KIP Dalam Implementasi Open Government Di Daerah

Partisipasi masyarakat merupakan ciri keberhasilan deesentralisasi dan demokratisasi.

Editor: Bejoroy
Istimewa
Dr. Ir. H. ABDUL NADJIB, MM: Dosen FISIP Universitas Sriwijaya. 

Oleh: Dr Ir Abdul Nadjib MM
Dosen FISIP Universitas Sriwijaya

KEBEBASAN untuk mengakses informasi publik merupakan prasarat utama terciptanya masyarakat yang partisipatif. Partisipasi masyarakat merupakan ciri keberhasilan deesentralisasi dan demokratisasi.

Pemerintah di Indonesia bertekad mengimplementasikan Undang-Undang No 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dalam implementasi Open Government (Pemerintahan Terbuka). Harapannya akan tercipta partisipasi publik, pencegahan maladministrasi dan korupsi.

Open Government Indonesia (OGI) telah bergulir sejak tahun 2011 baik di pemerintahan pusat maupun pemerintahan daerah di Indonesia. Gerakan OGI lahir dari gerakan serupa yang bernama Open Government Partnership (OGP). OGP adalah inisiatif multilateral yang bertujuan untuk menjamin komitmen konkret pemerintah dalam meningkatkan transparansi, memberdayakan masyarakat, melawan korupsi, dan manfaatkan teknologi baru untuk memperkuat pemerintah.

OGP resmi didirikan pada 20 September 2011 di New York oleh delapan negara, yaitu Brasil, Indonesia, Meksiko, Norwegia, Filipina, Afrika Selatan, Inggris dan Amerika Serikat.

Negara-negara pendiri tersebut mendeklarasikan gerakan Open Government dan menyetujui serta mengumumkan rencana aksi yang dilakukan oleh masing-masing negara. Saat ini keanggotaan OGP menjadi enam puluh empat negara, termasuk ratusan organisasi
kemasyarakatan didalamnya.

Jangan lupa subscribe, like dan share channel Youtube Sripokutv di bawah ini:

Open Government Indonesia telah menjadi sebuah platform bagi bagi negara–negara yang berpartisipasi didalamnya untuk mengembangkan tata pemerintahan yang mempromosikan
keterbukaan, partisipasi masyarakat, akuntabilitas, dan penggunaan teknologi untuk memperkuat pemerintahan.

Prinsip ini diterjemahkan menjadi keterbukaan, akuntabel, partisipatif, dan inovatif dalam implementasinya. Indonesia dalam implementasi OGP, berkomitmen untuk mendorong transparansi penyelenggaraan negara, terutama dalam hal anggaran. Indonesia menyiapkan tiga track untuk mendorong terwujudnya open government ini.

Pada track pertama, keterbukaan informasi dengan memanfaatkan instrumen Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Kedua, pembangunan portal nasional untuk menarik partisipasi masyarakat, dan ketiga, membuka peluang inisiatif baru bagi implementasi open government di setiap level pemerintahan.

Artikel ini hanya membahas satu dari empat prinsip open government yaitu keterbukaan (transparasi), sementara prinsip yang lain akan di bahas pada artikel yang lain. Menurut Hari

Sabarno (2007) transparansi merupakan salah satu aspek mendasar bagi terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Perwujudan tata pemerintahan yang baik mensyaratkan adanya keterbukaan, keterlibatan, dan kemudahan akses bagi masyarakat terhadap proses penyelenggaraan pemerintah. Keterbukaan dan kemudahan informasi penyelenggaran pemerintahan memberikan pengaruh untuk mewujudkan berbagai indikator lainnya.

Makna dari transparansi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat dilihat dalam dua hal yaitu; (1) salah satu wujud pertanggungjawaban pemerintah kepada rakyat, dan (2) upaya peningkatan manajemen pengelolaan dan penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan mengurangi kesempatan praktek kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN).

Jangan lupa juga subscribe, like dan share channel Instagram Sriwijayapost di bawah ini:

Logo instagram.com/sriwijayapost/

Pengertian Pemerintahan Terbuka Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) mendefinisikan Open Government sebagai “transparansi dari tindakan pemerintah, akses terhadap layanan dan informasi dari pemerintah, serta ketanggapan pemerintah terhadap ide-ide baru, permintaan, dan kebutuhan.” Kebijakan Open Government adalah alat pencapaian peningkatan kualitas demokrasi dalam sebuah negara untuk memperbaiki pemenuhan kebutuhan rakyat melalui sebuah tatakelola kebijakan yang terbuka. Kebijakan ini menghasilkan beragam keuntungan bagi dunia usaha dan warga negara, termasuk bagi pemerintahan yang melaksanakan kebijakan tersebut.

Konsep keterbukaan pemerintah menurut OECD tidak hanya sekedar bersikap transparan, tetapi juga mencakup aspek aksesibilitas dan responsivitas di dalam relasi antara pemerintah dan warga yang dilayaninya.

Transparansi dalam arti setiap tindakan pemerintah dapat dicermati oleh publik; aksesibel dalam arti setiap tindakan pemerintah tersebut dapat diketahui oleh setiap orang, setiap saat, dan di manapun; serta responsif atau tanggap terhadap ide dan kebutuhan publik yang baru (OECD, 2015).

Dengan demikian, pemerintah terbuka di sini dimaknai sebagai penyelenggaran pemerintahan yang dilakukan secara transparan dan melibatkan warga dan pemangku kepentingan sejak pengambilan keputusan, pelaksanaan sampai dengan evaluasi.

Open Government menurut Global Integrity (Turner, 2015) mencakup tiga hal yakni transparansi informasi, keterlibatan publik dan akuntabilitas. Melalui transparansi, masyarakat memahami cara kerja pemerintah. Dengan keterlibatan publik, maka publik dapat memengaruhi cara kerja pemerintah mereka dengan terlibat dalam proses kebijakan pemerintah dan program pemberian layanan.

Akuntabilitas bermakna bahwa masyarakat dapat meminta pemerintah mempertanggungjawabkan kinerja kebijakan dan pelayanannya. Pertanggungjawaban yang diberikan meliputi semua tahap mulai dari penyusunan perencanaan program, pelaksanaan, pembiayaan, evaluasi, maupun hasil dan dampaknya. Untuk mendukung open government harus menggunakan aplikasi elektronik (e-Government), guna mendukung pencapaian atas target-target pembangunan.

Jangan lupa subscribe, like dan share channel TikTok Sriwijayapost di bawah ini:

Logo TikTok Sripoku.com

Implementasi Open Government di Daerah Pelaksanaan Open Government di pemerintah daerah diinisiasi semenjak berlakunya UU KIP. UU ini telah memberikan kejelasan bahwa pemerintah yakni pejabat ataupun badan publik wajib menyediakan akses informasi secara terbuka kepada publik serta menyediakan dokumen ataupun data kepada publik sebagai bagian inheren dari fungsi birokrasi pemerintah.

Selain itu, UU ini juga telah membahas mengenai sanksi-sanksi bagi pelanggarnya; serta klasifikasi mengenai jenis-jenis informasi pemerintah/badan publik yang dapat dikecualikan dalam periode tertentu untuk tidak dibuka kepada publik.

Kemudian di dalam UU ini juga telah diatur mengenai keberadaan sebuah komisi bernama Komisi Informasi (KI) sebagai lembaga yang mengemban tugas menuntaskan sengketa atas akses informasi dan ditempatkan di pusat hingga daerah.

Adapun hak publik terhadap informasi sebagaimana tercantum pada pasal 4 antara lain: “hak untuk mengetahui, hak untuk mendapatkan informasi secara fisik, hak untuk diinformasikan, hak untuk mendayagunakan dan menyebarluaskan informasi.” Secara singkat, data dan informasi publik harus tersedia dengan prinsip maximum access, limited exception (keterbukaan informasi dan pengecualian yang terbatas) yang artinya informasi harus dapat diakses seluas-luasnya dengan pemberlakuan pengecualian informasi yang bersifat rahasia atau ketat akses.

Dari hasil riset sederhana yang dilakukan penulis di tiga kabupaten/kota di Sumatera Selatan menunjukkan implementasi Open Government di pemerintah daerah terkesan masih tersendat oleh banyak permasalahan yang menyebabkannya, terutama adalah belum kuatnya implementasi keterbukaan informasi publik sebagaimana yang diamanatkan dalam UU KIP di daerah. Pasalnya, KIP secara langsung akan memperbaiki akuntabilitas dan mampu mengurangi potensi korupsi serta kekebalan pemerintah atas penyelewengan yang dilakukannya. Dengan kata lain, kehadiran KIP akan mendorong terciptanya transparansi bagi penyelenggaraan pembangunan sehingga meminimalisir terjadinya kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN).

Jangan lupa Like fanspage Facebook Sriwijaya Post di bawah ini:

Meskipun KIP sudah mulai diterapkan pemerintah daerah di Indonesia beberapa tahun lalu, namun dalam praktiknya di lapangan, implementasi KIP terpantau terus menyisakan berbagai permasalahan. Sejalan dengan hasil penelitian Agusniar Rizka Luthfia,dkk (2021), Penulis mengidentifikasi setidaknya ada lima akar permasalahan yang menjadi hambatan implementasi KIP di daerah.

Pertama, berkaitan dengan sifat keterbukaan (transparency) itu sendiri. Secara alamiah, mayoritas pemerintahan lebih senang melaksanakan kebijakannya secara diam-diam dan menghindari perhatian publik. Hal ini karena di dalam penyelenggaraan pemerintahan itu sendiri ada paradoks di mana transparency meskipun di satu sisi dapat mendorong terselenggaranya partisipasi, namun di sisi lain juga berpotensi menghambat laju penyelenggaraan pemerintahan itu sendiri. Hal ini dikarenakan masih ada oknum yang memanfaatkan KIP untuk kepentingan dan keuntungan pribadi sehingga membuat proses pengambilan kebijakan menjadi lebih mahal lama dan tidak efektif (Crosby, 2000).

Kedua, berkaitan dengan political will pimpinan. Lemahnya political will pimpinan daerah akan menghambat kelancaran dan kelugasan implementasi KIP di daerah. Ketiga adalah berkenaan dengan adanya benturan nilai, yakni antara keterbukaan dan kepatuhan pada hukum. Pemerintahan pada dasarnya bersifat sentral dan hirarkis. Demikian juga dengan sistem pelaksanaan kebijakan dan penganggarannya yang cenderung kaku dan sentralistis membuat badan pemerintah menjadi tidak fleksibel dalam melakukan agenda kegiatannya. Namun, semakin kompleksnya masalah publik dan semakin inovatifnya pemerintah daerah sebagai dampak dari desentralisasi membuat badan/lembaga pemerintahan harus menjadi lebih fleksibel, lebih cepat, tanggap, tepat, kreatif dan bijaksana demi mengatasi permasalahan yang ada.

ilustrasi
Sumbere: https://covid19.go.id/

Keempat berkaitan dengan sulitnya mengaplikasikan open government adalah persoalan budaya lembaga publik yang tidak terbiasa memberikan informasi kepada publik, bahkan ‘alergi’ atau ‘enggan’ menyampaikan informasi publik terkait anggaran, perencanaan maupun pelaksanaan kegiatan. Meskipun saat ini badan publik telah memiliki pusat informasi dan komunikasi publik (media center), namun budaya lama yang melekat pada badan publik, mengindikasikan bahwa praktik memberikan informasi kepada publik masih dianggap ‘pekerjaan tambahan’ bagi badan publik ditambah masyarakat yang jarang meminta informasi selama puluhan tahun turut berimbas pada buruknya manajemen komunikasi publik di banyak badan publik.

Terakhir Kelima yang juga harus mendapat perhatian adalah kurangnya kesadaran dan kepedulian (lack of awareness) dari masyarakat terhadap hak mereka untuk memperoleh dan mengakses informasi publik. Lack of awareness ini dapat diartikan sebagai sebuah kegagalan mengenali konsekuensi atas tindakan yang akan dilakukan. Meskipun demikian, hal tersebut tentu tidak serta merta merupakan akibat dari kekurangpahaman, namun lebih karena ketidakpedulian pada akibat yang ditimbulkan.

Dari uraian singkat diatas maka penulis menyimpulkan bahwa implementasi open government di daerah belum optimal utamanya karena pelaksanaan keterbukaan informasi publik masih terkendala oleh banyaknya permasalahan yang dihadapi.

Penulis menyarankan perlunya sinergisitas dari seluruh komponen masyarakat di daerah untuk merealisasikan keterbukaan informasi publik secara baik. Dalam konteks ini, political will pimpinan sangat menentukan keberhasilannya. Selain itu peran pihak ketiga sangat dibutuhkan untuk menjaga supaya KIP tetap berjalan pada rel yang benar. Pihak ketiga itu diantaranya adalah media, komunitas masyarakat, swasta, civitas akademika dan tokoh masyarakat di daerah. (*)

Sumber: Sriwijaya Post
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved