Opini
Konsep Ideal Kebebasan Pers
Kebebasan berekspresi, berpendapat maupun beropini sangat diatur secara tegas sebagai hak dari setiap warga negara Indonesia termasuk hak dari lembaga
Apabila ditelaah dari perspektif historis, terminologi dari Contempt of Court dikenal dalam Common Law System (Anglo Saxon) atau case law.
Sebagai salah satu bentuk Contempt of Court , Trial by the press diartikan sebagai suatu tindakan yang membuat publikasi yang berlebih dan pemberitaan berlebih terhadap kasus yang belum diputus dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap (incrach Van Gewisj). Perbuatan ini diatur dalam Undang-undang Pers bahkan berakibat sanksi pidana bagi pelanggarnya .
Salah satu kewajiban Pers nasional yang dimandatkan oleh Pasal 3 ayat (1) Undang Undang Pers adalah berupa pengendalian sosial.
Namun apabila teori pers bebas diterapkan terutama dalam proses peradilan pidana dikhawatirkan akan terjadinya publikasi berlebihan (overpubliced) sehingga fungsi kontrol pers dinilai belum atau kurang mampu mengontrol tersebarnya berita – berita melalui media surat kabar maupun secara online. Pentingnya penerapan asas presumption of innoucence dalam peliputan dan publikasi oleh pers dalam meliput proses persidangan sebagai upaya pencegahan terhadap Contempt of Court.
Penerapan asas presumption of innoucence yang berkaitan dengan penyiaran oleh pers adalah pers tidak diperkenankan untuk mempublikasikan dan memberitakan secara berlebih mengenai identitas pelaku tindak pidana sebelum adanya putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap.
Pers dapat meliput dan melakukan pemberitaan terhadap proses peradilan yang berjalan (kecuali ditentukan lain oleh undang-undang seperti kasus kekerasan seksual dan kasus yang pelakunya adalah anak) namun dalam pemberitaan pers harus lah menghormati tata tertib dan tidak melanggar asas-asas hukum acara pidana salah satunya tidak memberitakan secara berlebih mengenai perkara yang sedang berlangsung.
Pemberitaan yang berlebih akan berakibat pengadilan oleh pers yang ditakutkan akan mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap proses peradilan sehingga menghilangkan objektifitas terhadap perkara yang sedang berlangsung.
Selain itu, perlunya tata tertib dan kodeetik dalam penyiaran proses peradilan adalah untuk melindungi hak dari pelaku yang mana karena perkara tersebut belum berkekuatan tetap maka berdasarkan asas presumption of
innoucence maka pelaku belum dapat dikatakan sebagai orang yang telah terbukti bersalah.
Oleh karena itu, selain harus bebas dari segala kekerasan dalam proses peradilan , pelaku juga berhak mendapat peradilan yang fair trial dan juga dilindungan identitasnya dari semua publikasi yang berlebih (kecuali ditentukan lain oleh undang-undang seperti pelaku kekerasan seksual yang diatur dalam undang- undang perlindungan anak).
Oleh karena itu suatu kritik terhadap teori pers bebas yang ciri khas nya adalah kebebasan tak terbatas akan menimbulkan ketimpangan bahkan pelanggaran pada asas Presumption of Innoucence yang berakibat pada
Trial by the press (pengadilan sepihak oleh pers).
Untuk mencegah hal tersebut perlu dilakukan beberapa upaya yaitu : Penguatan kode etik pers, memaksimalkan peran dewan pers dalam pencegahan trial by the press dan Implementasi kebebasan pers yang bertanggung jawab.
Kebesan pers harus dijunjung tinggi dalam proses demokrasi , namun harus sesuai dengan koridor hukum yang telah ada terutama dalam kaitannya dalam proses peradilan.
Konsep ideal kebebasan pers ialah dengan menerapkan kebebasan pers yang bertanggung jawab dan beretika.
Menurut Theodore Peterson kebebasan pers harus juga diiringi dengan tanggung jawab yang sejajar kepada masyarakat dengan mengetahui landasan operasional kerjanya sehingga dapat memuaskan masyarakat.
Mengenai proses peradilan pidana pers bertanggungjawab dan sekaligus memiliki tugas dalam hal penghubung antar informasi yang disampaikan oleh penegak hukum dengan tersangka baik disetiap tahap peradilan pidana.
Sehingga semua fakta dan opini yang dipublikasikan semata-mata untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan memberikan fakta dan opini yang berimbang tanpa menghakimi salah satu pihak.
Hal ini sesuai dengan Teori Tanggung Jawab Sosial (Social Responsibility) yang mana teori ini merupakan salah satu reaksi dari ketidakpuasan terhadap teori pers bebas (Libertarian Theory).
Jurang Kesenjangan ala Wakil Rakyat |
![]() |
---|
Pengangguran Terdidik di Sumsel: Kesenjangan Kompetensi dan Kebutuhan Sektor Ekonomi |
![]() |
---|
Apakah Lebih Tepat Bung Hatta Disebut Bapak Ekonomi Kerakyatan, Bukan Lagi Bapak Koperasi ? |
![]() |
---|
Apakah Lebih Tepat Bung Hatta Disebut Bapak Ekonomi Kerakyatan, Bukan Lagi Bapak Koperasi ? |
![]() |
---|
Menilik Kualitas Kesehatan Penduduk Kota Palembang |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.