Mimbar Jumat

Wajah Kontroversi dari yang Berpengetahuan

PENGETAHUAN adalah merupakan segenap apa yang kita ketahui, tentang suatu objek tertentu, termasuk di dalamnya adalah ilmu.

Editor: Yandi Triansyah
handout
Syefriyeni Guru Besar UIN Raden Fatah Palembang 

Oleh: Syefriyeni
Guru Besar UIN Raden Fatah Palembang

PENGETAHUAN adalah merupakan segenap apa yang kita ketahui, tentang suatu objek tertentu, termasuk di dalamnya adalah ilmu. Pengetahuan merupakan khasanah kekayaan mental kita yang secara langsung ataupun tidak langsung dapat memperkaya kehidupan kita.

Sekiranya dalam kehidupan kita tak ada pengetahuan, maka tentu rumit bagi kita untuk mengerti terutama bagaimana cara kita dalam berkehidupan, dan rumit bagi kita untuk menjawab beberapa pertanyaan yang terkait dengan problem keseharian.

Pengetahuan adalah sumber jawaban bagi manusia tentang apa dan bagaimana dalam ia menjalani hidupnya. Mulai dari tingkat yang sederhana, sampai kepada yang dipandang rumit.

Pengetahuan melekat kepada manusia. Manusialah yang sesungguhnya dapat dikatakan berpengetahuan. Pengetahuan dapat dicari dengan upaya, dapat juga datang dari sebuah kesadaran. Kebanyakan perolehan pengetahuan, diantaranya ilmu, dengan kaidah ilmiah yang terukur, adalah menjadi pola resmi dalam dunia akademi.

Yang tidak luput dari prinsip ontologi, epistemologi dan aksiologi. Karena itu sejatinya orang yang berilmu, sebagai yang berpengetahuan, memiliki kaidah nilai yang sudah direnungkan, diresapi dan dikunyah-kunyah dalam kesadarannya.

Kaidah nilai tersebut bisa terkait dengan nilai-nilai religiusitas, nilai-nilai budaya, dan nilai-nilai yang dibuat untuk kenyamanan bersama atau universal.

Orang yang berpengetahuan sejatinya adalah mereka yang memang seharusnya matang, atau mendekati puncak kematangan dalam cara berpikir, bersikap, dan bertindak. Akan tetapi akhir-akhir ini, muncul fenomena di pemberitaan media massa, ada kasus, oknum dimana yang empunya pengetahuan (pembina, sarjana, yang sekolahan) sama sekali tidak merefleksikan sisi aksiologi (nilai) dalam kematangannya. Bahkan justru terjadi sebaliknya.

Yang sepertinya berpengetahuan malah menciderai apa yang seharusnya menjadi wibawa mahal dari seorang yang berpengetahuan, yaitu berkeperibadian yang baik, bersikap dan laku yang baik. Kasus-kasus pelecehan para siswi/pelajar, pelecehan para mahasiswi, bahkan yang mengerikan pelecehan para santri di pondok, justru terjadi di tempat-tempat yang sebenarnya sangat kita harapkan untuk tidak terjadi. 

Bahkan, orang tua yang menitipkan anaknya di tempat seperti itu, sangat tersayat-sayat pilu hatinya. Begitu juga dengan kasus-kasus korupsi, dan mengambil hak orang banyak, hak rakyat. Hal ini adalah berlawanan dengan apa yang disebut sebagai orang yang berpengetahuan.      

Pepatah Leluhur kita yang selalu ditempel di dinding-dinding SD, jadilah seperti padi, atau ilmu padi, semakin  berisi semakin merunduk. Rendah hati adalah sebuah nilai-nilai yang melekat kepada ketinggian suatu perolehan ilmu pengetahuan oleh seseorang yang sekolahan.

Maka pada tampilannya, orang yang berpengetahuan akan semakin rendah hati dalam makna tidak sombong (bukan rendah diri), dan tidak melawan apa yang sudah diketahuinya sendiri sebagai sebuah perolehan pengetahuan.

Nasihat ini menjadikan seseorang yang berpengetahuan, diharapkan sejalan dengan ketauladanannya dalam sikap perilaku budi pekerti, dan tidak sombong, dalam makna tidak melawan pengetahuannya sendiri.

Namun, kasus pelecehan, korupsi, mengambil hak rakyat, bullying yang dilakukan oleh, katakanlah berpendidikan, pembina, yang dianggap pengetahuannya melebihi daripada yang dibina, malah berperilaku melawan pengetahuannya sendiri, inilah orang yang sombong.

Hal apa yang terjadi pada oknum tersebut. Korelasi antara yang si empunya pengetahuan dengan sikap lakunya menjadi berjarak, sehingga pertambahan pengetahuan tidak menjadikan pertambahan pada penguatan sikap perilakunya ke arah yang baik, tidak ada sama sekali korelasi antara yang berpendidikan, berpengetahuan dengan sikap lakunya.

Lalu buat apa pengetahuan, atau berpengetahuannya. Jika tidak ada sama sekali hubungannya dengan sikap laku serta budi pekerti. Pengetahuan yang terpisah dengan sikap laku dan budi pekerti, akhir-akhr ini menjadi hal yang nyata pada sebagian orang dan kasus.

Agaknya pepatah ilmu padi tersebut tidak berlaku pada beberapa kasus terhadap orang yang berpengetahuan yang sikap lakunya mengecewakan.

Pada sebagian kasus terkadang berpengetahuan tidak membentuk sikap laku, budi dan karakter apa apa, terutama ke arah yang baik. Berpengetahuan menjadi terpisah sama sekali dengan out put karakter, sikap laku, budi yang baik.

Pada kasus diatas, pengetahuan bahkan tidak menggiring seseorang untuk mendialogkannya dengan jiwa, dengan nilai-nilai norma dan dengan nilai-nilai yang diyakini.

Berpengetahuan ya berpengetahuan saja. Sehingga yang berpengetahuan bertumbuh tidak serta merta seiring dengan pertumbuhan kejiwaannya.

Dua hal ini menjadi timpang. Tidak heran jika kita saksikan di media massa pemberitaan, yang berpengetahuan masih tetap saja melakukan sikap laku yang tidak sesuai dengan taraf pengetahuannya.

Apakah orang yang berpengetahuan menjadikan hal demikian sebagai jaminan untuk budinya. Dari kasus diatas, ternyata tidaklah demikian.

Pada kasus tersebut, tidak ada hubungan yang kuat antara pengetahuan yang dimiliki seseorang dengan budi pekertinya.

Socrates (filosof abad klasik) mendefinisikan pengetahuan dan budi itu sebagai sebuah satu kesatuan. Dengan serta merta menyatakan bahwa budi itu adalah tahu. Orang yang tahu akan melahirkan budi. Karenanya, ia menempatkan nilai-nilai, dalam hal ini budi, sejalan dan segabung dengan apa yang diketahui seseorang. Jadi, pengetahuan diletakkan sebagai sesuatu yang sama sekali tidak terpisahkan dengan nilai-nilai yang harus dikuasai, dan juga harus diasah budi tersebut.

Maka Socrates menyatakan bahwa orang yang berpengetahuan itu berbudi luhur. Karena dalam pengetahuan yang diperoleh, sekaligus ada olah budi yang dihubungkan dengan pengetahuan tersebut. Dalam pengetahuan ada nilai-nilai yang harus dimengerti.

Dalam pengetahuan yang dperoleh, mulai dari epistemologinya sampai kepada ontologinya, selalu dimaknai dengan axiologi (makna nilai) yang menyatu didalamnya. Sehingga pengetahuan syarat dengan nilai-nilai.

Model pengetahuan yang menyatu dengan nilai-nilai ini, melahirkan sikap laku, budi pekerti dan karakter yang baik, adalah pengetahuan yang diresapi, dijiwai, tidak sekedar teoritis yang terpisah, namun dipahami secara mendalam, yang meningkatkan kualitas hidup seseorang terutama secara kejiwaan.

Dalam Islam, pengetahuan juga tidak terpisah dengan nilai-nilai. Terutama nilai-nilai ke-Tuhanan. Setiap pengetahuan, merupakan proses menuju kepada Tuhan.

Sama sekali tidak terpisahkan antara pengetahuan dengan nilai-nilai religiusitas. QS. Ali 'Imran Ayat 190-191; 190 “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal (Ulul Albab), 191. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), "Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka”.

Pada ayat tersebut kata ulul albab adalah orang-orang yang memiliki akal, yang selalu berpikir, menganalisis, dan mengambil i’tibar dari setiap perkara yang terjadi secara jelas maupun samar.

 Ulul albab adalah orang-orang yang memiliki kesadaran yang benar, membuka mata hati mereka untuk menerima ayat-ayat kauniyah Allah tanpa memberi penghalang dan tidak menutup setiap pintu yang menghubungkan antara dirinya dengan ayat-ayat tersebut. Begitu juga dengan memahami ayat-ayat qauliyah.

Apa yang diambil oleh orang yang berakal; memikirkan, menganalisis dan i’tibar, tentu akan menjadi pengetahuan yang disadari.

Jadi, sangat jelas dalam Islam secara konsep dan praktik idealisasinya atau rujukannya bahwa orang yang memiliki akal, yang berpengetahuan, akan sampai kepada Tuhannya, dengan tidak menciderai sikap dan lakunya kepada hal-hal yang melawan pengetahuannya sendiri. Orang yang berakal akan memiliki sebuah kesadaran dengan benar, tanpa memanipulasinya untuk kepentingan yang lain. Sehingga akan merefleksi dalam sikap dan perilaku yang baik dan benar.

Nah, bagaimana pada kasus oknum diatas, orang yang tidak mampu menyatukan nilai-nilai dengan pengetahuannya.

Justru pengetahuan menjadi dikuasai untuk melayaninya, melayani kehendak dan keinginan nafsunya, seperti pemberitaan di media massa, pengasuh rumah panti yang melecehkan anak asuhnya sendiri. Juga pengasuh pondok yang melecehkan santrinya sendiri, lalu dibungkus dengan mengatakan sebuah pelayanan santri kepada pengasuhnya. Pada titik ini, apa yang dipetuahkan Leluhur kita dulu dengan ‘ilmu padinya’, tidaklah kita lihat pada kasus tersebut.  

Maka tentu kita akan bertanya, apakah orang yang katakanlah “melawan pengetahuannya sendiri” terkategori orang yang sedang berpengetahuan. Tentulah tidak jika kita merujuk kepada ayat diatas, dan juga diperkuat dengan falsafah klasik. Kenapa orang yang secara sekolahan tamat, dan bahkan mengajarkan, namun tidak terkategori yang berpengetahuan.

Karena mereka sama sekali tidak memiliki kesadaran yang benar. Pada diri mereka sama sekali tidak terjadi dialog dalam jiwanya dari pengetahuan yang diperolehnya. Sehingga pengetahuan mereka hanya sebagai informasi-informasi belaka.

Bukan pengetahuan yang sebenarnya, yang mampu membentuk sikap mental ke arah pertumbuhan kualitas hidup dan mampu menjadikannya sebagai manusia sebenarnya. Seseorang yang tidak mendialogkan pengetahuan dengan jiwanya tidak akan bertemu dengan kesadaran yang lurus.

Tidak heran kita lihat bahwa ada orang yang sekolahan, sarjana, atau dipandang memiliki tingkat pengetahuan lebih, tapi masih korupsi, membullying, melecehkan, dan lain sebagainya.

Bahkan, yang menyedihkan, oknum pada kasus tersebut, yang dipandang berpengetahuan agama, namun tidak menjadikannya untuk mampu mengendalikan kemauan nafsu, tidak mampu menyadarkannya. Ia tidak berhasil mendialogkan pengetahuannya dengan jiwa sejatinya, sehingga tidak membentuk kesadaran yang lurus.

Seolah olah ia menyatakan pada dunia, ia melawan pengetahuannya sendiri. Posisi pengetahuannya menjadi terpisah dengan nilai-nilai yang harus diembannya sebagai pengasuh pondok.

Bahkan terkadang nilai-nilai justru diputar balikkan menjadi yang harus melayani kemauannya. Misalnya nilai-nilai kepatuhan santri diarahkan untuk melayaninya. Nilai-nilai kepatuhan santri atau anak asuhnya, justru diarahkan kepada pelayanan yang sama sekali mengingkari apa yang diajarkannya sebagai sebuah pengetahuan keagamaan.

Fenomena mengingkari pengetahuannya sendiri disindir oleh Alah dalam QS. As-Saff Ayat 3. “(Itu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan”. Terutama untuk pengasuh pondok dan pembinanya. Mereka tidak mendialogkan pengetahuannya dengan jiwa sejatinya, sehingga sama sekali tidak menghasilkan kesadaran yang lurus.

Melahirkan sikap laku yang mengecewakan, melawan pengetahuannya sendiri. Orang-orang seperti ini adalah hasil kontroversi dari yang empunya pengetahuan. Sehingga jika merujuk kepada ayat dan pandangan filsuf diatas, orang seperti ini adalah terkategori sebagai wajah yang tidak berpengetahuan. Karena pengetahuan itu adalah budi luhur, dan jika refleksinya melawan budi luhur berarti tidak berpengetahuan. (*)

Sumber: Sriwijaya Post
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved