Opini

Akhir Perjalanan Lukas Enembe

Pengacara Lukas Enembe, Stefanus R Rening, mengungkapkan detik-detik Gubernur Papua Lukas Enembe ditangkap KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).

Editor: Yandi Triansyah

1 Mei, selama ini hanya dikenal sebagai Hari Buruh Internasional yang diperingati setiap tahun. Tetapi perlu diingat pula, 1 Mei sejak 1963 adalah hari bersejarah bagi Indonesia tetapi sering dilupakan.

Pada 1 Mei 1963, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyerahkan pemerintahan Irian Barat kepada Indonesia. Hari bersejarah itu menjadi tanda berakhirnya penjajahan Belanda di Tanah Air.

Meski bangsa Indonesia mengakui bahwa 1 Mei 1963 adalah hari Pembebasan Papua dari kolonial Belanda, tetapi dunia internasional mengakui secara sah bahwa Papua adalah bagian Negara Indonesia. Tepatnya setelah dilakukannya Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969.

Sebagai bagian dari perjanjian New York, Indonesia sebelum akhir 1969 wajib menyelenggarakan Penentuan Pendapat Rakyat di Irian Barat. Pada awal 1969, pemerintah Indonesia mulai menyelenggarakan Pepera.

Penyelenggaraan Pepera dilakukan 3 tahap, sebagai berikut:

– Tahap pertama dimulai 24 Maret 1969. Pada tahap ini dilakukan konsultasi dengan dewan kabupaten di Jayapura mengenai tata cara penyelenggaraan Pepera.

– Tahap kedua, diadakan pemilihan Dewan Musyawarah Pepera yang berakhir Juni 1969.

– Tahap ketiga, dilaksanakan Pepera dari Kabupaten Merauke dan berakhir pada 4 Agustus 1969 di Jayapura.

Pelaksanaan Pepera turut disaksikan utusan PBB, utusan Australia, dan utusan Belanda. Ternyata hasil Pepera menunjukkan masyarakat Irian Barat menghendaki bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hasil Pepera itu dibawa ke sidang umum PBB. Lalu pada 19 November 1969, Sidang Umum PBB menerima dan menyetujui hasil-hasil Pepera.

Persoalan Papua bukan berhenti pada 1963. Sebab Organisasi Papua Merdeka (OPM), gerakan separatis yang didirikan pada 1965, menentangnya. OPM memang bertujuan untuk mewujudkan kemerdekaan Papua bagian Barat lepas dari Pemerintah Indonesia.

Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) merupakan istilah yang pas untuk mengatakan bahwa mereka kelompok bersenjata dan berada di wilayah NKRI. Jadi setiap kelompok bersenjata di NKRI harus ditumpas habis. Setelah kemerdekaan, banyak sekali kelompok bersenjata. Seperti Pemerintahan Revolusioner RI di Sumatera Barat, Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), dan gerakan separatis lainnya.

Saya kuliah di Universitas Cenderawasih di Abepura, Jayapura, pada 1975-1980. Setelah 1979 meraih gelar Sarjana Muda Hukum di Fakultas Hukum, OPM banyak berkeliaran di kampus. Karena saya terlibat di dalam organisasi ekstra Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Jayapura, Pangdam Cenderawasih waktu itu, CI Santoso, mantan Komandan Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD) sering menanggil saya untuk berdiskusi tentang OPM. Jadi saya paham betul tentang sepak terjang OPM di Papua. Khususnya di kampus Universitas Cenderawasih.

OPM merasa bahwa mereka tidak memiliki hubungan sejarah bagian Indonesia maupun negara-negara Asia lainnya. Warna kulit dan spesifik tubuh mereka tidak sama dengan penduduk Indonesia lainnya. Fakta sejarah menunjukkan, Papua bersatu ke dalam NKRI sejak 1969 merupakan buah perjanjian antara Belanda dengan Indonesia. Pihak Belanda menyerahkan wilayah yang selama ini dikuasainya kepada bekas jajahannya yang merdeka, Indonesia. Perjanjian tersebut oleh OPM dianggap sebagai penyerahan dari tangan satu penjajah kepada yang lain.

Pada 1 Juli 1971, Nicolas Jouwe dan dua komandan OPM lainnya, Seth Jafeth Raemkorem dan Jacob Hendrik Prai menaikkan bendera Bintang Fajar dan memproklamasikan berdirinya Republik Papua Barat. Namun, pemerintahan ini berumur pendek karena ternyata segera ditumpas militer Indonesia di bawah perintah Presiden Soeharto.

Pada 1982, Dewan Revolusioner OPM didirikan. Tujuannya menggalang dukungan masyarakat internasional untuk mendukung kemerdekaan wilayah tersebut. Mereka mencari dukungan antara lain melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Gerakan Non-Blok (GNB), Forum Pasifik Selatan, dan Association of South East Asia Nation (ASEAN).

Latar belakang pemberontakan biasanya diawali dari ketidakpuasan masyarakat daerah atas kebijakan pemerintah yang dirasa kurang adil. Ketimpangan ekonomi, benar menjadi salah satu faktor. Memang tidak mudah buat Presiden Soekano mengatasi berbagai persoalan di dalam negeri maupun berbagai usaha Belanda untuk kembali menjajah. Presiden Soekarno pun tidak luput dari usaha pembunuhan.

Sebelum proklamasi, terjadi perdebatan tentang wilayah mana saja yang bisa dikategorikan sebagai Indonesia. Sejak saat ini sudah terjadi perbedaan pandangan antara Soekarno, Yamin di satu pihak dengan Hatta di pihak lain. Mengapa demikian?

Ketika saya menghadiri sebuah diskusi bersama seorang peneliti tentang Asia Tenggara, Dr. Stepene Douvert di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), ia memberikan sumber peta dari Muhammad Yamin bertahun 1959. Kemudian dapat dilihat di sini peta Indonesia 11 Juli 1945 yang dicita-citakan Soekarno dan Yamin. Keduanya memasukkan Malaysia, Timor-timur, Kalimantan hingga Papua Barat sebagai wilayah RI. Berbeda dengan Mohammad Hatta. Ia tidak memasukan wilayah Malaysia Barat, Kalimantan sebelah utara, Timor-timur dan Papua bagian Barat dalam peta Indonesia.

Jadi sejak Juli 1945, sebelum Indonesia merdeka, perbedaan pandangan antara Soekarno, Yamin dan Hatta sudah terlihat dalam menentukan pulau-pulau mana yang termasuk bagian Indonesia dan mana yang tidak. Tetapi bersyukurlah setelah Proklamasi tidak memunculkan perpecahan mereka dalam bidang politik. Yang terjadi, Soekarno-Hatta menjadi dwi tunggal yang tidak mungkin dipisahkan. Memang harus juga diakui, pada akhirnya dwi tunggal itu terpecah juga dengan pernyataan Wakil Presiden Bung Hatta yang mengundurkan diri.

Di masa pemerintahan Soeharto muncul pertanyaan, yaitu dengan melihat peta impian Indonesia menurut Soekarno dan Yamin yang memasukan Timor Timur menjadi bahagian Indonesia, lalu Soeharto kemudian memujudkan impian Soekarno dan Yamin itu?

Sumber: Sriwijaya Post
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved