Motif Kematian Arya Daru

DUGAAN Cinta Segitiga di Kasus Arya Daru, Keluarga tak Terima Dicap Bunuh Diri: Almarhum tak Begitu

Ditambah misteri di hari-hari terakhir: Arya terlihat di Grand Indonesia bersama dua orang, Dion dan Farah.

Editor: Fadhila Rahma
Kolase Istimewa
KASUS tewasnya diplomat muda kemlu, Arya Daru Pangayunan (ADP) yang jasadnya ditemukan dalam kondisi terlilit lakban kuning di kamar kosnya di Jalan Gondangdia Kecil, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (8/7/2025). Foto keluarga membawa foto almarhum Arya Daru Pangayunan, di rumah duka di Jalan Munggur, Bantul, Jogyakarat. (KIRI). Foto ADP semasa hidupnya bersama istri (Kanan) 

Pria kelahiran Sleman, DI Yogyakarta itu jgua menderita luka lecet di bibir, leher, dan pipi. Arya juga diketahui mengidap penyakit ginjal.

Direskrimum Polda Metro Jaya, Kombes Wira Satya Triputra pun menegaskan dari serangkaian penyelidikan yang telah dilakukan, kematian Arya tidak mengandung unsur pidana apapun.

"Bahwa penyelidikan yang kami lakukan, kami simpulkan belum menemukan adanya peristiwa pidana," katanya dalam kesempatan yang sama.

Kendati demikian, Wira menegaskan penyelidikan akan terus dilakukan terkait kasus ini.

Dia mengatakan pihaknya tetap membuka jika ada pihak lain yang ingin memberikan masukan.

"Sementara kami tetap akan menerima masukan apabila ada informasi, kami tetap tampung," tegasnya.

Kondisi Psikologis Arya

Ahli digital forensik dari Ditsiber Polda Metro Jaya, Ipda Saji Purwanto, menuturkan Arya sudah memiliki niat untuk bunuh diri sejak tahun 2013.

Dia mengungkapkan hal itu diketahui dari ponsel lama milik Arya yang ditemukan di kamar kosnya.

Ia menambahkan ponsel itu terakhir kali aktif pada 21 September 2022 lalu.

Sementara, keinginan Arya ingin bunuh diri diketahui melalui pengiriman pesan dari emailnya ke salah satu badan amal yang bergerak di bidang kesehatan mental.

"Kami menemukan ada pengiriman email yang dimiliki atau digunakan oleh pengguna digital evidence, alamatnya adalah ddaru_c@yahoo.com dikirim ke salah satu badan amal yang menyediakan layanan dukungan terhadap orang yang memiliki emosional yang mengalami perasaan tertekan dan putus asa hingga dapat menyebabkan bunuh diri," katanya.

Delapan tahun kemudian, Saji mengatakan pesan serupa dikirimkan kembali oleh Arya. Bahkan, sambungnya, Arya semakin memiliki keinginan kuat untuk mengakhiri hidupnya.

Dia mengatakan alasan Arya ingin bunuh diri karena masalah yang dihadapinya. Namun, Sadji tidak menjelaskan masalah seperti apa yang dihadapi pria kelahiran Sleman, DI Yogyakarta, tersebut.

"Kemudian di segmen pada tahun 2021, dimulai dari tanggal 24 September 2021 sampai dengan 5 Oktober 2021 sebanyak sembilan segmen. Intinya adalah sama ada niatan semakin kuat untuk melakukan bunuh diri karena problem yang dihadapi," jelasnya.

Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum Asosiasi Psikologi Forensik (Apsifor) Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi), Nathanael Sumampouw, menuturkan Arya mengalami burnout secara psikologis dan lelah kepedulian karena profesinya sebagai diplomat.

Nathanael mengungkapkan peran Arya yaitu melindungi warga negara Indonesia (WNI) yang terjebak dalam situasi krisis, menuntut adanya korban harus selalu berempati tinggi dan memiliki ketahanan psikologis.

“Yang (peran) ini semua tentu menimbulkan dampak seperti burnout, compassion fatigue atau kelelahan kepedulian, terus menerus terpapar dengan pengalaman-pengalaman penderitaan, trauma,” kata Nathanael.

Arya, kata Nathanael, dikenal sebagai pribadi yang positif di lingkungan kerja dan pergaulannya.

Namun, hal tersebut justru membuat Arya sulit mengekspresikan emosi negatif, terutama saat menghadapi tekanan tinggi.

“Tekanan tersebut dihayati secara mendalam sehingga mempengaruhi bagaimana almarhum memandang dirinya, memandang lingkungan, memandang masa depan,” ungkap dia. 

Namun, korban berusaha menginternalisasi berbagai emosi negatif dan tidak menunjukkannya di depan orang lain. 

“Meskipun demikian kami menemukan bahwa pada almarhum ada riwayat di mana berupaya untuk mengakses layanan kesehatan mental secara daring,” ujar dia. 

“Terakhir kali, dari data-data yang dihimpun, kami melihat kurang lebih pada tahun 2021. Awalnya dari data yang dihimpun dari tahun 2013,” tambah Nathanael.

Meski menghadapi dinamika psikologis yang kompleks, kepribadian Arya yang cenderung menekan perasaan membuatnya sulit mengelola kondisi psikologis negatif secara adaptif dan lebih memilih untuk menutupinya.

“Setelah terakumulasi penghayatan almarhum tersebut mengenai dirinya, masalah tekanan hidup, di episode terakhir kehidupannya ini, kemudian mempengaruhi proses pengambilan keputusan almarhum terkait cara kematiannya atau upaya untuk mengakhiri kehidupannya,” kata Nathanael.

 

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved