KIP Dalam Implementasi Open Government Di Daerah
Partisipasi masyarakat merupakan ciri keberhasilan deesentralisasi dan demokratisasi.
Keempat berkaitan dengan sulitnya mengaplikasikan open government adalah persoalan budaya lembaga publik yang tidak terbiasa memberikan informasi kepada publik, bahkan ‘alergi’ atau ‘enggan’ menyampaikan informasi publik terkait anggaran, perencanaan maupun pelaksanaan kegiatan. Meskipun saat ini badan publik telah memiliki pusat informasi dan komunikasi publik (media center), namun budaya lama yang melekat pada badan publik, mengindikasikan bahwa praktik memberikan informasi kepada publik masih dianggap ‘pekerjaan tambahan’ bagi badan publik ditambah masyarakat yang jarang meminta informasi selama puluhan tahun turut berimbas pada buruknya manajemen komunikasi publik di banyak badan publik.
Terakhir Kelima yang juga harus mendapat perhatian adalah kurangnya kesadaran dan kepedulian (lack of awareness) dari masyarakat terhadap hak mereka untuk memperoleh dan mengakses informasi publik. Lack of awareness ini dapat diartikan sebagai sebuah kegagalan mengenali konsekuensi atas tindakan yang akan dilakukan. Meskipun demikian, hal tersebut tentu tidak serta merta merupakan akibat dari kekurangpahaman, namun lebih karena ketidakpedulian pada akibat yang ditimbulkan.
Dari uraian singkat diatas maka penulis menyimpulkan bahwa implementasi open government di daerah belum optimal utamanya karena pelaksanaan keterbukaan informasi publik masih terkendala oleh banyaknya permasalahan yang dihadapi.
Penulis menyarankan perlunya sinergisitas dari seluruh komponen masyarakat di daerah untuk merealisasikan keterbukaan informasi publik secara baik. Dalam konteks ini, political will pimpinan sangat menentukan keberhasilannya. Selain itu peran pihak ketiga sangat dibutuhkan untuk menjaga supaya KIP tetap berjalan pada rel yang benar. Pihak ketiga itu diantaranya adalah media, komunitas masyarakat, swasta, civitas akademika dan tokoh masyarakat di daerah. (*)