Opini

Opini: Post TV dan Tenggelamnya TV Publik

Perilaku generasi Z tak begitu tertarik menonton tv, tak terkecuali stasiun TV yang didanai negara yaitu TVRI.

Editor: adi kurniawan
Handout
Sukirman, pernah belajar jurnalistik televisi dan Penyiaran di Jerman, Korea, Bangkok, Perancis dan Reuters TV News Production 

Genre yang lain sama saja. Hiburan misalnya, TVRI nasional akan sulit mengalahkan apa yang dihadirkan tv swasta. TV Swasta lebih “mewah”, lebih meriah, lebih “ke-kini-an”, artis “papan-atas” dan segala bentuk keunggulan lainnya, yang masih ada peluang dan masih memungkinkan adalah Sport, tetapi ini pun seakan sudah “di-kavling” oleh tv swasta.

Sport  memiliki nilai komersil yang tinggi untuk industri pertelevisian.  Sport juga dijadikan ajang rebutan. Ironis jika dalam sebuah event olah raga berskala dunia maupun nasional, TVRI misalnya hanya mendapat jatah menyiarkan pertandingan yang justru kurang mendapat tempat di mata pemirsa.

Dari sisi “persaingan” masalah ini tetap menarik, meskipun dari sisi kepublikan tvri tetap tunduk pada “hukum” tv publik. Ini hanya untuk menegaskan bahwa betapa ketat persaingan ketika siaran televisi dilihat dari sisi kapitalisasi dan industri.

Pertandingan sepak bola misalnya akan melahirkan persaingan turunan yaitu siapa yang mampu menayangkan liga favorit, kemudian turun lagi ke-persaingan siapa yang mampu menayangkan kesebelasan favorit.

Sederhananya, boleh jadi tvri mampu menghadirkan siaran sepak bola, tetapi pertandingan yang disiarkan adalah pertandingan yang kurang diminati. Sekali lagi ini harus dibaca dari sisi bagaimana ketatnya persaingan  dalam industri penyiaran.

Belajar dari Korea

Untuk tetap bertahan, tv konvensional harus memiliki “kelebihan” masing-masing. Ada stasiun yang lebih unggul dari sisi news dan Current Affairs, dan  ada juga stasiun tv yang berusaha leading di dunia hiburan.

Di sisi  lain ada juga yang berusaha memposisikan diri sebagai tv sport. Ditengah “peng-kavling-an” ini TVRI  sebagai tv publik seakan galau menemukan identitas.

Seyogyanya ada ke-khas-an tv publik  secara umum yaitu memaksimalkan pelibatan masyarakat yang dikenal dengan sebutan “people value” dan mengedepankan apa yang dimaksud dengan “voice for the voiceless”.

Sangatlah tidak elok jika  tv swasta lebih “publik” dari pada tv publik. Kedua kelebihan ini tentu harus diterjemahkan dalam bentuk program dalam beragam topik  yang berkaitan dengan persoalan sosial, politik, hukum, kesenian dan budaya   termasuk kearifan lokal dari Aceh hingga Papua.

Production Director SBS, IlJoong Kim mengemukakan filosofinya dalam memproduksi musik, “never underestimate the power of stupid people in large groups”.

Sementara ”mbah”-nya drama Korea, Chief Producer Studio Dragon, JungDo Jang mengemukakan “unlike other contents, what kind of differentiation should a drama has”. Lebih lanjut JungDo Jang mengemukakan langkah memproduksi suatu drama adalah “make the trend of differentiation that the only Korea has”.

Tak salah jika filosofi IlJoong Kim dan JungDo Jang, sangat tepat untuk dimaknai dalam menjalankan tv konvensional. Keunggulan tv konvensional ditengah gempuran media sosial adalah pelibatan massa dalam suatu acara. Sementara disisi lain suatu stasiun tv harus berbeda dengan stasiun tv lain.

Masing-masing stasiun tv harus memiliki ke-khas-an sendiri agar tetap bertahan.  Jika pendapat  JungDo Jang ditafsir kan dari sisi tv konvensional secara umum  maka “make the trend of differentiation  that the only  your tv station  has”. Atau jika untuk tvri,  “make the trend of differentiation that only tvri has”.

Halaman 3/3
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved