Mimbar Jumat

Pascahaji: Menjaga Kesucian Jiwa di Tengah Dunia

Menunaikan ibadah haji adalah puncak dari perjalanan religius yang penuh dengan pengorbanan, ketabahan, dan ketundukan kepada Allah Swt.

Editor: tarso romli
handout
Dr.Hj.Choirun Niswah, M.Ag 

IBADAH haji merupakan salah satu rukun Islam yang memiliki nilai spiritual yang sangat tinggi. Bagi seorang muslim, menunaikan ibadah haji adalah puncak dari perjalanan religius yang penuh dengan pengorbanan, ketabahan, dan ketundukan kepada Allah Swt.  

Namun, tantangan sebenarnya justru muncul setelah pulang dari Tanah Suci. Setelah kembali ke tanah air, banyak jamaah haji yang merasakan euforia spiritual.

Namun seiring waktu godaan dunia kembali menghampiri. Kesibukan kerja, hiruk pikuk kehidupan seringkali mengaburkan Kesan-kesan suci yang didapat selama haji.

Ibadah haji bukan sekadar perjalanan fisik menuju Makkah dan Madinah. Ia adalah ekspedisi batin, pengembaraan spiritual yang menuntut kerendahan hati, pengorbanan, dan keikhlasan.

Dari wukuf di Arafah yang sarat makna, melempar jumrah yang penuh simbol perlawanan terhadap hawa nafsu, hingga thawaf yang mengingatkan manusia akan pusat hidup yang sejati, semuanya merupakan pelatihan untuk menjadi manusia paripurna.

Maka ketika rangkaian haji telah usai dan gelar “Haji” atau “Hajjah” disematkan, pertanyaan penting pun muncul: apa yang akan dibawa pulang dari Makkah selain air zamzam dan kurma? Jawaban idealnya tentu adalah kesucian jiwa dan komitmen moral untuk berubah menjadi insan yang lebih baik.  

Rasulullah SAW bersabda, "Haji yang mabrur balasannya adalah surga." Namun ulama menegaskan bahwa mabrur tidak hanya diukur dari kekhusyukan saat berhaji, tetapi juga dari perubahan sikap setelahnya.

Orang yang hajinya mabrur akan terlihat dalam tutur katanya yang lembut, perilaku sosial yang jujur, dan ibadah yang semakin konsisten.

Dalam realitas kehidupan, tidak mudah menjaga kemurnian hati yang sudah dilatih selama berhaji. Dunia setelah haji tetaplah dunia yang penuh tantangan. Kita kembali menghadapi godaan harta, jabatan, ego, dan nafsu.

Di sinilah ujian sejati dimulai. Apakah kesabaran yang ditempa selama di Mina dan Arafah akan bertahan ketika menghadapi kemacetan di jalan raya atau intrik politik di kantor?

Kemabruran itu seperti bunga yang harus terus dipupuk dan disiram. Ia butuh perhatian, pemeliharaan, dan perlawanan terus-menerus terhadap godaan duniawi.

Jika tidak, maka perlahan-lahan, kilau spiritual pasca-haji akan memudar dan kita kembali menjadi manusia “yang lama”, mudah emosi, penuh keluh kesah dan pelit.

Ada beberapa langkah konkret yang bisa dilakukan oleh para haji agar kesucian jiwa tetap terjaga dalam realitas dunia yang penuh ujian ini:

Pertama, menjaga keikhlasan dan ibadah rutin dengan menjaga salat berjamaah, membaca Al-Qur’an setiap hari, dan memperbanyak zikir bisa menjadi ‘charger’ spiritual harian.

Rutinitas ibadah ini mengingatkan kita bahwa meski telah meninggalkan Ka’bah secara fisik, hati kita tetap bertawaf kepada-Nya.

Halaman
12
Sumber: Sriwijaya Post
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved