KIP Dalam Implementasi Open Government Di Daerah

Partisipasi masyarakat merupakan ciri keberhasilan deesentralisasi dan demokratisasi.

Editor: Bejoroy
Istimewa
Dr. Ir. H. ABDUL NADJIB, MM: Dosen FISIP Universitas Sriwijaya. 

Konsep keterbukaan pemerintah menurut OECD tidak hanya sekedar bersikap transparan, tetapi juga mencakup aspek aksesibilitas dan responsivitas di dalam relasi antara pemerintah dan warga yang dilayaninya.

Transparansi dalam arti setiap tindakan pemerintah dapat dicermati oleh publik; aksesibel dalam arti setiap tindakan pemerintah tersebut dapat diketahui oleh setiap orang, setiap saat, dan di manapun; serta responsif atau tanggap terhadap ide dan kebutuhan publik yang baru (OECD, 2015).

Dengan demikian, pemerintah terbuka di sini dimaknai sebagai penyelenggaran pemerintahan yang dilakukan secara transparan dan melibatkan warga dan pemangku kepentingan sejak pengambilan keputusan, pelaksanaan sampai dengan evaluasi.

Open Government menurut Global Integrity (Turner, 2015) mencakup tiga hal yakni transparansi informasi, keterlibatan publik dan akuntabilitas. Melalui transparansi, masyarakat memahami cara kerja pemerintah. Dengan keterlibatan publik, maka publik dapat memengaruhi cara kerja pemerintah mereka dengan terlibat dalam proses kebijakan pemerintah dan program pemberian layanan.

Akuntabilitas bermakna bahwa masyarakat dapat meminta pemerintah mempertanggungjawabkan kinerja kebijakan dan pelayanannya. Pertanggungjawaban yang diberikan meliputi semua tahap mulai dari penyusunan perencanaan program, pelaksanaan, pembiayaan, evaluasi, maupun hasil dan dampaknya. Untuk mendukung open government harus menggunakan aplikasi elektronik (e-Government), guna mendukung pencapaian atas target-target pembangunan.

Jangan lupa subscribe, like dan share channel TikTok Sriwijayapost di bawah ini:

Logo TikTok Sripoku.com

Implementasi Open Government di Daerah Pelaksanaan Open Government di pemerintah daerah diinisiasi semenjak berlakunya UU KIP. UU ini telah memberikan kejelasan bahwa pemerintah yakni pejabat ataupun badan publik wajib menyediakan akses informasi secara terbuka kepada publik serta menyediakan dokumen ataupun data kepada publik sebagai bagian inheren dari fungsi birokrasi pemerintah.

Selain itu, UU ini juga telah membahas mengenai sanksi-sanksi bagi pelanggarnya; serta klasifikasi mengenai jenis-jenis informasi pemerintah/badan publik yang dapat dikecualikan dalam periode tertentu untuk tidak dibuka kepada publik.

Kemudian di dalam UU ini juga telah diatur mengenai keberadaan sebuah komisi bernama Komisi Informasi (KI) sebagai lembaga yang mengemban tugas menuntaskan sengketa atas akses informasi dan ditempatkan di pusat hingga daerah.

Adapun hak publik terhadap informasi sebagaimana tercantum pada pasal 4 antara lain: “hak untuk mengetahui, hak untuk mendapatkan informasi secara fisik, hak untuk diinformasikan, hak untuk mendayagunakan dan menyebarluaskan informasi.” Secara singkat, data dan informasi publik harus tersedia dengan prinsip maximum access, limited exception (keterbukaan informasi dan pengecualian yang terbatas) yang artinya informasi harus dapat diakses seluas-luasnya dengan pemberlakuan pengecualian informasi yang bersifat rahasia atau ketat akses.

Dari hasil riset sederhana yang dilakukan penulis di tiga kabupaten/kota di Sumatera Selatan menunjukkan implementasi Open Government di pemerintah daerah terkesan masih tersendat oleh banyak permasalahan yang menyebabkannya, terutama adalah belum kuatnya implementasi keterbukaan informasi publik sebagaimana yang diamanatkan dalam UU KIP di daerah. Pasalnya, KIP secara langsung akan memperbaiki akuntabilitas dan mampu mengurangi potensi korupsi serta kekebalan pemerintah atas penyelewengan yang dilakukannya. Dengan kata lain, kehadiran KIP akan mendorong terciptanya transparansi bagi penyelenggaraan pembangunan sehingga meminimalisir terjadinya kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN).

Jangan lupa Like fanspage Facebook Sriwijaya Post di bawah ini:

Meskipun KIP sudah mulai diterapkan pemerintah daerah di Indonesia beberapa tahun lalu, namun dalam praktiknya di lapangan, implementasi KIP terpantau terus menyisakan berbagai permasalahan. Sejalan dengan hasil penelitian Agusniar Rizka Luthfia,dkk (2021), Penulis mengidentifikasi setidaknya ada lima akar permasalahan yang menjadi hambatan implementasi KIP di daerah.

Pertama, berkaitan dengan sifat keterbukaan (transparency) itu sendiri. Secara alamiah, mayoritas pemerintahan lebih senang melaksanakan kebijakannya secara diam-diam dan menghindari perhatian publik. Hal ini karena di dalam penyelenggaraan pemerintahan itu sendiri ada paradoks di mana transparency meskipun di satu sisi dapat mendorong terselenggaranya partisipasi, namun di sisi lain juga berpotensi menghambat laju penyelenggaraan pemerintahan itu sendiri. Hal ini dikarenakan masih ada oknum yang memanfaatkan KIP untuk kepentingan dan keuntungan pribadi sehingga membuat proses pengambilan kebijakan menjadi lebih mahal lama dan tidak efektif (Crosby, 2000).

Kedua, berkaitan dengan political will pimpinan. Lemahnya political will pimpinan daerah akan menghambat kelancaran dan kelugasan implementasi KIP di daerah. Ketiga adalah berkenaan dengan adanya benturan nilai, yakni antara keterbukaan dan kepatuhan pada hukum. Pemerintahan pada dasarnya bersifat sentral dan hirarkis. Demikian juga dengan sistem pelaksanaan kebijakan dan penganggarannya yang cenderung kaku dan sentralistis membuat badan pemerintah menjadi tidak fleksibel dalam melakukan agenda kegiatannya. Namun, semakin kompleksnya masalah publik dan semakin inovatifnya pemerintah daerah sebagai dampak dari desentralisasi membuat badan/lembaga pemerintahan harus menjadi lebih fleksibel, lebih cepat, tanggap, tepat, kreatif dan bijaksana demi mengatasi permasalahan yang ada.

ilustrasi
Sumbere: https://covid19.go.id/
Halaman
123
Sumber: Sriwijaya Post
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved