Opini

Bawang Merah dan Bawang Putih: Koperasi Merah Putih

Tak sedikit program ekonomi rakyat berhenti di pintu birokrasi desa, bukan karena ide buruk, tetapi tak lolos dari filter kuasa tak tertulis.

Editor: tarso romli
handout
Dr Ahmad Maulana, Dosen Jurusan Managemen Unsri 

DALAM kisah klasik “Bawang Merah dan Bawang Putih”, kita diajarkan bahwa kebaikan yang tulus sering kali tersingkir oleh kelicikan yang berwajah manis.

Zaman berganti, teknologi melesat, jargon pembangunan terus diperbarui, namun pola kisah itu tak pernah benar-benar hilang. Ia hanya berganti wujud dimulai dari rumah kayu dan tungku api, menjadi ruang rapat dan dokumen kebijakan.

Kini, dongeng lama itu menemukan panggung barunya di dunia ekonomi rakyat: Koperasi Merah Putih.

Program ini hadir dengan gegap gempita dan narasi kebangsaan yang menggugah: menyatukan kekuatan ekonomi desa, memperkuat koperasi rakyat, dan meneguhkan semangat gotong royong dalam wajah modern.

Dalam semangatnya, kita seperti disuguhi mimpi besar tentang kemandirian ekonomi Indonesia dari akar rumput. Namun seperti halnya banyak mimpi di negeri ini, aroma kepentingan sering lebih tajam tercium daripada harumnya niat baik.

Ketika modal yang diklaim mencapai ratusan triliun diumumkan, publik sempat terpana. Tetapi bagi kalangan ekonomi, angka itu lebih mirip dongeng baru ketimbang rencana bisnis yang masuk akal.

Klaim keuntungan hingga Rp 2000 triliun per tahun terdengar megah, namun kosong dari logika. Transparansi data dan kejelasan sumber dana menjadi persoalan sejak awal.

Apa yang seharusnya dimulai dengan kepercayaan publik justru menimbulkan tanda tanya: apakah Koperasi Merah Putih benar-benar dirancang untuk rakyat, atau sekadar proyek politik yang diselimuti simbol nasionalisme?

Ironisnya, koperasi yang mengusung nama “merah putih” justru mulai dipertanyakan kemerahan niat dan putihnya nurani para pengelolanya.

Masalah terbesar program semacam ini bukan terletak di gedung kementerian atau meja menteri, tetapi di lapangan atau di desa, di mana struktur sosial sudah lama berakar dan sering kali lebih kuat daripada peraturan. 

Dalam dunia nyata pembangunan desa, selalu ada “penjaga gerbang tak bernama” dengan sosok-sosok yang tidak tercatat dalam struktur formal, tetapi semua pihak tahu betapa besar pengaruhnya.

Mereka adalah mereka yang kerap memperlakukan mandat sebagai mahkota dan akses sebagai alat kuasa.

Mereka memposisikan diri sebagai pengatur lalu lintas pembangunan: siapa yang boleh lewat, siapa yang harus menunggu, siapa yang tak pantas melintas.

Di tangan mereka, program pembangunan berubah menjadi semacam ritual: sebelum memulai, harus menghadap, memberi salam, dan menunggu restu.

Kita mengenal mereka bukan dari kartu identitas, tetapi dari gaya bicara dan sorot mata. Mereka hadir di setiap rapat koordinasi, duduk di kursi tengah, berbicara paling banyak, dan paling keras menegaskan bahwa semua harus “terkoordinasi melalui mereka”.

 Dalam satir halus masyarakat desa, mereka disebut “orang yang lebih tinggi dari pagar balai desa”.

 Di sinilah, moral hazard tumbuh dan bukan dalam bentuk korupsi terbuka, tetapi lewat rasa kepemilikan yang berlebihan terhadap program. Rasa itu menjelma menjadi kontrol sosial yang membungkam inisiatif.

Dalam sistem yang seharusnya partisipatif, muncul wajah baru feodalisme ekonomi. Dulu, tuan tanah menguasai sawah dan tenaga rakyat.

Kini, raja kecil di tingkat lokal menguasai akses, rekomendasi, dan restu administratif. Mereka yang seharusnya menjadi fasilitator berubah menjadi penyaring kepentingan.

Hubungan yang mestinya kolaboratif berubah menjadi hierarkis. Orang-orang di lapangan yang mencoba membawa inovasi sering kali dihadapkan pada pilihan: tunduk atau tersingkir.

Tak sedikit program ekonomi rakyat berhenti di pintu birokrasi desa, bukan karena ide buruk, tetapi karena tak lolos dari filter kuasa tak tertulis itu.

0Di sinilah pembangunan kehilangan ruhnya, karena mereka yang memegang mandat lupa bahwa kuasa adalah amanah, bukan alat untuk menegaskan dominasi.

Dalam konteks inilah, Koperasi Merah Putih menghadapi rintangan yang tak selalu bisa dijelaskan oleh laporan kinerja: ego personal, rasa memiliki semu, dan ketakutan kehilangan pengaruh.

Sebelum nama besar Koperasi Merah Putih digaungkan, telah ada banyak inisiatif lokal yang tumbuh dengan semangat kemandirian.

 Di berbagai daerah, program-program yang lebih dulu berjuang yang dibangun dengan keringat dan kejujuran telah lama menjadi tulang punggung ekonomi desa.

Namun kini, mereka seperti kehilangan panggung. Dana, perhatian, dan kebijakan mengalir ke program baru yang belum tentu siap beroperasi.

Para penggerak ekonomi desa yang setia menjaga denyut usaha kecil di wilayahnya, kini menatap getir dari pinggir arena.

Perjuangan mereka tak kalah heroik, tapi kalah dalam sorotan. Karena di negeri ini, yang lebih muda sering lebih disanjung, meski belum tentu lebih matang.

Koperasi sejatinya lahir dari filosofi gotong royong. Ia menolak logika kapitalisme murni dan menempatkan solidaritas sebagai fondasi utama.

Namun ketika semangat itu digunakan sebagai kendaraan politik atau alat memperluas pengaruh pribadi, koperasi kehilangan jiwanya.

Banyak “penjaga pembangunan” di lapangan lebih sibuk mengatur jalannya program ketimbang memastikan rakyat paham esensinya.

Mereka menilai keberhasilan bukan dari manfaatnya bagi masyarakat, melainkan dari seberapa besar posisi mereka terangkat. Dalam logika semacam ini, pemberdayaan berubah menjadi penguasaan.

Pendampingan menjadi pengendalian. Pembangunan bukan lagi proses belajar bersama, melainkan arena mempertahankan hierarki.

Fenomena ini melahirkan wajah baru feodalisme administrative, yaitu birokrasi yang tampak rapi di atas kertas tetapi pincang di lapangan.

Setiap kegiatan harus memiliki tanda tangan, setiap ide harus menunggu surat rekomendasi, dan setiap langkah harus disesuaikan dengan siapa yang sedang berkuasa. Program sebesar Koperasi Merah Putih pun akhirnya berjalan lambat.

Bukan karena kekurangan dana, tetapi karena kelebihan orang yang ingin menentukan arah. Desa yang seharusnya menjadi ruang inovasi berubah menjadi ruang tunggu. Mereka yang berani berpikir berbeda dianggap pembangkang, sementara yang pandai menyanjung justru naik pangkat sosial.

Jika pola ini terus dibiarkan, Koperasi Merah Putih berisiko kehilangan legitimasi moral sebelum sempat berdiri tegak.

Ia akan menjadi sekadar simbol baru dari proyek lama: memindahkan kuasa ekonomi dari tangan masyarakat ke tangan raja kecil di tingkat lokal. Dan ketika publik melihat bahwa hasilnya sama saja, maka yang diuntungkan tetap orang itu-itu juga dan kepercayaan terhadap gagasan koperasi akan kembali runtuh.

Rakyat akan menilai semua program dengan sinisme: “pada akhirnya, mereka untuk mereka, bukan untuk kita.” Padahal, di atas kertas, koperasi ini berpotensi menjadi instrumen besar untuk pemerataan ekonomi rakyat.

Tetapi potensi tak akan berubah menjadi kenyataan jika tak ada keberanian moral untuk membersihkan akar masalah di tingkat pelaksana.

Pemberdayaan sejati menuntut perubahan paradigma: dari penguasaan menjadi pelayanan, dari hierarki menjadi kolaborasi. Mereka yang bekerja di lapangan, apa pun jabatannya harus kembali menyadari bahwa mandat bukanlah mahkota.

Tugas mereka adalah menjadi jembatan, bukan tembok. Fasilitator, bukan penguasa. Menguatkan, bukan menundukkan. Kita sering lupa bahwa pembangunan yang berhasil tidak lahir dari banyaknya program, tetapi dari tulusnya pelaksana.

Selama ego pribadi masih menjadi fondasi hubungan kerja di desa, maka setiap program, betapa pun besar anggarannya, hanya akan berakhir sebagai ritual administratif tanpa jiwa.

Dalam bayangan Bawang Merah dan Bawang Putih, para pengatur yang terjebak dalam perilaku moral hazard adalah perwujudan Bawang Merah: penuh kepura-puraan, haus pujian, dan takut kehilangan kendali.

Sementara di sisi lain, para penggerak kecil di desa, pengelola program yang lebih dulu berjuang, dan masyarakat yang bekerja tanpa pamrih, adalah sosok Bawang Putih yang terus melangkah dalam kesunyian.

Sejarah kelak akan mencatat siapa yang sungguh-sungguh membangun ekonomi rakyat, dan siapa yang sekadar menunggangi jargon merah putih untuk mempertahankan kuasa.

Akhir dari kisah ini memang belum bisa ditulis. Namun bila negeri ini ingin menutup cerita dengan bahagia, maka kita harus berani memilih menjadi Bawang Putih yang berpihak pada kejujuran, bukan kedekatan; pada amanah, bukan pada arogansi.

Karena sesungguhnya, pembangunan ekonomi rakyat tidak pernah gagal karena kekurangan dana, melainkan karena kelebihan orang yang merasa paling tahu dan paling berhak atas segalanya.

Dan selama mentalitas itu masih menguasai ruang desa, maka apa pun nama programnya, bahkan seindah “Koperasi Merah Putih” hanya akan menjadi bab baru dari dongeng lama yang tak pernah selesai. (*)

Sumber: Sriwijaya Post
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved