Mimbar Jumat

Guru Ngaji Tikar. Tradisi Pembelajaran Al-Qur’an Masyarakat Melayu yang Dilupakan

Tradisi belajar membaca al-Qur’an di masyarakat melayu masih menggunakan pola belajar yang dibimbing oleh seorang guru ngaji tikar.

Editor: Bejoroy
SRIPOKU.COM/Istimewa
DR Abdurrahmansyah MAg / Dosen Pascasarjana Universitas Islam Negeri Raden Fatah. 

Murid laki-laki memakai kain sarung dan kopiah, sedangkan murid wanita memakai baju kurung dan tekuluk atau pe nutup kepala.

Kitab turutan berupa Juz’ Amma dan mushaf al-Qur’an mereka bawa dari rumah ma sing-masing atau bisa ditinggal di tempat mengaji.

Cara membawa kitab de ngan meletakkan di dada dengan cara disedekap. Ini merupakan simbol untuk mem posisikan al-Qur’an dekat dengan hati atau qolbu murid.

Guru selalu men di dik agar murid selalu mencium mushaf al-Qur’an sebelum dan setelah mem ba canya.

Kebiasaan ini bukan hanya sekedar mencium kertas atau buku.

ilustrasi
Update 2 Desember 2021. (https://covid19.go.id/)

Tetapi lebih dalam sebagai tanda ta’zim dan penghormatan terhadap pesan-pesan suci dalam al-Qur’an.

Tidak menyentuh mushaf kecuali dalam keadaan berwudhu’.

Ini juga simbolis untuk mengajarkan agar substansi kesucian al-Qur’an sebagai wahyu Tuhan dapat tersentuh oleh diri yang suci pula.

Sosok guru ngaji tikar adalah orang yang memiliki kemampuan membaca al-Qur’an dengan fasih dan akhlak yang baik.

Mereka tidak memungut bayaran atas pengajaran yang dilakukan.

Murid-murid biasanya datang dengan membawa mi nyak tanah sebagai minyak lampu atau sekedar hasil kebun.

Kefasihan bacaan pa ra guru ngaji tikar merupakan kemampuan membaca yang diturunkan secara bersanad dari guru kepada murid sebagai proses transmisi keilmuan yang tetap terjaga.

Karena itu tradisi orang melayu selalu mencium tangan sang guru sebagai simbol tabarruk untuk mendapatkan keberkahan ilmu.

Ketika mencium tangan guru, murid sangat sadar bahwa tangan guru yang dicium pernah bersentuh dengan guru-guru mulia sebelumnya.

Dari sisi pendidikan karakter, sikap ini secara psi kologis sangat efektif untuk mematikan sifat sombong dan angkuh.

Orang angkuh biasanya tidak suka merendah dan sulit menghormati orang lain.

Karakter baik seperti inilah yang sesungguhnya sangat penting sebagai dampak pengiring dari tradisi ngaji tikar yang semestinya terus dipelihara.

Semakin hilangnya tradisi ngaji tikar di masyarakat melayu Sumatera Selatan bisa ja di indikasi mulai hilangnya pendidikan adab terhadap al-Qur’an.

Sebab pem be lajaran membaca al-Qur’an saat ini lebih dianggap sebagai proses teaching and learning biasa yang dapat diajarkan dengan berbagai metode dan pendekatan.

Ki ni, nuansa sakral dan atmosfir spiritualitas ethic mulai kering dalam proses pem-belajaran al-Qur’an.

Oleh karena itu, jika menganggap penting untuk me lestarikan nilai-nilai cultural berbasis budaya melayu.

Maka, tradisi ngaji tikar ini sangat la yak untuk dihidupkan kembali dan dipelihara sebagai bagian dari upaya pengu atan karakter dan pelestarian khazanah peradaban Islam melayu nusantara. Wallahu A’lam bi al-Shawwab.

Sumber: Sriwijaya Post
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved