Kemiskinan Di Sumsel
Kenapa Data Angka Kemiskinan Di Sumsel Masih Tinggi?
Mewujudkan “Sumsel Maju Untuk Semua” mendapat tantangan besar setelah Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data kemiskinan di Indonesia
Oleh : Dr. Ir. H. Abdul Nadjib,.MM
Dosen FISIP UNSRI / Pemerhati Kebijakan Publik Daerah
Mewujudkan “Sumsel Maju Untuk Semua” mendapat tantangan besar setelah Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data kemiskinan di Indonesia berdasarkan Survei Ekonomi Nasional September 2020 (15/2-21).
Menurut data tersebut, presentase penduduk miskin di Sumatera Selatan pada September 2020 mencapai 12,98 % atau sebesar 1,12 juta orang dari jumlah penduduk sebesar 8,47 juta jiwa tersebar di 17 kabupaten/kota dengan tingkat ketimpangan pendapatan berdasarkan gini ratio mencapai 0,338.
Bahkan dari data tersebut, Sumatera Selatan menempati 10 propinsi termiskin di Indonesia dengan urutan sebagai berikut : Papua (26,8 %), Papua Barat (21,7%), NTT (21,21 %), Maluku (17,99 %), Gorontalo (15,59 %), Aceh (15,43 %), Bengkulu (15,30 %), NTB (14,23 %), Sulawesi Tengah (13,06 %), dan Sumatera Selatan (12,98 %). Posisi Sumatera Selatan tahun 2021 ini tidak beranjak dari kondisi 5 tahun lalu.
Pada tahun 2016 BPS juga merilis Sumatera Selatan termasuk 10 propinsi termiskin di Indonesia dengan jumah penduduk miskin mencapai 1,11 juta jiwa atau 13,77 %.
Adalah suatu paradoks karena Sumatera Selatan merupakan salah satu propinsi di Indonesia yang terkenal memiliki kekayaan sumberdaya alam, seperti minyak, gas bumi, batubara, geothermal dan lain sebagainya ditambah dengan perkebunan kelapa sawit dan karet yang membentang luas hampir di semua kabupaten / kota.
Juga hadirnya BUMN/BUMS strategis nasional di Sumatera Selatan seperti Pertamina, PT. Bukit Asam, PT. Pusri, PTP, Pabrik pulp and paper, Medco, dll.
Tidak heran bila Sumatera Selatan ditasbihkan sebagai 5 besar propinsi terkaya di Indonesia.
Akan tetapi selama 5 tahun terakhir, Sumatera Selatan masih menempati posisi 10 propinsi termiskin di Indonesia. Kenapa kondisi ini bisa terjadi ?

Faktor Penyebab kemiskinan
Kemiskinan merupakan fenomena yang terjadi hampir di seluruh daerah di Indonesia.
Kemiskinan muncul karena ketidakmampuan sebagian masyarakat untuk menyelenggarakan hidupnya sampai suatu taraf yang dianggap manusiawi.
Kondisi ini menyebabkan menurunnya kualitas sumber daya manusia sehingga produktivitas dan pendapatan yang diperolehnya rendah.
Lingkaran kemiskinan terus terjadi, karena dengan penghasilan yang rendah tidak mampu mengakses sarana pendidikan, kesehatan, dan nutrisi secara baik sehingga menyebabkan kualitas sumberdaya manusia dari aspek intelektual dan fisik rendah, berakibat produktivitas juga rendah.
Garis kemiskinan pada September 2020 tercatat sebesar Rp 458.947,-/kapita/bulan dengan komposisi garis kemiskinan makanan sebesar Rp 339.004,- (73,87 persen) dan garis kemiskinan bukan makanan sebesar Rp119.943,- (26,13 persen).
Pada September 2020, rumah tangga miskin di Indonesia rata-rata memiliki 4,83 orang anggota rumah tangga.
Dengan demikian, besarnya garis kemiskinan per rumah tangga miskin secara rata-rata sebesar Rp 2.216.714,-/rumah tangga miskin/bulan atau garis kemiskinan harian sekitar Rp.74 ribu/rumah tangga/hari.
Banyak faktor penyebab kemiskinan sebagaimana dikemukakan para ahli.
Menurut Nugroho dan Dahuri (2004), Penyebab kemiskinan dapat terjadi karena kondisi alamiah dan ekonomi, kondisi struktural dan sosial, serta kondisi kultural (budaya).
Sedangkan menurut Cox (2004, dalam Awang Faroek (2006), terjadinya kemiskinan diakibatkan dampak globalisasi dan proses pembangunan.
Paradigma pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi sebagai biang dari peminggiran masyarakat.
Sahdan (2005) mengemukakan 60% penduduk miskin di Indonesia tinggal di daerah perdesaan, hingga saat ini tetap menjadi kantong utama kemiskinan.

Penyebab utama kemiskinan desa adalah:
(1) pendidikan yang rendah;
(2) ketimpangan kepemilikan modal dan lahan pertanian;
(3) ketidakmerataan investasi di sektor pertanian;
(4) alokasi anggaran kredit yang terbatas;
(5) terbatasnya ketersediaan bahan kebutuhan dasar;
(6) pengelolaan ekonomi secara tradisional;
(7) rendahnya produktivitas dan pembentukan modal;
(8) budaya menabung yang belum berkembang;
(9) tidak adanya jaminan sosial bagi masyarakat desa; dan
(10) rendahnya jaminan kesehatan.
Adapun penyebab kemiskinan menurut masyarakat miskin sendiri adalah kurangnya modal, pendidikan, keterampilan, dan kesempatan kerja; dan rendahnya pendapatan (Tim Studi KKP, 2004).
Menurut Wika, et al, 2008, ada dua faktor penyebab kemiskinan yaitu faktor internal dan faktor eksternal yang sering dinyatakan sebagai :
(a) kelangkaan sumberdaya alam, (b) Kelangkaan sumberdaya manusia dan teknologi,
(c) Kelangkaan Faktor produksi modal, baik modal ekonomi maupun modal sosial,
(d) dan terakhir faktor struktural
Kemiskinan di Sumsel
Hampir tidak ada alasan kenapa kemiskinan di Sumatera Selatan masih tinggi minimal selama lima tahun terakhir karena faktor-faktor penyebab kemiskinan yang dikemukakan para ahli diatas telah diakomodir dan menjadi pertimbangan dalam menetapkan kebijakan penanggulangan kemiskinan.
Minimal ada 2 kebijakan inovatif yang telah diterbitkan pemerintah propinsi Sumatera Selatan, yaitu Gertak Sejuta Mandiri, dan Aplikasi penduduk miskin by name by addres.
Hanya sayangnya kebijakan tersebut kurang mendapat dukungan dari berbagai aspek dan dari berbagai pihak sehingga kebijakan tersebut hanya pada tahapan sent tapi bukan delivery.
Dari hasil wawancara dan diskusi terbatas yang dilakukan penulis dengan beberapa stakeholders di daerah di Sumatera Selatan beberapa waktu lalu, memberikan gambaran bahwa kemiskinan yang terjadi di Sumatera Selatan didominasi oleh kemiskinan struktural.
Kemiskinan struktural tidak menunjuk pada individual yang miskin karena malas bekerja sehingga tidak mendapatkan penghasilan, tetapi lebih banyak karena struktur sosial masyarakat yang ada telah membatasi hak-hak mereka untuk mendapatkan/menggunakan sumber-sumber pendapatan yang tersedia untuk mereka.
Dalam kelompok miskin secara struktur ini, ada para petani yang tidak bertanah atau mempunyai garapan yang sangat kecil, sehingga tidak mencukupi untuk pemenuhan hidupnya.
Juga golongan yang tidak terdidik dan terlatih yang disebut ‘unskilled labores’ yang terhambat untuk memasuki pasar kerja, golongan miskin itu juga meliputi para pengusaha kecil tanpa modal dan tanpa fasilitas dari pemerintah, dan atau golongan ekonomi lemah.
Minimal ada 4 alasan dan argumentasi dari kacamata kebijakan publik untuk menjawab pertanyaan, kenapa kemiskinan di Sumsel masih tinggi, yaitu :
1. Lemahnya komitmen pimpinan
Lemahnya komitmen pimpinan di tingkat propinsi maupun kabupaten/kota ditunjukkan pada terbatasnya dukungan program dan penganggaran dalam penanggulangan kemiskinan.
Meski telah masuk dalam prioritas pembangunan RKPD (Rencana Kerja Pembangunan Daerah) setiap tahunnya tapi implementasinya rendah dan terbatas sehingga tidak nyata hasilnya.
Terkesan kurangnya sense of crisis pimpinan daerah terhadap masalah kemiskinan sehingga program penanggulangan kemiskinan terkalahkan bahkan terpinggirkan dari program pembangunan lainnya.
Kondisi ini dibuktikan dengan majunya pembangunan infrastruktur di Sumatera Selatan tapi tidak berkorelasi positif dengan penurunan angka kemiskinan.
Kedepan perlu pemantapan komitmen pimpinan daerah dan menjadikan kemiskinan sebagai “musuh bersama” yang perlu dilawan, dikeroyok, dan diatasi bersama di propinsi, kab/kota sesegera mungkin.
2. Lemahnya kolaborasi
Kemiskinan bukanlah masalah dan tanggung jawab pemerintah saja melainkan juga menjadi masalah dan tanggung jawab dunia usaha, perguruan tinggi, dan masyarakat sehingga menanggulangi kemiskinan harus dilakukan secara kolaborasi antara semua stakeholders.
Lemahnya kolaborasi mengakibatkan pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan tersendat dan bagai “berjalan di tempat”.
Visi “Sumsel maju bersama” dengan sasaran 16 maju sektoral seperti maju pendidikan, maju kesehatan, maju pertanian, maju energy, maju infrastruktur dan seterusnya mengesankan silo–silo sasaran sektoral yang tidak terkolaborasi dengan baik.
Dalam penaggulangan kemiskinan konsep demikian kurang tepat karena setiap sektor akan fokus dan sibuk dengan program untuk mencapai sasaran utama nya dan sasaran program penanggulangan kemiskinan dianggap sebagai program tambahan saja.
Kedepan kolaborasi dalam aksi keroyokan penanggulangan kemiskinan di daerah mesti menjadi keharusan.
Dan seyogyanya dimulai dari penyusunan pohon kinerja (Cascading) penanggulangan kemiskinan yang komprehensif dengan melibatkan semua stakeholders sampai ke level terbawah.
3. Lemahnya keberpihakan kepada sektor pertanian dan UMK
Sebagaimana dimaklumi bahwa kemiskinan di Sumatera Selatan sebagaian besar pada penduduk yang berkerja di sektor pertanian dalam arti luas (tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, dan perikanan) yang berada di pedesaan.
Seyogyanya sektor pertanian dapat menjadi lokomotif penurunan angka kemiskinan di Sumatera Selatan.
Untuk itu diperlukan program-program pembangunan pertanian yang inovatif, berbasis kewilyahan, dan didominasi pertanian rakyat.
Dengan menjadikan sektor pertanian sebagai lokomotif penurunan kemiskinan maka sektor lainnya di propinsi maupun di kabupaten/kota harus mendukung sepenuhnya dengan program dan aksi nyata sesuai pohon kinerja yang telah dibuat bersama.
Selanjutnya Usaha Mikro Kecil (UKM) terbukti mampu mereduksi kemiskinan di daerah karena dari berbagai data yang ada penyebab kemiskinan yang utama di Indonesia adalah tingginya angka pengangguran.
UKM memiliki peranan yang bisa dikembangkan sebagai salah satu potensi penciptaan lapangan kerja bagi penduduk miskin.
Tapi UKM memiliki keterbatasan kesempatan untuk melakukan kegiatan usaha dikarenakan rendahnya kepemilikan aset dan terbatasnya akses terhadap faktor produksi.
Keberpihakan pemerintah daerah kepada UKM dirasakan masih sangat terbatas, baik dalam mendukung penguatan kelembagaan maupun permodalan.
Kedepan diperlukan kebijakan keberpihakan yang tegas kepada UKM melalui fasilitas pembinaan, penguatan modal dan kemudahan berusaha mengingat lebih dari 90 % usaha di daerah masih didominasi UKM.
4.Lemahnya manajemen pelaksanaan program pengentasan kemiskinan, yang ditunjukkan antara lain oleh :
a. Lemahnya instusi pengelola program pengentasan kemiskinan
b. Kebijakan penggunaan data basis keluarga miskin belum secara operasional dipergunakan sebagai intervensi program pengentasan kemiskinan di OPD propinsi maupun Kab/Kota.
c. Belum ada mekanisme dan sistem pencatatan, pelaporan, pengendalian dan evaluasi program pengentasan kemiskinan yang sistematis, konsisten, dan berkelanjutan.
d. Dukungan anggaran operasional pengentasan kemiskinan yang masih terbatas.
Mengingat kemiskinan di Sumatra Selatan lebih didominasi oleh kemiskinan struktural maka peran pemerintah daerah secara terencana, terkolaborasi, dan inovatif sangat menentukan keberhasilan penanggulangan kemiskinan tersebut.
Visi “Sumsel Maju Untuk Semua” kiranya dapat menjadi tantangan bersama semua stakeholders untuk dapat maju dalam upaya penurunan angka kemiskinan di Sumatera Selatan dan bukan sebaliknya.-ans