Opini

Opini: Wujudkan Politik Beradab dalam Pilkada 2024 melalui Tinjauan Filosofis

Politik tidak lagi dipahami sebagai ruang untuk merumuskan dan menjalankan kebijakan yang membawa manfaat

Editor: pairat
instagram
Ilustrasi - Mewujudkan Politik Beradab dalam Pilkada 2024 dalam Tinjauan Filosofis 

Aristoteles, dalam karya besarnya “Politika”, menekankan bahwa politik seharusnya bertujuan untuk mencapai “eudaimonia”, yaitu kebahagiaan atau kesejahteraan tertinggi bagi seluruh masyarakat.

Akan tetapi saat ini identitas politik seperti tersebut di atas betul-betul sudah kehilangan arah, dikarenakan kepentingan elit-elit di atas, yang dikemas secara sistematis, terstruktur, terorganisir dan massif.

Tindakan tersebut sesungguhnya dalam perspektif Hannah Arendt disebut sebagai “banalitas kejahatan” Arendt menggambarkan bagaimana kejahatan dalam konteks tertentu, tidak selalu dilakukan oleh orang yang secara sadar berniat jahat, melainkan terjadi karena adanya proses normalisasi atas tindakan-tindakan amoral dalam masyarakat.

Dalam politik Pilkada, misalnya, praktik politik uang dan eksploitasi isu identitas seringkali tidak lagi dianggap sebagai kejahatan serius, tetapi sebagai bagian dari “strategi” yang umum dilakukan untuk memenangkan pertarungan politik.

Fenomena ini memperlihatkan betapa dalamnya moralitas telah tersingkir dari arena politik, sehingga apa yang seharusnya menjadi pelanggaran besar justru diterima sebagai praktik yang wajar.

Fenomena semacam itu hamper terjadi pada saat berlangsungnya sebuah pilkada, dan hal ini mengindikasikan bukan sekadar masalah teknis tentang pelanggaran aturan dalam pemilihan, melainkan sebuah krisis moral yang jauh lebih mendalam.

Ini adalah sebuah cerminan dari betapa jauhnya politik telah terlepas dari akar moralitas yang seharusnya menjadi panduan utama dalam setiap tindakan politik.

Untuk mengatasi masalah ini, dibutuhkan pendekatan yang tidak hanya bersifat teknis-regulatif, tetapi juga filosofis dan kultural, di mana masyarakat secara kolektif perlu mengembalikan politik kepada tujuannya yang luhur untuk mencapai kebaikan bersama.

Dalam konteks ini, peran institusi seperti KPU dan Bawaslu menjadi sangat krusial. Keduanya memiliki mandat untuk memastikan bahwa setiap proses Pilkada berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi yang bersih dan adil.

Namun, agar bisa menjalankan mandat ini secara efektif, kedua institusi ini harus dibekali dengan sumber daya yang memadai serta independensi yang kuat dari tekanan-tekanan politik.

Tanpa itu, regulasi yang sudah dirancang dengan baik akan terus menjadi teks yang tidak memiliki kekuatan di lapangan.

Untuk mewujudkan politik beradab dalam Pilkada, refleksi filosofis yang mendalam sangat diperlukan.

Politik yang idealnya menjadi alat untuk mencapai kebaikan bersama sering kali terdistorsi oleh kepentingan pribadi dan kelompok, menjadikan nilai-nilai moral seperti keadilan, kejujuran, dan integritas semakin terkikis.

Seperti yang diungkapkan oleh John Rawls dalam konsep “Justice as Fairness” politik harus mampu menciptakan distribusi kekuasaan yang adil, terutama bagi kelompok-kelompok yang lemah dan rentan.

Sayangnya, praktik politik uang dan berbagai bentuk kecurangan lainnya justru memperparah ketidakadilan, memperkokoh ketimpangan, dan merusak fondasi demokrasi yang seharusnya berpihak kepada semua warga negara.

Halaman
123
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved