Mimbar Jumat
Guru Ngaji Tikar. Tradisi Pembelajaran Al-Qur’an Masyarakat Melayu yang Dilupakan
Tradisi belajar membaca al-Qur’an di masyarakat melayu masih menggunakan pola belajar yang dibimbing oleh seorang guru ngaji tikar.
Oleh : DR. Abdurrahmansyah MAg
Dosen Pascasrjana UIN Raden Fatah Palembang
SRIPOKU.COM -- Sekitar 45 tahun lalu ketika penulis berusia sekolah dasar di Bangka yang waktu itu masih termasuk wilayah Sumatera Selatan.
Tradisi belajar membaca al-Qur’an di masyarakat melayu masih menggunakan pola belajar yang dibimbing oleh seorang guru ngaji tikar.
Saat ini tradisi itu sudah mulai menghilang kecuali masih sa tu dua guru yang aktif mengajar ngaji dengan pola ini.
Itu pun belum tentu di te mu kan di setiap kampung.
Pola pengajaran membaca al-Qur’an saat ini lebih ber sifat administratif di masjid-mesjid di bawah pelayanan TK-TPA dengan para pengajar yang masih belia.
Tradisi ngaji tikar di masyaralat melayu di pulau Bangka bersifat unik karena se ca-ra khusus diperuntukkan mengajar membaca al-Qur’an (reading Quran).
Tra di si ini berbeda dengan tradisi garang dan tradisi cawisan pada masyarakat melayu uluan di Sumatera Selatan.
Pada tradisi garang dan cawisan majelis pengajian le bih membahas tema-tema tertentu dari kitab-kitab atau bisa berupa ceramah aga ma oleh seorang ulama atau kiyai.
Jangan lupa subscribe, like dan share channel Youtube Sripokutv di bawah ini:
Sementara tradisi ngaji tikar tidak berbentuk pe ngajian untuk mengajarkan tema-tema tertentu.
Namun benar-benar majelis kecil untuk belajar dan mengajar mem ba ca al-Qur’an. Murid-murid pada majelis ngaji tikar selalu anak-anak dan remaja.
Ka rena orang dewasa dipastikan sudah pandai membaca al-Qur’an.
Bagi masya rakat melayu pada 45 tahun lalu adalah aib dan memalukan jika ada orang muslim yang tidak bisa membaca al-Qur’an.
Jika dilihat dari teori pembelajaran modern, tradisi ngaji tikar selain ditujukan un-tuk mencapai dampak langsung pembelajaran (instructional effect) juga menim-bulkan dampak pengiring (nurturant effect).