Mimbar Jumat
Ujian, Sabar, dan Apresiasi Allah SWT
Secara umum, jenis ujian manusia telah disebutkan dalam QS. Al-Baqarah : 155, yaitu berupa rasa takut, lapar, dan kekurangan.
SEJAK manusia kecil telah menghadapi ujian, seperti tahapan-tahapan bayi dalam bertumbuh kembang. Bayi-bayi akan diuji untuk bisa melakukan gerakan, seperti membalikkan badan, tengkurap, membungkuk, duduk, berjalan, serta berbicara. Biasanya banyak bayi lulus dalam tahapan ini, tetapi bagi yang tidak lulus, mereka akan masuk dalam kelas terapi sehingga kemudian berhasil lulus juga. Para orang tua biasanya akan merasa Bahagia bila anak-anaknya berhasil melewati tahapan/ujian dasar kehidupan ini.
Memasuki usia dewasa, manusia benar-benar merasakan getaran ujian hidup yang sebenarnya. Ia dihadapkan pada beberapa kondisi yang tidak sesuai dengan ekspektasinya. Ada orang diuji dengan ketiadaan kerja, sementara yang lain diuji dengan kesibukan kerja yang luar biasa sehingga terbengkalailah urusan keluarga. Ada orang yang diuji dengan repotnya mengurus banyak anak, sementara yang lain diuji dengan rindunya akan kehadiran anak. Ada pula orang yang diuji dengan kemiskinan, sementara yang lain diuji dengan kelebihan harta. Namun, ujian yang paling berat menurut saya pribadi adalah tidak datangnya hidayah iman bagi seorang muslim atau non-muslim. Ujian-ujian ini mendatangkan rasa takut, lapar, dan kekurangan (QS. Al-Baqarah: 155).
Kadang-kadang ada pula orang yang berpikir betapa bermanfaatnya hidup orang lain, seolah-olah dia hidup tanpa ujian. Pada akhirnya ia menyamakan nasibnya dan berpikir Tuhan tidaklah adil terhadap dirinya sendiri. Tentu saja tidak, setiap manusia memiliki ujian dengan jenis dan level yang berbeda. Secara umum, jenis ujian manusia telah disebutkan dalam QS. Al-Baqarah : 155, yaitu berupa rasa takut, lapar, dan kekurangan. Di sisi lain, QS. Al-Fajr: 15-16 juga menambahkan tentang ujian dalam bentuk kelapangan dan kesempitan rezeki. Ujian seperti ini, paling banyak dijumpai dalam kehidupan manusia. Dari ujian ini terciptalah istilah-istilah umum, seperti buntu, stres, putus asa, susah, sempit dan juga sibuk, lupa diri, rakus, kufur nikmat, dll.
Dalam bidang keimanan, QS. Al-Ankabut: 2-3 menyebutkan tentang relevansi antara usaha, ujian, dan hasil akhir. “Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan mengatakan: 'Kami telah beriman', padahal mereka tidak diuji?” Menurut ayat ini, usaha yang serius dalam menghadapi ujian keimanan akan menentukan apakah ia mendapatkan atau tidak penghargaan kepada Allah berupa Rahmat dan surganya di kehidupan akhir kelak. Ayat ini juga relevan dengan usaha keras manusia dalam mencapai kehidupan duniawi. Dalam pameo umum terdapat man jadda wajada (yang bersungguh-sungguhlah yang akan berhasil).
Di antara ujian-ujian yang eksplisit itu, terdapat ujian implisit yang selalu hadir dalam fikiran manusia, yaitu 'syahwat' atau napsu (dalam KBBI), sebagaimana ditulis dalam QS. Ali Imran: 14, ““Dijadikan indah pada (pandangan) kecintaan manusia kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.”
Napsu merupakan kata serapan dalam Bahasa Indonesia yang berarti keinginan (kecenderungan, dorongan) hati yang kuat dan bisa disandingkan dengan kata syahwat dalam Bahasa Arab. Secara bahasa, syahwat artinya menyukai dan menyenangkan. Sedangkan secara istilah, syahwat adalah kecenderungan jiwa terhadap apa yang dikehendakinya. Dalam al-Quran, kata syahwat terkadang dimaksudkan untuk obyek yang diinginkan. Di ayat lain syahwat dimaksudkan untuk menyebutkan potensi keinginan manusia, sebagaimana yang disebutkan dalam QS. Ali Imran ayat 14. Untuk konotasi yang buruk, syahwat dalam KBBI ditambahkan dengan kata 'hawa napsu'.
Perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh syahwat apa yang sedang dominan dalam dirinya; syahwat seksual, syahwat politik, syahwat pemilikan, syahwat kenyamanan, syahwat harga diri, syahwat kelezatan dan lain-lainnya. Syahwat itu wataknya seperti anak-anak, jika dilepas maka ia akan melakukan apa saja tanpa kendali. Syahwat yang dimanjakan akan mendorong orang pada pola hidup hedonis.
Kehadiran hawa nafsu/syahwat tidak dapat ditiru oleh manusia. Begitu yang terlintas dalam fikiran manusia, napsu itu bisa langsung diwujudkan. Dari hal terkecil, napsu bisa membuat orang tidak melaksanakan shalat dengan berbagai kenyamanan. Napsu tak henti-hentinya juga melahirkan berita-berita negatif di media sosial, seperti memikirkan seksual, korupsi, pembunuhan, kolonialisme, genosida, hingga perang.
Tak pelak, napsu ini juga harus disikapi dan termasuk dalam kategori ujian keimanan. Di dalam al-Qur'an kata ujian muncul lebih dari 30 kali, baik dalam bentuk kata benda mapun kata kerja. Kata ujian terderivasi dalam kata balā' (cobaan, ujian berat, Penderitaan) seperti dalam QS. Al-Baqarah : 49, QS. Al-Anfal : 17, 124 dan QS. Al-Insan: 2. Kata ini sering digunakan untuk menggambarkan ujian besar yang menguji kesabaran dan keimanan, seperti ujian Nabi Ibrahim atau Bani Israil. Yang kedua, adalah fitnah yang berarti ujian yang menggoda atau memuaskan, bisa berupa cobaan iman atau godaan dunia. Kata ini terdapat dalam QS. Al-Anfal : 28, QS. Al-Ankabut: 3, 10. Kata ini memiliki konotasi ujian yang bisa menyebabkan seseorang curang, seperti godaan harta, kekuasaan, atau tekanan sosial. Di sisi lain, terdapat juga kata imtihān dengan makna pengujian atau evaluasi, seperti QS. Al-Mumtahanah: 10. Kata ini lebih jarang digunakan, namun memiliki makna yang lebih formal dan eksplisit sebagai proses pengujian.
Dalam konteks menyikapi ujian ini, kita telah diberi Arahan oleh al-Qur'an sebagaimana surat Al-Mulk: 2, “Dia yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang amal terbaiknya.” Ayat serupa juga muncul dalam QS al-Kahfi ayat 7 “Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasannya, agar Kami menguji siapakah mereka di antara mereka yang terbaik amalnya.”
Dua ayat di atas menunjukkan bahwa sikap terbaik dalam menghadapi ujian adalah menunjukkan kualtas amal terbaik, baik sesudah ujian datang maupun sebelumnya. Misal, setelah diuji dengan kehilangan benda, maka amal terbaik adalah meningkatkan sikap kehati-hatian dan berusaha melepaskan diri dari kemelekatan dengan benda. Artinya, tumbuhlah sikap sabar dalam jiwa terhadap ketentuan Allah. Bukankah kita selalu berkata bahwa kita adalah milik Allah dan kepadanya kita akan kembali? (QS al-Baqarah: 156).
Kata sabar merupakan kata yang layak disandingkan kata ujian karena biasanya juga berkelindan. Menurut beberapa kajian tafsir dan leksikografi Al-Qur'an, kata sabar dan seluruh bentuk turunannya muncul sebanyak sekitar 103 kali dalam Al-Qur'an, tersebar dalam 45 surah dan mencakup 90 ayat.
Dalam konteks ujian ini, orang yang sabar dalam menghadapinya akan mendapat apresiasi dari Allah SWT. Pertama, ia akan dicintai oleh Allah SWT sebagaimana QS Ali Imran: 146, “Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar.” Allah juga akan selalu membersamai orang-orang yang sabar, seperti tertulis dalam QS. Al-Baqarah: 153 “Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.”_ ayat ini menunjukkan bahwa sabar bukan hanya bertahan, namun juga mengundang kehadiran dan bantuan langsung dari Allah.
Apresiasi kedua adalah ia mendapatkan 'pahala' tanpa batas, sebagaimana diberitakan dalam QS. Az-Zumar: 10, “Sejujurnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” Apresiasi keempat adalah bahwa orang yang sabar akan mendapatkan kabar gembira dan rahmat, seperti dalam QS. Al-Baqarah: 155–157 “Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar... Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka.”
Dengan kesabaran itu, akan tumbuh rasa optimisme terhadap ujian tuhan, seperti ujian yang dia hadapi tidak akan melebihi tingkat kemampuan untuk bertahan, seperti janji dalam QS. Al-Baqarah: 286, “Allah tidak mendudukkan seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” Di sisi lain, optimisme akan munculnya kemudahan yang datang setelah kesusahan (ujian) juga bagian dari buah sabar, seperti dalam QS Al-Insyirah: 5–6, “sebenarnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.”
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.