Opini

Opini: Post TV dan Tenggelamnya TV Publik

Perilaku generasi Z tak begitu tertarik menonton tv, tak terkecuali stasiun TV yang didanai negara yaitu TVRI.

Editor: adi kurniawan
Handout
Sukirman, pernah belajar jurnalistik televisi dan Penyiaran di Jerman, Korea, Bangkok, Perancis dan Reuters TV News Production 

Upaya menyelamatkan kapal butuh kesungguhan, fokus pada inti masalah, butuh personil yang handal. Curahkan tenaga dan pikiran untuk menyelamatkan kapal tentu seperti mengurangi  kegiatan yang tidak fokus pada upaya penyelamatan.

Disrupsi Digital

TVRI, bukan saja menghadapi persaingan dengan sesama tv konvensional tetapi menghadapi apa yang disebut dengan new media.

Tak terelakkan disrupsi digital memungkinkan orang menikmati platform lain sebagai produk turunan dari digitalisasi, sebut saja misalnya YouTube diringi platform media sosial  lain.

Dari sisi  content,  media multiplatform ini lebih menarik dibandingkan media televisi konvensional. Media televisi konvensional tak mampu mengimbangi kebutuhan manusia  akan informasi. TV konvensional meskipun melakukan siaran langsung tetap kalah cepat dengan  platform media sosial. Selain sederhana, super cepat, ringkas, dan tetap informatif, “tokoh”, nara sumber atau objeknya-pun beragam.

Tak pelak, TVRI menghadapi dua “lawan” sekaligus, yaitu bersaing sesama tv konvensional dan bersaing dengan media baru yaitu media multiplatform.

Bahkan kementerian dan lembaga yang ketika itu  “berkolaborasi” dengan tvri, kini mereka memiliki “stasiun tv” sendiri berkat media multiplatform yang dimungkinkan oleh teknologi digital.

Sementara sesama tv konvensional, pemenang persaingan hanya ditentukan oleh jari telunjuk dalam memilih  tombol pada remote control.

Kajian dan analisis menurunnya minat masyarakat untuk menonton tv ini sudah banyak dipublikasikan. Michael Strangelove dalam bukunya yang berjudul Post-tv (2015) menulis  “in the late 2000s, television no longer referred to an object to be watched, it had transformed into content to streamed, downloaded, and shared”.

Dalam bahasa sederhana bisa dipersingkat bahwa Publik tak tertarik lagi  menonton TV konvensional karena semua informasi dan hiburan yang dibutuhkan  ada dalam satu genggaman gawai.

Medsos mampu menghadirkan siapa saja, mulai dari strata sosial yang paling rendah hingga strata sosial paling atas. Demikian juga objek yang disuguhkan, para content creator bisa menyajikan apa saja yang khalayak inginkan.

Para “content creator” memiliki kepuasan tersendiri jika informasi yang mereka produksi diterima pasar apalagi viral. TVRI jangan-kan mengalahkan serbuan para content creator yang memanfaatkan media multiplatform, head-to-head dengan sesama tv konvensional saja sudah “keok”. Program apapun yang disuguhkan TVRI Nasional tetap kalah dengan TV Swasta nasional.

Memilih merek dagang

Memahami situasi “kapal” TVRI  yang jika tak diselamatkan akan tenggelam, maka tak salah jika upaya penyelamatan tersebut dimulai dari membangun sebuah kesadaran baru. Insan tvri harus  menyadari bahwa untuk TVRI (nasional), apa-pun yang TVRI  tayangkan tetap kalah menarik dibanding apa yang disuguhkan TV swasta nasional.

Dari sisi News misalnya, patut kita akui pemirsa tetap cenderung  menonton TV One, Kompas TV dan Metro TV. Current affairs seperti acara dialog tetap saja pemirsa menantikan sebut saja misalnya Najwa Shihab, Andi F Noya, dan Rosiana Silalahi, Karni Ilyas, dll.

Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved