Berita Palembang

Kisah Para Pengangkut Sampah Palembang, Pulang Tengah Malam Langsung Antre Solar

Namun, suasana kontras terlihat di Depo Sampah Sementara (TPS) Silaberanti, Jalan Jenderal A. Yani, Kamis (20/11/2025) sore.

Penulis: Syahrul Hidayat | Editor: Yandi Triansyah
SRIPOKU.COM / Syahrul Hidayat
BERSIHKAN SAMPAH -- Petugas kebersihan saat berjibaku memindahkan sampah rumah tangga dari depo TPS Silaberanti ke atas truk, Kamis (20/11/2025). Setiap hari, para pahlawan kebersihan ini mengangkut berton-ton limbah demi menjaga kebersihan Kota Palembang. 
Ringkasan Berita:
  • Deddy Bambang salah seorang petugas kebersihan pengangkut sampah di Depo Sampah Sementara (TPS) Silaberanti Kota Palembang.
  • Setiap hari sekitar 6 ton sampah ia angkut ke truk untuk menuju ke TPA. 
  • Belum pulang sebelum sampah semua terangkut menjadi motto ia dan rekannya. 
  • Harapannya warga semakin sadar membuang sampah di lokasi yang disediakan. 

 

SRIPOKU.COM, PALEMBANG - Ketika rona jingga di langit Musi mulai memudar berganti pekatnya malam, sebagian besar warga Palembang sudah bersiap merebahkan diri di rumah.

Namun, suasana kontras terlihat di Depo Sampah Sementara (TPS) Silaberanti, Jalan Jenderal A. Yani, Kamis (20/11/2025) sore.

Di sana, aroma menyengat bukan penghalang. Tiga sosok pria justru baru memulai "ronde kedua" pertarungan mereka. Salah satunya adalah Deddy Bambang (42).

Warga kawasan Musi 2 ini adalah satu dari sekian banyak garda terdepan kebersihan Kota Palembang.

Baca juga: Aliran Sub DAS Bendung Palembang Dipenuhi Sampah Kiriman, Walikota: Ditindak Sesuai Aturan

Tubuhnya yang kekar hasil tempaan rutin mengangkat berton-ton limbah ke atas truk menjadi saksi bisu betapa kerasnya profesi yang ia jalani selama empat tahun terakhir.

Bagi Deddy dan timnya, moto kerja mereka sederhana namun tegas: “Belum pulang sebelum sampah semua terangkut.”

Tanggung jawab di TPS Silaberanti memang tidak main-main. Dalam sehari, tim ini wajib mengangkut sampah dalam dua kali ritase (putaran).

Sekali angkut, truk bisa memuat hingga 3 ton sampah. Artinya, total 6 ton sampah harus mereka pindahkan ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) setiap harinya.

“Alhamdulillah, dikatakan cukup ya cukup, dikatakan tidak ya juga tidak. Kita syukuri saja,” ujar Deddy tersenyum simpul saat disinggung soal upah Rp 100.000 per hari yang diterimanya setiap Jumat.

Diceritakan Deddy mereka juga sambil angkut sampah juga menyortir sampah sampah yang masih bisa dimanfaatkan dan menghasilkan pundi rupiah.

Seperti kertas kardus dan plastik, mereka pilih dan dikumpulkan kemudian dijual di penampungan akhirnya menghasilkan rupiah dan mereka berbagi rezeki sesama kelompok mereka sendiri.

“Alhamdulillah bisa terkumpul kami dapat rezeki 50 ribu hingga 70 ribu per orang. Sopir juga kami bagi,” ungkap Deddy yang murah senyum ini.

Mereka kerja pun dilengkapi sarung tangan karet dan sepatu boot.

Pantauan di lapangan pada Jumat (21/11/2025), gunungan sampah dalam kantong kresek dan karung plastik tampak memadati TPS. Menurut Deddy, volume ini masih tergolong wajar.

“Ini masih terbilang sedikit, pernah lebih dari ini. Kami tidak akan pulang sebelum bersih. Telat sedikit saja diangkut, sudah pasti menggunung,” jelasnya sembari menyeka keringat.

Lebaran Tak Bisa Pulang

Deddy dan Rafiq juga harus berdamai dengan cuaca. Hujan membuat beban sampah bertambah berat karena basah, sementara panas terik membakar kulit. Sakit meriang sudah jadi makanan sehari-hari yang mereka anggap biasa.

Lebih getir lagi saat Hari Raya tiba. Ketika warga Palembang berkumpul bersama keluarga menyantap ketupat dan pempek, mereka justru lembur di jalanan karena volume sampah melonjak drastis.

“Ya gimana lagi, sudah tugas demi Palembang bersih. Walaupun susah hati, kami tetap semangat. Keluarga pun sudah maklum,” ungkap Rafiq dengan nada tegar.

Di balik kerja keras tim yang terdiri dari satu sopir dan tiga kernet ini, ada satu hal yang kerap memicu kejengkelan, perilaku warga yang membuang sampah sembarangan.

“Harapan kami ke warga, buanglah sampah di sini (TPS), jangan sembarangan. Apapun sampahnya pasti kami angkut,” tegas Deddy.

Ia kemudian menambahkan dengan gurauan, “Asal jangan tebangan pohon utuh yang dibuang di sini,” ujarnya terbahak.

Jam kerja mereka jauh dari kata normal. Dimulai sejak pukul 07.00 pagi, seringkali mereka baru bisa melepas lelah sekitar pukul 23.00 malam.

Namun, tantangan terberat saat ini bukan hanya bau sampah, melainkan sulitnya mendapatkan bahan bakar solar.

Rafiq, sang sopir truk, menumpahkan keluh kesahnya. Seringkali energi mereka habis bukan karena bekerja, melainkan karena mengantre BBM.

“Kami seharian kerja angkut sampah, selesai itu harus isi BBM solar dan antre kadang sampai larut malam. Kapan lagi kami istirahat?” keluh Rafiq.

Tak jarang, saat giliran tiba, solar habis, memaksa mereka merogoh kocek membeli eceran demi tugas tuntas.

“Kalau bisa, truk sampah ini dapat prioritas untuk beli solar,” harapnya penuh penekanan.

Di tengah kerasnya perjuangan, Deddy punya cerita unik yang tak terlupakan.

Ia pernah menemukan perhiasan emas di tengah tumpukan sampah sebuah rezeki tak terduga dari Sang Pencipta untuk peluh keringatnya.

Tanpa Deddy, Rafiq, dan rekan-rekannya, Kota Pempek mungkin sudah berubah menjadi lautan sampah.

Mereka adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang bekerja dalam senyap, memastikan wajah "Bumi Sriwijaya" tetap indah dipandang.

Sumber: Sriwijaya Post
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved