Opini: Netanyahu Perlihatkan Peta Baru Timur Tengah tanpa Palestina

Nasib bangsa Palestina betul-betul malang, karena dengan peta baru, Israel sudah mencaplok 30-40 persen wilayah Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur

Editor: Bejoroy
Capture SripokuTV
Dasman Djamaluddin SH MHum (Mantan Wartawan Sriwijaya Post, Penulis Biografi dan Sejarawan) 

Perang Arab-Israel yang selalu dimenangkan Israel, membuat warga Palestina, baik yang ada di Tepi Barat maupun Jalur Gaza (kebanyakan membuat pemukiman seadanya), akan terus menderita tiada akhir, karena setelah pembagian wilayah Palestina secara tidak adil oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) itulah mimpi buruk yang dihadapi warga Palestina.

Kenapa bangsa Palestina yang menderita. Bukankah ketika terjadi pembantaian terhadap bangsa Yahudi, bukan bangsa Palestina yang melakukannya?

Jangan lupa juga subscribe, like dan share channel Youtube Sriwijaya Post di bawah ini:

Holocaust, itulah istilah populernya, di mana enam juta penganut Yahudi-Eropa selama Perang Dunia II dibunuh. Pembantaian tersebut dilakukan oleh Jerman Nazi yang dipimpin oleh Adolf Hitler. Jadi bukan oleh bangsa Arab Palestina. Tetapi kenapa, mereka yang menjadi korban?

Saya pernah menulis di Kompasiana, tanggal 29 Mei 2018. Waktu itu, saya membaca tulisan wartawan “Al Jazeera INews.” Sebuah cerita mengharukan dari Kamp Pengungsian Palestina di Libanon, sebuah negara yang berbatasan dengan Israel dan Palestina, juga dengan Suriah.

Sudah tentu cerita ini diungkap masih ada kaitan dengan 70 tahun bangsa Palestina terusir dari wilayahnya sendiri oleh kaum zionis Yahudi yang memerdekakan dirinya tahun 1948. Sebaliknya inilah yang dialami bangsa Palestina, “terusir,” dari tanah airnya sendiri yang populer dengan istilah “Nakba.”

Tujuh puluh tahun waktu itu telah berlalu. Terusirnya warga Palestina dari wilayahnya sejak tahun 1947-1949 sekitar 78 persen penduduk Palestina yang ada waktu itu. Sekitar 530 rumah warga Palestina dihancurkan pasukan Israel. Waktu itu lebih dari 100.000 bangsa Palestina mengungsi ke berbagai negara tetangganya, termasuk ke Libanon, sebuah wilayah perbatasan yang cepat dijangkau.

Zahiya Dgheim, nama perempuan tua yang waktu itu berusia 90 tahun itu, meski terlihat sehat dan kini memiliki anak cucu itu, bersama suaminya, memilih Libanon sebagai tempat pengungsian. Ia memilih satu di antara beberapa tempat pengungsian yang disediakan oleh pemerintah Lebanon, yaitu di Burj Barajneb, kamp pengungsi yang terletak di sebelah selatan ibukota Lebanon, Beirut.

Jangan membayangkan kamp pengungsian ini tertata rapi. Tidak. Kamp ini sudah berkali-kali hancur diserang pasukan Israel. Dibangun lagi, tetapi tetap tidak mampu mengubah nasib penghuninya, yaitu warga Palestina. Jalannya sempit, terlihat jemuran pakaian di sisi kamp. Tetapi mereka harus bertahan hingga akhir hayat, karena kemerdekaan bangsa Palestina jauh dari harapan.

Jangan lupa Like fanspage Facebook Sriwijaya Post di bawah ini:

Pengungsi Palestina itu tidak memiliki apa-apa lagi, selain menunggu ajal tiba. Diteruskan oleh generasi berikutnya, juga tetap berstatus sebagai pengungsi. Apakah di Libanon, mereka terganggu dengan pendidikan dan hiruk pikuk politik yang hanya memikirkan kekuasaan?

Tentu saja. Di tempat pengungsian itu terpasang bendera dari faksi-faksi di Libanon. Mulai dari Fatah, Hamas dan Fron Popular Pembebasan Palestina. Itu bendera pejuang Palestina yang berkibar-kibar di tempat pengungsian. Belum lagi bendera partai-partai yang ingin meraih kekuasaan di Libanon. Apalagi pengungsi Palestina itu menghadapi bahaya virus corona waktu itu di Libanon.

Dengan sikap yang diambil Israel sekarang ini, pengungsi-pengungsi di berbagai wilayah itu, tidak hanya menderita hingga tiga generasi, tetapi akan mengalami penderitaan berpuluh-puluh generasi, jika keadilan tidak bisa diterapkan di Timur Tengah.

Konflik Ideologi
Saya sepakat, konflik ideologi turut mewarnai perlawanan Palestina dalam pendudukan Israel. Sejumlah ideologi turut menentang Zionisme yang dipegang pemerintah Israel. Salah satu ideologi tersebut adalah komunisme. Di Palestina, ideologi komunis bersatu dalam wadah Partai Komunis Palestina atau The Palestine Communist Party (PCP).

Pertamakali dibentuk tahun 1919, PCP dikenal sebagai salah satu partai politik yang aktif di wilayah Palestina. Partai ini berawal dari berkumpulnya imigran Yahudi yang memiliki pandangan komunisme yang kental. Aktivis sayap kiri Yahudi ini kemudian membentuk Partai Buruh Sosialis yang berafiliasi dengan Federasi Buruh Sayap Kiri Yahudi bernama Poale Tzion.

Halaman
1234
Sumber: Sriwijaya Post
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved