantero dunia, merayakan Idul Fitri 1446H/2025. Ucapan Takbir (Allahu Akbar), Tahmid (Alhamdulillah), dan Tahlil (La ilaha illallah) berkumandang di banyak masjid, langgar, radio, televisi, dan media sosial lainnya. Bagi umat Islam, merayakan Idul Fitri, dipandang sebagai mutualsimbiosis nilai-nilai puasa Ramadan dalam  meningkatkan moralitas sosial dalam proses pembentukan karakter bangsa.
 
Seperti diketahui bahwa bagi umat Islam, berpuasa Ramadan, merupakan suatu kewajiban  dalam melaksanakan  salah satu dari lima Rukun Islam. Dalam Surah Albaqarah (2) ayat 183 berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. Sedangkan dalam Surat Albaqarah (2) ayat 184, berbunyi: “Beberapa hari tertentu. Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dala perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain.  Dan barang siapa yang tidak mampu (berpuasa), maka wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan orang miskin. Barang siapa dengan kesadaran hati berbuat Kebajikan (dengan berpuasa), maka itu lebih baik baginya. Dan berpuasa itu lebih bagi kamu, jika kamu mengetahui.”.

Dapat dipahami, kewajiban berpuasa merupakan ibadah yang harus dilaksanakan umat Islam yang beriman dan baligh, serta sehat akalnya. Kewajiban ini dilaksanakan pada setiap bulan Ramadan, dengan tujuan agar umat Islam menjadi pribadi (individu) yang bertakwa. Lebih lanjut, dalam menunaikan ibadah puasa Ramadan, bagi seorang muslim, setidaknya memiliki beberapa persyaratan utama yang patut diketahui: mencapai usia akil baligh (12—15  tahun bagi perempuan; suci dari haid dan nifas sebelum menjalankan puasa 15—18 tahun bagi laki-laki); tidak dalam keadaan sakit atau memiliki kemampuan fisik dan mental; memahami waktu berpuasa: dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Hal ini tampak bahwa sekalipun berpuasa bersifat wajib bagi seorang muslim. Tetapi di sisi lain, tampak bersifat rasional, realistis, dan adanya kemudahan atau keringanan.

Secara normatif, mutualsimbiosis, antara puasa Ramadan, Idul Fitri dan proses pembentukan karakter bangsa (masyarakat/umat) dapat dijelaskan bahwa puasa Ramadan merupakan persiapan spiritual untuk merayakan Idul Fitri, dimana umat Islam diharapkan dapat meningkatkan ketakwaan dan kesadaran spiritualnya; Idul Fitri dirayakan sebagai penghargaan atas kesabaran dan ketakwaan umat Islam selama berpuasa; Idul Fitri meningkatkan ketakwaan dan kesadaran spiritual umat Islam; dan sebagai simbol kemenangan umat Islam atas kesabaran dan ketakwaan   selama berpuasa. Idul Fitri dapat dikatakan hari pengampunan dosa. Hal ini, umat Islam diharapkan untuk meminta maaf atas kesalahan yang diperbuat sebelumnya, baik sengaja ataupun tidak sengaja karena khilaf sebagai insan dhaif. Idul fitri juga sebagai hari persatuan dan kesatuan umat Islam, dimana mereka berkumpul untuk merayakannya dan mempererat silaturahmi (relasi sosial) sesama.

Umat Islam yang merayakan puasa Ramadan dan Idul Fitri sekurangnya memiliki dua dimensi moralitas sebagai proses pembentukan karakter bangsa (umat/masyarakat). Pertama, dimensi  moralitas-normatif, antara lain: adanya kesabaran dan ketabahan, dimana merayakan Idul Fitri mengingatkan  umat Islam tentang pentingnya kesabaran dan ketabahan dalam menghadapi kesulitan dan cobaan dalam kehidupan; adanya kemurahan dan kasih sayang, dimana Idul Fitri memiliki nilai-nilai kemurahan dan kasih sayang, dimana umat Islam  wajib membayar zakat fitrah dan dianjurkan untuk bersedekah; adanya keadilan dan kesetaraan, dimana Idul Fitri mengajarkan umat Islam tentang pentingnya keadilan dan kesetaraan, seperti dalam pembagian harta dan keakayaan; adanya kesadaran dan ketaatan, dimana Idul Fitri mengajarkan umat Islam terhadap pentingnya kesadaran dan ketaatan  terhadap ajaran Islam; dan adanya pengampunan dan kesabaran, dimana  Idul Fitri mengajarkan nilai-nilai pengampunan dan kesabaran. Umat Islam dianjurkan untuk saling memaafkan kesalahan orang lain dan tetap bersabar dalam menghadapi dinamika kesulitan hidup. Kedua, dimensi moralitas dalam praktik Idul Fitri, antara lain: pembagian zakat fitrah sebagai bentuk kepedulian terhadap orang lain yang membutuhkan; pembagian sedekah sebagai bentuk kepedulian terhadap orang lain yang membutuhkan; kunjungan silaturahmi sebagai bentuk memperkuat relasi sosial dan memaafkan kesalahan dan kekhilafan orang lain; adanya pengampunan sebagai bentuk memaafkan kesalahan orang lain dan mempererat relasi sosial-silaturahmi.

Dalam konteks berbangsa dan bernegara, para founding fathers telah merumuskan Falsafah Pancasila dimana memiliki relevansi yang kuat terhadap nilai-nilai ajaran agama-agama, termasuk ajaran Islam. Oleh karena itu, nilai-nilai puasa Ramadan dan Idul Fitri yang mutualsimboisis terhadap proses pembentukan karakter bangsa dapat dilihat dalam kandungan pada Sila ke-1 hingga ke-5 Pancasila yang saling interkoneksi. Sila ke-1 (Ketuhanan yang Maha Esa), Sila ke-2 (Kemanusiaan yang Adil dan Beradab), Sila-ke-3 (Persatuan Indonesia), Sila ke-4 (Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan), dan Sila ke-5 (Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia). Implikasinya bahwa semakin tekun dan rajin umat beragama, termasuk umat Islam, menjalankan ajaran agama masing-masing diharapkan akan berdampak positif terhadap proses pembentukan karakter bangsa yang diharapkan menuju suatu kemajuan bangsa. Sebaliknya, semakin tidak tekun dan kurang optimal umat beragama menjalankan ajaran agamanya, diperkirakan semakin sulit suatu bangsa menuju kemajuan dan kompetitif dengan bangsa maju lainnya ke depan.

Secara normatif, bagi seorang muslim, dimensi moralitas sosial nilai-nilai puasa dan Idul Fitri dalam membentuk karakter bangsa (al-shakhsiyyah al-qawmiyyah) diharapkan perlu memperhatikan dimensi ibadah mahdhoh dan juga dimensi ibadah amal sosial (al-‘amal al-ijtimai). Ajaran agama tidak hanya memprioritaskan ibadah mahdhoh--telah ditentukan oleh syariat Islam yang mesti dilakukan dengan tepat dan benar, seperti shalat, puasa, zakat, dan haji). Seorang muslim perlu memperhatikan konsep hablumminallah (hubungan spiritual antara manusia dengan Allah SWT, yang meliputi ibadah, doa, dan ketakwaan), hablumminannas (hubungan sosial antara manusia, yang meliputi hubungan keluarga, masyarakat, dan negara), dan hablumminal’alam (hubungan antara manusia dengan lingkungan sekitar, termasuk dengan hewan, tumbuhan, dan bumi).

Pentingnya mengetahui dan memahami ketiga konsep (hablumminallah, hablumminannas, dan hablumminal’alam) bagi seorang muslim dengan beberapa alasan. Antara lain: pertama, di dunia yang fana ini, sebagai kesempatan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia dengan meningkatkan kualitas hubungan spiritual, sosial, dan lingkungan. Kedua, dapat meningkatkan kesadaran manusia tentang pentingnya tentang hubungan dengan Sang Khalik, Allah SWT, sesama manusia dan alam semesta. Ketiga, dapat meningkatkan ketakawaan manusia dengan meningkatkan hubungan spiritual dengan Allah SWT.

Sejak memasuki era kemerdekaan (1945), disatu sisi, secara gradual, sudah banyak prestasi dan capaian bangsa Indonesia di level regional, nasional dan global.  Tetapi, sebaliknya harus diakui pula, pada dekade terakhir, pada era pascareformasi (sejak 1998—sekarang) tampak pula adanya pemandangan kehidupan berbangsa yang kurang berpengharapan bagi generasi muda kedepan dalam berbangsa. Antara lain, misalnya persoalan: kemiskinan, pengangguran, kesenjangan sosial, kriminalitas, pendidikan, sumber daya manusia,  kekerasan, perjudian, konflik di media sosial, isu SARA, pelecehan seksual, perubahan iklim dan lingkungan (seperti pemanasan global, banjir, dan kekeringan dapat mengakibatkan kerugian ekonomi, konflik atas sumber daya alam, pungli, korupsi dan eksploitasi sumber daya alam (timah, nikel, batu bara, dan lain-lain), kerusakan ekosistem, pagar laut, dan lainnya. Secara normatif, nilai-nilai puasa Ramadan dan Idul Fitri, memiliki dimensi kesalehan individu (pribadi) dan dimensi kesalehan sosial (keluarga, tetangga, masyarakat, pemerintah, negara, dan global) yang diharapkan dapat memberi kontribusi terhadap perbaikan kehidupan umat manusia yang lebih baik ke depan.

Untuk memperbaiki kualitas hidup umat atau masyarakat (rakyat), peran dan kapasitas seorang pemimpin yang amamah sangat menentukan.  Dalam Islam, setiap orang memiliki peran sebagai pemimpin dalam lingkungan dan kapasitasnya yang berbeda. Setiap orang menjadi pemimpin bagi diri sendiri dan bertanggung jawab untuk mengatur dan mengembangkan diri sendiri. Ayah dan ibu merupakan pemimpin keluarga yang bertanggung jawab untuk mendidik dan mengasuh anak-anak, dari kandungan, buaian hingga dewasa, dan mandiri. Seorang pemimpin negara (DPR, MPR, presiden, gubernur, bupati, walikota, camat, lurah, ketua RT, dan RW) juga sebagai pemimpin yang bertugas mengatur negara atau pemerintahan dalam peran dan kapasitas masing-masing.  Dalam pandangan Islam, suatu hal pasti bahwa setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawaban atas tindakan dan keputusan yang diambil selama memimpin. Seperti tertuang dalam sebuah Hadist Riwayat Bukhari: “Setiap kalian adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Imam adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas rakyatnya. Laki-laki adalah pemimpin dalam keluarganya dan akan diminta pertanggungjawaban atas keluarganya. Wanita adalah pemimpin dalam rumah suaminya dan akan diminta pertanggungjawaban atas rumah suaminya. Budak adalah pemimpin atas harta tuannya akan diminta pertanggungjawaban atas harta tuannya. Setiap kalian adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya”.

Idul Fitri memiliki nilai-nilai edukasi yang komprehensif yang universal dan senantiasa up to date dan komprehensif merupakan suatu inspirasi, pelajaran, dan guidance bagi penganutnya. Hal inilah ajaran agama berperanan penting dalam mendorong umat manusia dalam proses membangun moralitas dan mendorong toleransi dalam upaya proses membentuk karakter bangsa, Pendidikan agama bagi anak-anak juga dapat membentuk pondasi moral yang kokoh bagi individu dan masyarakat. Agama menjadi ruh suci yang menginspirasi dan masuk dalam sukma bangsa. Agama juga mendorong umatnya untuk bersikap toleransi dalam masyarakat pluralistik-multikultural, saling menghargai dan menghormati antarsesama. Oleh karena itu, menjelang Deklarasi Kemerdekaan RI (17-8-1945) sangat tepat dan bernilai bahwa founding fathers telah merumuskan falsafah Pancasila di mana keberadaan agama dan negara tidak terpisahkan dan saling membutuhkan satu sama lain. Mutualsimbiosis, sebagai inspirasi, motivasi, dan guidance dalam proses menuju kemajuan bangsa. Dengan memperingati Idul Fitri 1446H/2025 diharapkan dapat memperkuat moralitas sosial umat dan proses pembentukan karakter bangsa. Wallahu’alam bil al-shawwab. (*)

Sumber: Sriwijaya Post
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved