Kemiskinan Di Sumsel
Kenapa Data Angka Kemiskinan Di Sumsel Masih Tinggi?
Mewujudkan “Sumsel Maju Untuk Semua” mendapat tantangan besar setelah Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data kemiskinan di Indonesia
Dalam kelompok miskin secara struktur ini, ada para petani yang tidak bertanah atau mempunyai garapan yang sangat kecil, sehingga tidak mencukupi untuk pemenuhan hidupnya.
Juga golongan yang tidak terdidik dan terlatih yang disebut ‘unskilled labores’ yang terhambat untuk memasuki pasar kerja, golongan miskin itu juga meliputi para pengusaha kecil tanpa modal dan tanpa fasilitas dari pemerintah, dan atau golongan ekonomi lemah.
Minimal ada 4 alasan dan argumentasi dari kacamata kebijakan publik untuk menjawab pertanyaan, kenapa kemiskinan di Sumsel masih tinggi, yaitu :
1. Lemahnya komitmen pimpinan
Lemahnya komitmen pimpinan di tingkat propinsi maupun kabupaten/kota ditunjukkan pada terbatasnya dukungan program dan penganggaran dalam penanggulangan kemiskinan.
Meski telah masuk dalam prioritas pembangunan RKPD (Rencana Kerja Pembangunan Daerah) setiap tahunnya tapi implementasinya rendah dan terbatas sehingga tidak nyata hasilnya.
Terkesan kurangnya sense of crisis pimpinan daerah terhadap masalah kemiskinan sehingga program penanggulangan kemiskinan terkalahkan bahkan terpinggirkan dari program pembangunan lainnya.
Kondisi ini dibuktikan dengan majunya pembangunan infrastruktur di Sumatera Selatan tapi tidak berkorelasi positif dengan penurunan angka kemiskinan.
Kedepan perlu pemantapan komitmen pimpinan daerah dan menjadikan kemiskinan sebagai “musuh bersama” yang perlu dilawan, dikeroyok, dan diatasi bersama di propinsi, kab/kota sesegera mungkin.
2. Lemahnya kolaborasi
Kemiskinan bukanlah masalah dan tanggung jawab pemerintah saja melainkan juga menjadi masalah dan tanggung jawab dunia usaha, perguruan tinggi, dan masyarakat sehingga menanggulangi kemiskinan harus dilakukan secara kolaborasi antara semua stakeholders.
Lemahnya kolaborasi mengakibatkan pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan tersendat dan bagai “berjalan di tempat”.
Visi “Sumsel maju bersama” dengan sasaran 16 maju sektoral seperti maju pendidikan, maju kesehatan, maju pertanian, maju energy, maju infrastruktur dan seterusnya mengesankan silo–silo sasaran sektoral yang tidak terkolaborasi dengan baik.
Dalam penaggulangan kemiskinan konsep demikian kurang tepat karena setiap sektor akan fokus dan sibuk dengan program untuk mencapai sasaran utama nya dan sasaran program penanggulangan kemiskinan dianggap sebagai program tambahan saja.
Kedepan kolaborasi dalam aksi keroyokan penanggulangan kemiskinan di daerah mesti menjadi keharusan.
Dan seyogyanya dimulai dari penyusunan pohon kinerja (Cascading) penanggulangan kemiskinan yang komprehensif dengan melibatkan semua stakeholders sampai ke level terbawah.
3. Lemahnya keberpihakan kepada sektor pertanian dan UMK
Sebagaimana dimaklumi bahwa kemiskinan di Sumatera Selatan sebagaian besar pada penduduk yang berkerja di sektor pertanian dalam arti luas (tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, dan perikanan) yang berada di pedesaan.
Seyogyanya sektor pertanian dapat menjadi lokomotif penurunan angka kemiskinan di Sumatera Selatan.
Untuk itu diperlukan program-program pembangunan pertanian yang inovatif, berbasis kewilyahan, dan didominasi pertanian rakyat.
Dengan menjadikan sektor pertanian sebagai lokomotif penurunan kemiskinan maka sektor lainnya di propinsi maupun di kabupaten/kota harus mendukung sepenuhnya dengan program dan aksi nyata sesuai pohon kinerja yang telah dibuat bersama.
Selanjutnya Usaha Mikro Kecil (UKM) terbukti mampu mereduksi kemiskinan di daerah karena dari berbagai data yang ada penyebab kemiskinan yang utama di Indonesia adalah tingginya angka pengangguran.
UKM memiliki peranan yang bisa dikembangkan sebagai salah satu potensi penciptaan lapangan kerja bagi penduduk miskin.
Tapi UKM memiliki keterbatasan kesempatan untuk melakukan kegiatan usaha dikarenakan rendahnya kepemilikan aset dan terbatasnya akses terhadap faktor produksi.
Keberpihakan pemerintah daerah kepada UKM dirasakan masih sangat terbatas, baik dalam mendukung penguatan kelembagaan maupun permodalan.
Kedepan diperlukan kebijakan keberpihakan yang tegas kepada UKM melalui fasilitas pembinaan, penguatan modal dan kemudahan berusaha mengingat lebih dari 90 % usaha di daerah masih didominasi UKM.
4.Lemahnya manajemen pelaksanaan program pengentasan kemiskinan, yang ditunjukkan antara lain oleh :
a. Lemahnya instusi pengelola program pengentasan kemiskinan
b. Kebijakan penggunaan data basis keluarga miskin belum secara operasional dipergunakan sebagai intervensi program pengentasan kemiskinan di OPD propinsi maupun Kab/Kota.
c. Belum ada mekanisme dan sistem pencatatan, pelaporan, pengendalian dan evaluasi program pengentasan kemiskinan yang sistematis, konsisten, dan berkelanjutan.
d. Dukungan anggaran operasional pengentasan kemiskinan yang masih terbatas.
Mengingat kemiskinan di Sumatra Selatan lebih didominasi oleh kemiskinan struktural maka peran pemerintah daerah secara terencana, terkolaborasi, dan inovatif sangat menentukan keberhasilan penanggulangan kemiskinan tersebut.
Visi “Sumsel Maju Untuk Semua” kiranya dapat menjadi tantangan bersama semua stakeholders untuk dapat maju dalam upaya penurunan angka kemiskinan di Sumatera Selatan dan bukan sebaliknya.-ans