Mimbar Jumat
Menjemput Ketenangan di Era Gelisah: Kembali ke Spirit Tasawuf
Dalam beberapa dekade terakhir, kajian ilmiah mulai mengeksplorasi hubungan antara praktik spiritual Islam dan kesehatan mental.
PROLOG
Sekitar 57 tahun lalu ada sebuah buku menarik berjudul Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (1968) yang ditulis Seyyed Hossein Nasr, seorang intelektual asal Iran dan alumni Harvard University serta pengajar di George Washington University.
Tokoh penting ini banyak melakukan kritik terhadap nalar modern sekuler Barat. Energi intelektual dan nalar kemanusiaan yang dipompa oleh ideologi kapitalisme dan materialisme hanya akan menghancurkan reputasi kemanusiaan yang waras.
Sosok manusia modern yang dikendalikan spirit materialistik-hedonistik sungguh telah melahirkan wujud “orang gila” di masa modern (madness of the modern man), yaitu sosok manusia yang mengalami krisis spiritual atau semacam fenomena kegilaan eksistensial global.
Banyak pemikir muslim yang telah menjelaskan pentingnya nilai-nilai spiritual sebagai solusi bagi krisis kemanusiaan modern.
Krisis yang dialami manusia modern bukan semata-mata masalah ekonomi atau teknologi, tetapi berupa krisis makna, krisis relasi dengan diri sendiri, dan seringkali krisis spiritual.
Dalam konteks ini, spirit keislaman menawarkan sumber daya etis dan praktis untuk menjemput kembali ketenangan batin. Umat Islam mesti kritis dalam memahami pesan-pesan Tuhan dalam kitab suci dan tradisi kenabian.
Nalar agama harus dipertajam dan tidak boleh berkutat pada aspek legalitas formal namun harus lintas batas menembus sisi-sisi terdalam dari khazanah kearifan Islam. Karena itu, pendidikan yang melahirkan peradaban Islam semestinya mampu mendorong munculnya cara pandang baru yang lebih produktif dalam menemukan solusi unik dan genuine dari berbagai problematika modernitas.
Krisis Modernitas dan Urgensi Pendekatan Spiritual
Modernitas termasuk perkembangan teknologi digital dengan berbagai artikulasinya telah membawa banyak kebaikan, kemajuan sains, kesehatan yang lebih baik, dan akses informasi.
Perkembangan ini sekaligus membawa efek samping sistemik berupa meningkatnya angka gangguan kecemasan dan depresi, putaran perhatian yang rapuh (attention fragmentation), serta alienasi sosial meski terkoneksi secara digital.
Riset dan kajian ilmiah kesehatan global menunjukkan bahwa gangguan mental merupakan beban kesehatan masyarakat yang besar dan meningkat pada kelompok muda di era pasca-2010-an. Fakta ini mengingatkan bahwa kemajuan material belum tentu berbanding lurus dengan kesejahteraan jiwa.
Islam mengenal istilah konsep yang sangat penting terkait dengan fakta meningkatnya kegelisahan global, yakni konsep tentang sakinah (ketenangan, ketenteraman).
Dalam al-Qur’an kata “sakinah” muncul berulang kali yang menunjukkan bahwa kesejahteraan batin bukanlah soal sekadar pengelompokan emosi, tetapi bagian integral dari hubungan manusia dengan Sang Pencipta. Allah menegaskan: “Sesungguhnya dalam mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.” (Q.S. Ar-Ra’d: 28).
Ayat ini bukan sekadar bernuansa teologis, namun ia merupakan protokol spiritual yang relevan yakni menjaga kondisi ingatan dan kesadaran pada Tuhan (dzikr).
Mengingat Tuhan (dzikr al-Allah) adalah pengakuan terhadap keterbatasan diri dan sekaligus penyerahan secara sadar kepada Tuhan yang dapat memberi dampak psikologis yang nyata berupa pengurangan kegelisahan, penguatan harapan, dan pemaknaan ulang pengalaman hidup.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/palembang/foto/bank/originals/Abdurrahmansyah-UIN-RF-Palembang.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.