Mimbar Jumat

Wajah Kontroversi dari yang Berpengetahuan

PENGETAHUAN adalah merupakan segenap apa yang kita ketahui, tentang suatu objek tertentu, termasuk di dalamnya adalah ilmu.

Editor: Yandi Triansyah
handout
Syefriyeni Guru Besar UIN Raden Fatah Palembang 

 Ulul albab adalah orang-orang yang memiliki kesadaran yang benar, membuka mata hati mereka untuk menerima ayat-ayat kauniyah Allah tanpa memberi penghalang dan tidak menutup setiap pintu yang menghubungkan antara dirinya dengan ayat-ayat tersebut. Begitu juga dengan memahami ayat-ayat qauliyah.

Apa yang diambil oleh orang yang berakal; memikirkan, menganalisis dan i’tibar, tentu akan menjadi pengetahuan yang disadari.

Jadi, sangat jelas dalam Islam secara konsep dan praktik idealisasinya atau rujukannya bahwa orang yang memiliki akal, yang berpengetahuan, akan sampai kepada Tuhannya, dengan tidak menciderai sikap dan lakunya kepada hal-hal yang melawan pengetahuannya sendiri. Orang yang berakal akan memiliki sebuah kesadaran dengan benar, tanpa memanipulasinya untuk kepentingan yang lain. Sehingga akan merefleksi dalam sikap dan perilaku yang baik dan benar.

Nah, bagaimana pada kasus oknum diatas, orang yang tidak mampu menyatukan nilai-nilai dengan pengetahuannya.

Justru pengetahuan menjadi dikuasai untuk melayaninya, melayani kehendak dan keinginan nafsunya, seperti pemberitaan di media massa, pengasuh rumah panti yang melecehkan anak asuhnya sendiri. Juga pengasuh pondok yang melecehkan santrinya sendiri, lalu dibungkus dengan mengatakan sebuah pelayanan santri kepada pengasuhnya. Pada titik ini, apa yang dipetuahkan Leluhur kita dulu dengan ‘ilmu padinya’, tidaklah kita lihat pada kasus tersebut.  

Maka tentu kita akan bertanya, apakah orang yang katakanlah “melawan pengetahuannya sendiri” terkategori orang yang sedang berpengetahuan. Tentulah tidak jika kita merujuk kepada ayat diatas, dan juga diperkuat dengan falsafah klasik. Kenapa orang yang secara sekolahan tamat, dan bahkan mengajarkan, namun tidak terkategori yang berpengetahuan.

Karena mereka sama sekali tidak memiliki kesadaran yang benar. Pada diri mereka sama sekali tidak terjadi dialog dalam jiwanya dari pengetahuan yang diperolehnya. Sehingga pengetahuan mereka hanya sebagai informasi-informasi belaka.

Bukan pengetahuan yang sebenarnya, yang mampu membentuk sikap mental ke arah pertumbuhan kualitas hidup dan mampu menjadikannya sebagai manusia sebenarnya. Seseorang yang tidak mendialogkan pengetahuan dengan jiwanya tidak akan bertemu dengan kesadaran yang lurus.

Tidak heran kita lihat bahwa ada orang yang sekolahan, sarjana, atau dipandang memiliki tingkat pengetahuan lebih, tapi masih korupsi, membullying, melecehkan, dan lain sebagainya.

Bahkan, yang menyedihkan, oknum pada kasus tersebut, yang dipandang berpengetahuan agama, namun tidak menjadikannya untuk mampu mengendalikan kemauan nafsu, tidak mampu menyadarkannya. Ia tidak berhasil mendialogkan pengetahuannya dengan jiwa sejatinya, sehingga tidak membentuk kesadaran yang lurus.

Seolah olah ia menyatakan pada dunia, ia melawan pengetahuannya sendiri. Posisi pengetahuannya menjadi terpisah dengan nilai-nilai yang harus diembannya sebagai pengasuh pondok.

Bahkan terkadang nilai-nilai justru diputar balikkan menjadi yang harus melayani kemauannya. Misalnya nilai-nilai kepatuhan santri diarahkan untuk melayaninya. Nilai-nilai kepatuhan santri atau anak asuhnya, justru diarahkan kepada pelayanan yang sama sekali mengingkari apa yang diajarkannya sebagai sebuah pengetahuan keagamaan.

Fenomena mengingkari pengetahuannya sendiri disindir oleh Alah dalam QS. As-Saff Ayat 3. “(Itu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan”. Terutama untuk pengasuh pondok dan pembinanya. Mereka tidak mendialogkan pengetahuannya dengan jiwa sejatinya, sehingga sama sekali tidak menghasilkan kesadaran yang lurus.

Melahirkan sikap laku yang mengecewakan, melawan pengetahuannya sendiri. Orang-orang seperti ini adalah hasil kontroversi dari yang empunya pengetahuan. Sehingga jika merujuk kepada ayat dan pandangan filsuf diatas, orang seperti ini adalah terkategori sebagai wajah yang tidak berpengetahuan. Karena pengetahuan itu adalah budi luhur, dan jika refleksinya melawan budi luhur berarti tidak berpengetahuan. (*)

Sumber: Sriwijaya Post
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved