Mimbar Jumat

Spritualitas Semu: Fenomena Beragama di Era Modern

Spiritualitas autentik adalah perjalanan panjang yang terus-menerus, tidak spektakuler, tapi mengakar dan menumbuhkan.

Editor: tarso romli
SRIPOKU.COM/Istimewa
Abdurrahmansyah (Guru Besar pada Pascasarjana UIN Raden Fatah Palembang) 

SEKITAR era 1990-an isu mengenai spiritualitas baru (new spirituality) sudah dikemukakan beberapa peneliti fenomena beragama di Indonesia. Gejala yang ditunjukkan dari gaya baru beragama ini adalah lebih menonjolkan sisi formalitas beragama, tanpa memperdulikan aspek moral dan kesadaran spiritualitas dari praktik beragama. Fenomena ini terutama marak terlihat di kalangan para publik figure, para artis, pejabat, dan kalangan “the have” lainnya. Fenomena itu semakin menemukan bentuknya yang paling ekstrem seiring dengan berkembangnya media sosial yang mendukung teraksposenya gejala spiritualitas baru ini.

Steven J. & I. Gilhus pada tahun 2013 menulis sebuah hasil risetnya mengenai fenomena baru manusia modern dalam melihat posisi agama dan Tuhan dalam kehidupan pada sebuah buku menarik berjudul New Age Spirituality: Rethinking Religion. Gejala New Age Spirituality atau spiritualitas era baru merupakan gejala kecenderungan manusia modern di tengah kemajuan modernitas dan persaingan global semakin menjauhkan manusia dari konsep ke-Tuhanan yang genuine. Konsep agama dan Tuhan dalam new age spirituality tidak lagi difokuskan pada sisi-sisi esoteric (bathini, inner-religion, dan hakikat), tetapi agama dan Tuhan sekedar dipahami sebagai simbolisme tanpa makna (meaningless). Tulisan singkat ini mencoba menjelaskan fenomena agama simbolik ini dalam konteks kecenderungan beragama umat Islam di era modern.

Fenomena New Age Spirituality sebagai Spiritualitas Semu
New Age Spirituality atau spiritualitas era baru adalah istilah yang merujuk pada serangkaian praktik, keyakinan, dan pengalaman spiritual yang berkembang di dunia Barat sejak pertengahan abad ke-20, terutama sejak 1970-an. Ciri utamanya meliputi sinkretisme ekstrem yakni menggabungkan unsur dari berbagai agama (Hindu, Buddha, Kristen, mistik sufi, astrologi, reiki, tarot, dan seterusnya). Anti-dogmatis yaitu menolak institusi keagamaan formal dan doktrin. Spiritualitas pribadi yang menganggap aspek spiritualitas sebagai urusan pribadi tanpa komitmen sosial atau moral kolektif.

Spiritualitas era baru tidak memiliki struktur epistemologi yang kokoh. Ia meramu aneka keyakinan dari budaya berbeda secara serampangan, tanpa landasan rasional maupun kerangka etika yang konsisten. Hal ini membuatnya rapuh dan lebih bersifat pengalaman sesaat daripada jalan hidup yang transformasional. Spiritualitas otentik dalam banyak tradisi agama menekankan transformasi diri melalui nilai, etika, dan keterikatan sosial. Sebaliknya, New Age menekankan otonomi spiritual pribadi, menjadikan spiritualitas sebagai ekspresi ego, bukan jalan penghambaan atau penyatuan dengan Yang Ilahi atau Tuhan.

New Age spirituality berkembang seiring dengan budaya konsumtif dan industri gaya hidup. Banyak produk spiritual seperti buku agama, workshop keagamaan, musik religi, meditasi, aplikasi digital konten agama dijual bukan sebagai sarana penyucian jiwa, tetapi sebagai pelarian dari kecemasan hidup modern. Manusia modern dengan penerimaan atas teknologi dan gaya hidup global semakin membentuk individualisme. Perubahan besar ini memengaruhi hampir seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk cara manusia memahami dan menjalankan spiritualitas.  

Spiritualitas semu lebih sebuah bentuk semangat keberagamaan yang tampak religius atau transendental di permukaan, namun sebenarnya kosong secara substansi dan makna.

Spiritualitas semu cenderung menghindari perintah moral yang mengikat. Dalam New Age Spirituality, konsep seperti dosa, pahala atau balasan amal perbuatan, dipahami secara populer dan longgar, tanpa keterkaitan dengan tanggung jawab etis yang mendalam. Akibatnya, spiritualitas menjadi “jalan enak” yang tidak menuntut perjuangan batin atau disiplin moral. Spiritualitas semu adalah bentuk pencarian spiritual yang cenderung dangkal, bersifat konsumtif, dan hanya mengejar sensasi emosional atau simbolis tanpa keterlibatan nilai, komitmen, dan transformasi diri yang sejati.
Terdapat ciri-ciri spiritualitas semu pada seseorang yakni cenderung bersifat instan dan tidak reflektif, menekankan ritual, simbol, atau gaya hidup spiritual tanpa pemahaman esensial, bersifat egosentris dan utilitarian — spiritualitas untuk kenyamanan diri, bukan ketundukan pada nilai ilahiyah, dan mudah dikomodifikasi sehingga menjadi bagian dari industri gaya hidup, pariwisata, atau media sosial.

Munculnya gejala spiritualitas semu disebabkan kekosongan eksistensial dalam masyarakat modern. Bahwa krisis makna adalah penyakit utama manusia modern. Institusi agama tradisional dianggap tidak mampu menjawab pertanyaan eksistensial kemanusiaan.  Gaya hidup konsumtivisme mendorong timbulnya spiritualitas semu yang lebih mementingkan citra daripada kedalaman makna. Selain itu, budaya digital memperkuat kecenderungan “memamerkan” spiritualitas. Unggahan ibadah, ziarah, atau kutipan-kutipan inspiratif sering lebih berfungsi sebagai citra identitas dibanding proses batin yang mendalam. Hal ini justru menciptakan spiritualitas yang narsistik, bukan transformasional.
Ketika agama sebagai kekuatan yang mengikat masyarakat dan spiritualitas dipisahkan dari komunitas dan tanggung jawab sosial, maka ia kehilangan fungsi kohesif dan hanya menjadi kesenangan pribadi. Sipritualitas semu akan berdampak negatif bagi seseorang karena akan menimbulkan kehampaan makna.

Alih-alih menemukan ketenangan dan pemaknaan hidup, spiritualitas semu justru bisa memperparah kekosongan batin karena tidak membawa perubahan substantif. Semakin menyuburkan dekadensi moral karena spiritualitas yang tidak berakar pada etika dan nilai-nilai luhur berpotensi menciptakan perilaku yang kontradiktif yakni terlihat tampak religius tapi permisif terhadap ketidakadilan atau penyimpangan moral.

Sebagai anti tesis dari spiritualitas semu adalah spiritualitas autentik. Menuju spiritualitas autentik berarti melakukan perjalanan batin yang jujur, mendalam, dan berkesinambungan menuju kebenaran, makna hidup, dan relasi sejati dengan Yang Transenden (Tuhan). Spiritualitas autentik mengubah diri secara holistik mencakup dimensi akal, hati, moral, dan sosial sekaligus secara utuh.
 
Langkah-langkah menuju spiritualitas autentik dapat ditempuh melalui refleksi diri dan kesadaran eksistensial. Spiritualitas sejati dimulai dari kesadaran diri yang jujur: siapa saya, untuk apa saya hidup, dan ke mana arah hidup saya. Ini bukan sekadar mencari ketenangan, tetapi merenungi makna dan tujuan keberadaan. Secara praktis kesadaran ini dibentuk dengan menyediakan waktu untuk kontemplasi, tafakur, atau muhasabah. Menyadari keterbatasan diri, penderitaan, dan kebutuhan akan sesuatu yang lebih tinggi dari diri sendiri. Selain itu, perlu mengikat diri pada nilai dan prinsip moral, sehingga spiritualitas bukan hanya pengalaman batin, tetapi komitmen pada kebaikan dan keadilan. Dalam Islam, kondisi ini disebut ihsan yakni kesadaran beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat Tuhan, yang membuahkan akhlak mulia. Kesadaran ini diperoleh melalui pembiasaan hidup dengan kejujuran, amanah, empati, dan tanggung jawab.

Spiritualitas autentik atau keberagamaan sejati tidak anti-intelektual. Ia menghargai ilmu dan mengaitkannya dengan keimanan. Iman tanpa ilmu bisa fanatik, ilmu tanpa iman bisa kering. Dalam tradisi Islam, ini disebut ‘ilm, iman, dan amal yang saling melengkapi. Menurut Imam al-Ghazali, puncak spiritualitas adalah penyatuan antara ilmu, amal, dan penyucian jiwa (tazkiyah al-nafs). Posisi kesadaran ini bisa didapatkan melalui proses belajar dari teks suci, membaca kitab-kitab karya ulama, dan pengalaman hidup secara kritis. Spiritualitas yang otentik tumbuh dari relasi personal yang mendalam dengan Tuhan. Ibadah bukan sekadar ritual lahiriah semata, tetapi sudah menyentuh hati dan mendorong transformasi karakter.
 
Dalam adagium tasawuf,  orang yang mengenal Tuhannya, ia akan mengenal dirinya dan orang yang mengenal dirinya, ia akan tunduk kepada Tuhannya. Posisi ini bisa dicapai dengan melakukan ibadah seperti sholat, doa, zikir, dan wirid dengan kehadiran hati secara khusyuk. Penting juga membangun keintiman spiritual melalui kesendirian yang penuh makna dalam bentuk berkhalwat sebagai retreat spiritual. Keberagamaan murni juga dapat diraih melalui keterlibatan sosial dengan cara aktif dalam kerja-kerja kemanusiaan, lingkungan, dan aksi sosial lainnya, serta secara terus menerus menjaga konsistensi (istiqamah) dan keikhlasan.

Spiritualitas autentik adalah perjalanan panjang yang terus-menerus, tidak spektakuler, tapi mengakar dan menumbuhkan. Ia membuat manusia lebih rendah hati, lebih bijaksana, dan lebih penuh kasih. Dalam dunia yang sering menukar kedalaman dengan tampilan, spiritualitas sejati menjadi cahaya yang menuntun jiwa ke arah Tuhan, kebaikan, dan kesejatian. Semoga!!! (*)

Sumber: Sriwijaya Post
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved