Kemiskinan Di Sumsel

Kenapa Data Angka Kemiskinan Di Sumsel Masih Tinggi?

Mewujudkan “Sumsel Maju Untuk Semua”  mendapat tantangan besar setelah Badan Pu­­sat Statistik (BPS) merilis data kemiskinan di Indonesia

Editor: Salman Rasyidin
ist
Dr. Ir. H. Abdul Nadjib,.MM 

Dalam ke­lompok miskin secara struktur ini, ada para petani yang tidak bertanah atau mem­punyai ga­rapan yang sangat kecil, sehingga tidak mencukupi untuk pemenuhan hidupnya.

Juga golongan yang tidak terdidik dan terlatih yang disebut ‘unskilled labores’ yang ter­ham­bat untuk memasuki pasar kerja, golongan miskin itu juga meliputi para pe­ng­usaha ke­cil tanpa modal dan tanpa fasilitas dari pemerintah, dan atau golongan ekonomi lemah.

Minimal ada 4 alasan dan argumentasi dari kacamata kebijakan publik untuk menjawab pertanyaan, kenapa kemiskinan di Sumsel masih tinggi, yaitu :

1. Lemahnya komitmen pimpinan

Lemahnya komitmen pimpinan di tingkat propinsi maupun kabupaten/kota ditunjukkan pada terbatasnya dukungan program dan penganggaran dalam penanggulangan kemis­kin­an.

Meski telah masuk dalam prioritas pembangunan RKPD (Rencana Kerja Pem­bangunan Daerah) setiap tahunnya tapi implementasinya rendah dan terbatas sehingga ti­dak nyata hasilnya.

Terkesan kurangnya sense of crisis pimpinan daerah terhadap masalah kemiskinan sehingga program penanggulangan kemiskinan terkalahkan bah­kan terpinggirkan dari program pembangunan lainnya.

Kondisi ini dibuktikan dengan majunya pembangunan infrastruktur di Sumatera Selatan tapi tidak berkorelasi positif de­ngan penurunan angka kemiskinan.

Kedepan perlu pemantapan komitmen pimpinan dae­rah dan menjadikan kemiskinan  sebagai “musuh bersama” yang perlu dilawan, di­keroyok, dan diatasi bersama di propinsi, kab/kota sesegera mungkin.

2. Lemahnya kolaborasi

Kemiskinan bukanlah masalah dan tanggung jawab pemerintah  saja melainkan juga menjadi masalah dan tanggung jawab dunia usaha, perguruan tinggi, dan masyarakat sehingga menanggulangi kemiskinan harus dilakukan secara kolaborasi antara semua stake­holders.

Lemahnya kolaborasi mengakibatkan pelaksanaan program penang­gu­langan kemiskinan tersendat dan bagai “berjalan di tempat”. 

Visi “Sumsel maju ber­sa­ma” dengan sasaran 16 maju sektoral seperti  maju pendidikan, maju kesehatan, maju per­tanian, maju energy, maju infrastruktur dan seterusnya mengesankan silo–silo sa­sar­an sektoral yang tidak terkolaborasi dengan baik.

Dalam penaggulangan kemiskinan konsep demikian kurang tepat karena setiap sektor akan fokus dan sibuk dengan pro­gram untuk mencapai sasaran utama nya dan sasaran program penanggulangan ke­miskinan dianggap sebagai program tambahan saja.

Kedepan kolaborasi dalam aksi ke­royokan penanggulangan kemiskinan di daerah mesti menjadi keharusan.

Dan seyog­yanya dimulai dari  penyusunan pohon kinerja (Cascading) penanggulangan kemis­kinan yang komprehensif dengan melibatkan semua stakeholders sampai ke level ter­bawah.

3. Lemahnya keberpihakan kepada  sektor pertanian dan UMK

Sebagaimana dimaklumi bahwa kemiskinan di Sumatera Selatan sebagaian besar pada pen­duduk yang berkerja di sektor pertanian dalam arti luas (tanaman pangan, hortikul­tura, perkebunan, peternakan, dan perikanan) yang berada di pedesaan.

Seyogyanya sek­tor pertanian dapat menjadi lokomotif penurunan angka kemiskinan di Sumatera Se­latan.

Untuk itu diperlukan program-program pembangunan pertanian yang inovatif,  ber­basis kewilyahan, dan didominasi pertanian rakyat.

Dengan menjadikan sektor per­tanian sebagai lokomotif penurunan kemiskinan maka sektor lainnya di propinsi mau­pun di kabupaten/kota harus mendukung sepenuhnya dengan program dan aksi nyata se­suai pohon kinerja yang telah dibuat bersama.

Se­lanjutnya Usaha Mikro Kecil (UKM) terbukti mampu mereduksi kemiskinan di dae­rah  karena dari berbagai data yang ada penyebab kemiskinan yang utama di Indonesia adalah tingginya angka pengangguran.

UKM memiliki peranan yang bisa dikem­bang­kan sebagai salah satu potensi penciptaan lapangan kerja bagi penduduk miskin.

Tapi UKM memiliki keterbatasan kesempatan untuk melakukan kegiatan usaha dikarenakan rendahnya kepemilikan aset dan  terbatasnya akses terhadap faktor produk­si. 

Ke­ber­pi­hakan pemerintah daerah kepada UKM dirasakan masih sangat terbatas, baik dalam mendukung penguatan kelembagaan maupun permodalan.

Kedepan diperlukan kebi­jakan keberpihakan yang tegas kepada UKM melalui fasilitas pembinaan, penguatan mo­dal  dan kemudahan berusaha mengingat lebih dari 90 % usaha di daerah masih di­dominasi UKM. 

4.Lemahnya manajemen pelaksanaan program pengentasan kemiskinan, yang ditun­juk­kan antara lain oleh :

a.       Lemahnya instusi pengelola program pengentasan kemiskinan

b.      Kebijakan penggunaan data basis keluarga miskin belum secara operasional di­per­gu­nakan sebagai intervensi program pengentasan kemiskinan di OPD propinsi  mau­pun Kab/Kota.

c.       Belum ada mekanisme dan sistem pencatatan, pelaporan, pengendalian dan evaluasi program pengentasan kemiskinan yang sistematis, konsisten, dan berkelanjutan.

d.      Dukungan anggaran operasional pengentasan kemiskinan yang masih terbatas.

Mengingat kemiskinan di Sumatra Selatan lebih didominasi oleh kemiskinan struktural ma­ka peran pemerintah daerah secara terencana, terkolaborasi, dan inovatif  sangat me­nentukan keberhasilan penanggulangan kemiskinan tersebut.

Visi “Sumsel Maju Untuk Semua” kiranya dapat menjadi tantangan  bersama semua stakeholders untuk dapat ma­ju dalam upaya penurunan angka kemiskinan di Sumatera Selatan dan bukan seba­lik­nya.-ans

Sumber: Sriwijaya Post
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved