Opini
Opini: Post TV dan Tenggelamnya TV Publik
Perilaku generasi Z tak begitu tertarik menonton tv, tak terkecuali stasiun TV yang didanai negara yaitu TVRI.
Opini: Post Tv dan Tenggelamnya TV Publik
Oleh : Sukirman
Pernah belajar jurnalistik televisi dan Penyiaran di Jerman, Korea, Bangkok, Perancis dan Reuters TV News Production
SRIPOKU.COM -- Artikel ini ditulis ditengah memudarnya selera khalayak menonton televisi, dan ini terjadi pada semua stasiun televisi.
Tengoklah prilaku generasi muda dari generasi milenial hingga generasi Z tak begitu tertarik menonton tv. Tak terkecuali stasiun TV yang didanai negara yaitu TVRI.
Penggalan kejayaan tvri pada masa lalu akan sangat sulit terulang kembali. Saat ini target insan TVRI sederhana yaitu memulihkan ingatan pemirsa yang pernah tahu bahwa tvri pernah ada.
Target berikutnya adalah memperkenalkan tvri kepada generasi milenial hingga generasi Z. Pandangan ini bukanlah bentuk pesimistis berlebihan.
Jika kita menyalakan pesawat televisi untuk wilayah Jabodetabek maka akan terdapat lebih dari 40 kanal. Bayangkan jika anda lahir Tahun Tahun 1995 atau menjelang Tahun 2000-an. Generasi ini mungkin tak tahu bahwa pernah ada stasiun tv bernama TVRI.
Fenomena TV Publik, TVRI
Fluktuasi politik di tanah air ikut andil dalam metamorphosis TVRI. Peristiwa politik pada Tahun 1998 yang mengakhiri kekuasaan Orde Baru diikuti lengsernya Soeharto dari tampuk kepemimpinan nasional, bisa dibaca sebagai tonggak awal kebebasan media.
Bagi insan TVRI peristiwa ini bisa dimaknai sebagai awal berkurangnya wibawa TVRI. TVRI tak sendiri lagi, tak gagah lagi, dan pamornya semakin tenggelam.
Tak ada tanda-tanda TVRI akan pulih, untuk bisa dikenang atau diingat saja butuh perjuangan yang sangat berat. Pamor itu tenggelam karena lahirnya “pesaing” baru sesama tv konvensional yang kita kenal dengan tv swasta nasional.
Persaingan itu semakin seru setelah ASO (analog switch off) 2022 yang memungkin dan mempermudah berdirinya “stasiun tv” baru melalui multipleksing (mux). Dahsyatnya kompetisi itu tak seberapa dibanding “tsunami” multiplatform seperti media sosial.
Jangankan lembaga atau organisasi semua orang bisa dianggap sudah memiliki “stasiun tv” dengan “audience share” dari hitungan jari hingga jutaan. Hingga disini jika ada yang mempertanyakan eksistensi tvri yang nota bene dibiayai oleh negara itu layak atau tidak dipertahankan, tak juga terlalu berlebihan.
Pertanyaan itu biasanya diikuti dengan mempertimbangkan manfaat dibanding dana yang harus digelontorkan negara.
Penulis mengibaratkan tvri, bak sebuah kapal yang sedang karam. Kapal ini masih bisa diselamatkan dengan cara yang luar biasa dengan syarat adanya komitmen yang kuat dari kalangan internal termasuk “political will” pemerintah dan tokoh bangsa.
TVRI butuh bantuan berbagai pihak baik dari berbagai kalangan dengan target minimal memperlambat tenggelamnya kapal.
| Peluang Memacu Pertumbuhan Ekonomi Kota Palembang Melalui E-Commerce |
|
|---|
| Kunci Sukses SE2026: Keterbukaan Informasi Pelaku Usaha |
|
|---|
| Tantangan Literasi Keuangan Syariah Di Era Digital |
|
|---|
| Arah Baru Tata Kelola: Mendengar Sebelum Mengatur |
|
|---|
| Menjaga Aset Umat dari Perilaku Koruptif dengan Paradigma Baru LPPK Muhammadiyah |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.